Beberapa alasan dan faktor pendukung pemindahan ibu kota ke luar Pulau Jawa antara lain bahwa sekitar 57% konsentrasi penduduk berada di Pulau Jawa. Sedangkan sisanya terbagi di beberapa pulau lain.Â
Sumatera di posisi kedua dengan 21,78% konsentrasi penduduk, disusul dengan Pulau Sulawesi menampung 7,33%, Bali dan Nusa Tenggara dengan konsentrasi penduduk sebesar 5,56%, kemudian Maluku dan Papua yang hanya sebesar 2,72% untuk Kalimantan sendiri masih memegang konsentrasi penduduk Indonesia sebesar 6,05% sebanyak 15.801.800 jiwa menetap disana.Â
Seperti yang dilihat, bahwa persentase kosentrasi penduduk di Pulau Jawa yang padat beresiko pada ketersediaan air bersih. Krisis air bersih sering terjadi di Jawa Timur serta terjadi di DKI Jakarta. Faktor pemindahan ibu kota negara ke luar Pulau Jawa berikutnya adalah besarnya angka konversi lahan di Pulau Jawa.Â
Konsumsi lahan terbangun di Pulau Jawa terhitung hampir 50%. Â Faktor berikutnya adalah pertumbuhan urbansasi dengan konsentrasi penduduk yang bisa dibilang cukup tinggi terutama di Jakarta dan Jabodetabekpunjur.Â
Meningkatnya beban Jakarta menimbulkan degradasi lingkungan yang cukup berat, sperti naiknya permukaan air laut dikarenakan tanah Jakarta turun tiap tahunnya, kerugian ekonomi akbat kemacetan yang menurut PUSTRAL-UGM 2013 sebesar 56 Triliun Rupiah, sebesar 96% kualitas air sungai sudah tercemar, rawan banjir dan bencana alam lain seperti gempa bumi.Â
Oleh karena itu, pemindahan ibu kota harus segera dilakukan dengan tujuan memperbarui kualitas ibu kota dan memperbaiki kota Jakarta yang telah berperan menjadi ibu kota negara selama 74 tahun lamanya.
Perpindahan ibu kota ke Pulau Kalimantan sering mendapat pro dan kontra. Banyak diantara masyarakat berpendapat bahwa Kalimantan adalah salah satu penyumbang oksigen terbesar di dunia, karena kekayaan hutan dan sumberdaya alam di dalamnya.Â
Masyarakat resah bahwa proyek pemindahan ibu kota dinilai akan berpotensi merusak dan mengurangi luas hutan didalamnya, bahkan saat ini pula Kalimantan Timur juga berperan sebagai pemasok dan sumber bahan bakar untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap atau PLTU yaitu tambang batu bara.Â
Tentunya aktivitas pertambangan sudah banyak memanfaatkan sumberdaya alam sekitarnya. Namun, Pemerintah Republik Indonesia telah menerapkan konsep yang tepat untuk ibu kota baru yaitu Ibu Kota Negara yang Green, Smart, Beautful, dan Sustainable atau Forest City.Â
Arti dari konsep Forest City sendiri ialah konsep yang menerapkan besar luas Ruang Terbuka Hijau (RTH) minimal 50 persen dari total luas area kawasan yang meliputi taman rekreasi, kebun binatang, taman hijau, botanical garden, dan sport complex, dimana mereka terintegrasi dengan sumberdaya berupa bentang alam yang ada seperti kawasan berbukit serta Daerah Aliran Sungai (DAS) dan struktur topografi.Â
Konsep Forest City atau Green City ini juga mendukung penggunaan bahan bakar alternatif dengan pemanfaatan energi terbarukan dan rendah karbon seperti solar energi, gas, dan sebagainya untuk mengoptimalkan pasokan gas, jaringan listrik yang efisien, serta untuk penerangan jalan dan penerangan bangunan.Â