Mohon tunggu...
Asri Mursyid
Asri Mursyid Mohon Tunggu... Jurnalis - Saya merupakan Jurnalis dan Karyawan Swasta

Saya suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Politik

Prof Abdul Madjid Hakimelahi: Perang Rusia-Ukraina Ibarat Film Gladiator

23 Maret 2022   20:56 Diperbarui: 23 Maret 2022   21:01 556
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada 5 Kekuatan Besar di Dunia yang Bersaing untuk Berkuasa


DIREKTUR Islamic Cultural Center (ICC) Jakarta, Prof Abdul Madjid Hakimelahi mengibaratkan peperangan antara Rusia-Ukraina seperti dalam film laga kolosal Romawi tahun 2000-an, Gladiator.

Dalam salah satu penggalan film itu, kata Prof Abdul Madjid, dua gladiator atau budak dihasut untuk saling membunuh satu sama lain. Peperangan itu terjadi atas provokasi sang Raja yang asyik menyaksikan peperangan.

Begitu juga kondisi perang Rusia-Ukraina. Negara-negara yang merasa adikuasa, dalam hal ini Amerika menghendaki semua negara merujuk kepadanya. Sehingga mereka menghasut gladiator-gladiator dalam hal ini Ukraina-Rusia untuk berperang satu sama lain.

Dengan begitu, senjata-senjata mereka cepat laku terjual. Sebab jika tak ada perang, negara-negara yang memproduksi senjata akan tutup gudang. Nah, begitulah cara kerja Amerika menciptakan peperangan. Selain dari segi bisnis atau ekonomi, kata dia, perang diciptakan karena faktor kekuasaan.

"Ini adalah perang kekuasaan. Setiap negara bagi negaranya sendiri itu adalah kekuasaan. Prancis dengan kekuatannya itu bisa menjajah 20 Negara Eropa. Misalnya, salah satu negara yang pernah dijajah Prancis yakni Afrika. Mereka tidak segan membawa warga Afrika dipekerjakan sebagai budak di Prancis," kata dia saat menjadi narasumber di IAIN Parepare, Sulawesi Selatan, Rabu (23/3).

Selain warga negara, kata dia, Prancis juga mengeksploitasi sumber daya alam Afrika. Mereka mengambil paksa emas hingga mengeksploitasi tambang di Afrika.

"Karena Prancis itu memiliki kekuatan besar," ucapnya.

Selain Afrika, Prancis juga pernah menjajah Negara Chad (Afrika bagian tengah) pada 1917. Sebanyak 400 tokoh atau ulama yang dipenggal kepalanya di negara tersebut.

Tidak hanya itu, pada 1852 tentara Prancis memasuki salah satu desa di Aljazair. Dua per tiga warga di desa itu dibakar hidup-hidup.

"Prancis melakukan uji coba nuklir di Aljazair dan menimbulkan banyak korban jiwa akibat dari uji coba nuklir itu," bebernya.

Pada 1962, ketika Prancis meninggalkan Aljazair itu ada 11 ribu ranjau yang ditinggalkan.

"Artinya Prancis telah menjajah Aljazair kurang lebih selama 132 tahun. Dalam 7 tahun pertama, Prancis menghabisi 7 juta warga sipil Aljazair. Pada tahun-tahun berikutnya, membunuh 1 juta warga lainnya. Ada sejarawan menyebutkan jumlah korban akibat kebiadaban Prancis itu 10 juta jiwa," ungkapnya.

Begitu pun saat menjajah Mesir, mereka memasukkan warga sipil ke dalam masjid lalu kemudian membunuhnya.

"Kemudian menjadikan masjid itu sebagai tempat menjaga kuda dan sapi-sapi mereka," ujar dia.

Negara Inggris pun demikian, bahkan lebih biadab. Inggris ketika memasuki Iran menciptakan situasi kemarau yang panjang dan membunuh banyak orang.

"Ada 2 juta jiwa yang menjadi korban akibat kemarau panjang itu," tuturnya.

Begitu juga Belanda ketika menjajah Indonesia kurang lebih 350 tahun. Ada sekitar 1 juta yang menjadi korban akibat kolonialisasi Belanda tersebut.

"Ini adalah fase pertama kekuasaan, bagaimana negara-negara besar seperti Spanyol, Portugal menginvasi negara-negara kecil sehingga mengakibatkan banyak korban jiwa," ujarnya.

