Dwikewarganegaraan (DK) selalu menjadi isu yang melekat bagi Diaspora Indonesia dan akan tepat satu tahun sejak dialog Presiden Jokowi dengan anggota Diaspora Indonesia di Washington DC, Amerika Serikat mengenai topik tersebut.
Pada 25 Oktober 2015 silam, Bapak Presiden Jokowi mendukung dan mendorong agar segera direalisasikannya rancangan DK. Sudah sampai sejauh manakah rancangan tersebut dan akankah benar tercapai impian anggota Diaspora Indonesia untuk bisa memiliki DK?
Kedua pertanyaan di atas sudah pernah saya tanyakan di dua pertemuan berbeda dengan kunjungan delegasi pemerintah Indonesia di Polandia. Namun belum ada kesimpulan pasti dan masih dalam pembahasan oleh DPR.
Secara garis besar, ada hal-hal yang mungkin menjadi keraguan bagi kalangan tertentu apabila rancangan DK ini diberlakukan di Indonesia.
Loyalitas
Nasionalisme seseorang tidak dapat diukur dari jumlah paspor yang ia miliki. Apakah para koruptor di negeri kita memiliki semangat nasionalisme yang tinggi dan pemegang Dwikewarganegaraan? Mereka yang telah merugikan negara dari ratusan juta hingga triliyunan rupiah.
Sehingga sangatlah tidak signifikan jika masih ada pihak-pihak yang mengatakan bahwa dengan memberlakukan DK dapat mengurangi rasa nasionalisme seseorang.
Lantas dalam sisi apa DK ini bisa dibatasi agar tidak mencemari loyalitas seseorang terhadap negaranya.
- Jika warga negara yang bersangkutan bekerja pada badan pemerintahan dan orang tersebut memiliki akses penting mengenai rahasia negara. Misalkan Presiden & Wakil, Mentri, Intelijen,dsb.
- Bagian atau anggota militer/TNI.
Perpajakan
Contohnya Filipina yang juga menganut DK dengan sistem perpajakan bukan berdasarkan kewarganegaraan, namun berdasarkan dimana pendapatan diterima dan lokasi properti. Sehingga ketika WN Filipina yang juga memiliki WN Amerika Serikat ataupun Australia, double taxation (pajak ganda) tidak berlaku sebab sesuai dengan perjanjian bahwa kedua negara tersebut juga tidak memberlakukannya.
Indonesia juga sudah menandatangani penghindaran Pajak Berganda ini dengan Amerika Serikat pada 11 Juli 1968. Pada hal ini DK memiliki dua keuntungan, pertama membantu Departemen Perpajakan Indonesia dalam mendapatkan data serta mengidentifikasi subjek pajak luar negeri. Kedua, membuka peluang perbaikan sistem komputerisasi Departemen Perpajakan & Imigrasi sekaligus membuka lapangan pekerjaan di area tersebut.