Sistem pendidikan di negara kita telah mengalami pergeseran makna atas hakekat sebenarnya dari pendidikan itu sendiri. Pendidikan yang pada hakekatnya bertujuan untuk memanusiakan manusia.Â
Dengan kata lain menjadikan manusia menjadi manusiawi. Namun, justru terjadi dehumanisasi pada pendidikan di Indonesia. Fitrah manusia sejatinya adalah untuk menjadi pelaku atau subyek, bukan penderita atau objek.Â
Manusia diharapkan mampu mengenali keberadaannya di dunia sebagai pelaku yang sadar dan memahami bahwa dunia merupakan objek realitas yang harus dihadapinya dengan penuh sikap kritis dan daya cipta. Hal ini yang membuat seorang manusia dikatakan manusiawi.
Bukan sebaliknya, manusia berperan menjadi objek yang menerima sesuatu yang ada di dunia dengan apa adanya sebagai sebuah takdir atau nasib yang tak terelakkan tanpa ikhtiar dan kesadaran sama sekali untuk mengubah nasib tersebut.Â
Dan proses inilah yang terjadi pada pendidikan di Indonesia. Sistem pendidikan mengarahkan seorang murid hanya untuk menjadi objek dari kehidupan dan melupakan hakikat yang sebenarnya atas diri mereka bahwa mereka sesungguhnya adalah subjek dalam kehidupan.
Pendidikan Gaya Bank "Paolo Freire"
Mereka justru hanya dijadikan sebagai objek pasif dimana mereka seolah-olah dianggap tidak tahu apa-apa. Sistem Pendidikan yang ada dan mapan di Indonesia selama ini dapat diandaikan dengan sebuah "Bank" dimana pelajar menjadi objek dan diberi ilmu pengetahuan agar ia kelak dapat mendatangkan hasil berlipat ganda.
Jadi, peserta didik hanya terkesan sebagai obyek investasi dan berfungsi sebagai sumber pendulang keuntungan, mirip seperti deposito. Mereka tidak berbeda dengan komoditi ekonomis lainnya yang lazim dikenal.Â
Dimana depositor atau investornya adalah para guru sementara depositonya berupa ilmu pengetahuan yang diajarkan kepada anak didik. Anak didik pun lantas diperlakukan sebagai "bejana kosong" yang akan diisi dengan tabungan atau penanaman "modal ilmu pengetahuan" yang akan dipetik hasilnya kelak. Dalam hal ini, guru adalah subyek aktif, sedang anak didik adalah obyek pasif yang penurut.
Model pendidikan semacam ini menyebabkan pelajar melupakan realitas dirinya sebagai subjek. Mereka justru menganggap dunia adalah subjek dan mereka adalah objeknya. Pendidikan dengan gaya "Bank" seperti ini mengikis sikap kritis dan daya cipta pelajar kita di Indonesia.