Di fase kedua perjalanan sejarah, negara terbagi dua kutub. Yakni kutub Timur dan Barat.

"Pemimpin kutub barat, yakni Amerika sedangkan pemimpin kutub timur adalah Uni Soviet," katanya.

Dalam sejarah, terbaginya kubu-kubu itu dikenal sebagai perang dingin. Masing-masing dua kubu itu menjadikan negara di sekitarnya sebagai bagian kubu mereka.

"Mereka berkompetisi menciptakan senjata-senjata. Rusia melakukan uji coba senjata, begitu pun Amerika," kata dia.

Pada 1991, Uni Soviet runtuh dan kekuasaannya pun lepas. Pemimpin Rusia kala itu Mikhail Gorbachev.

"Awal dekade 1990 sampai 2000-an yang menjadi penguasa tunggal adalah Amerika. Uni Soviet tidak lagi memiliki kekuatan dan kekuasaan. Nah, ini adalah fase ketiga kompetisi kekuasaan di dunia," bebernya.

Dunia ini dikuasai oleh lima kekuasaan. Lima kekuasaan ini berlomba-lomba menjadi penguasa tunggal. Pada tahun 2000-an Amerika ingin menjadi penguasa tunggal, dan negara lain mengekor padanya.

Kekuatan yang pertama adalah Negara-negara Barat yang mengikut ke Amerika. Kekuatan kedua ada di bagian timur Asia yaitu kekuatan Cina. Kekuatan ketiga ada di Asia Tengah, yakni Rusia yang ingin menunjukkan kekuasaannya.

Kekuatan keempat itu adalah kekuatan-kekuatan Non Governmental Organization (NGO), misalnya FIFA.

"Ini kita bisa lihat bagaimana pengaruhnya seorang pemain bola yakni Cristiano Ronaldo saat konferensi pers memindahkan botol Cocacola ke bawah. Itu menyebabkan perusahaan Cocacola merugi sampai 2 miliar dolar Amerika," ujarnya.

Selain itu, salah satu kota pisah dengan Sudan itu karena NGO. Bahkan, Timur Leste pisah dengan Indonesia juga karena NGO.

Kekuatan kelima yang muncul belakangan adalah kekuatan Islam. Kekuatan ini lah yang menjadi penentu.

"Kenapa? karena hampir semua SDA yang ada di dunia seperti minyak, gas bumi, emas, dan lain sebagainya berada di Negara-negara Islam," tuturnya.

Amerika yang menganggap dirinya sebagai negara superpower akan melakukan upaya untuk mengeliminasi kekuatan yang muncul tersebut.

Pertama, Amerika akan menguatkan sendi-sendi perekonomiannya dan melemahkan ekonomi negara-negara lain.

Kedua, Amerika kemudian menciptakan konflik. Misalnya menciptakan Al-Qaeda di Afganistan yang dipimpin Osama bin Laden.

Al-Qaeda sengaja dibentuk untuk melemahkan kekuatan Rusia yang ada di Asia Tengah. Kaum muslimin yang ada di Afganistan diprovokasi untuk berperang melawan kekuatan Rusia di Asia Tengah.

"Ada ulama-ulama yang dibayar mengeluarkan fatwa jihad di Afganistan karena mereka ingin melemahkan Rusia," katanya.

ISIS dan Da'is juga didirikan untuk menentang kekuasaan Rusia yang ada di Asia Tengah. Amerika lalu memprovokasi negara-negara di Eropa Timur untuk menjadi bagian dari Nato, sementara ada MoU antara Rusia, Amerika dan Nato untuk tidak melakukan aneksasi mendekati Rusia.

"Rusia memperhatikan gerak-gerik Amerika, dengan adanya gerakan militer di Ukraina membahayakan Rusia. Sebenarnya peperangan ini bukan Rusia melawan Ukraina. Tetapi Rusia melawan Barat," ucapnya.

"Kami tentu menentang dan menolak pertumpahan darah. Ini pernyataan sikap seorang muslim, menolak segala pertumpahan darah. Baik muslim sebagai korban atau non-muslim. Karena yang menjadi korban adalah anak-anak, dan warga sipil yang tak berdosa," tutupnya. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun