Rasa gerah, lapar, haus tak dirasakan lagi berharap kereta terus melaju tanpa henti. Agar rasa lelah ini terbayar. Kembali menatap binar matamu dan wajah merah jambu semu, dan sedikit drama kepura-puran bahwa yang kau rindukan ada di hadapanmu.
Bukan pada kekasih namun sahabat hati yang selalu  menjaga hati yang dicintai dalam diamnya.
"Ngapo ke sini, " drama mu di mulai.
" Ya kangen, emang nggak boleh, " kataku balik.
Selalu setiap bertemu akan di awali dengan pertengkaran kecil. Namun itulah persahabatan yang di bina hingga tiga puluh lima tahun, masing - masing  telah tahu kelebihan dan kekurangan tanpa ingin menyakiti satu sama lain. Bila merasakan rindu satu sama lain akan merasakan namun tidak untuk saling sapa di media sosial.
"Kenapa sih nggak pernah WA, sekedar nanya apa khabar, atau sekedar mengirim foto aktifitas," sekali waktu aku tanyakan karena dia termasuk sahabat yang tidak pernah memberi kabar atau membalas.
"Nggak perlu, " jawabnya rada sewot
" Ya apa alasannya," kataku, sembari mematikan mesin bubut yang dia gunakan/
Lama dia menatapku, aku pun kembali menatap. Lama aku tak menatap mata itu, mata yang memberi kasih sayang yang tulus, mata yang menyimpan rindunya, mata yang tak bisa membohongi hati dan dengan mata itu pula aku akan menemukan segala pertanyaan tanpa perlu dia jawab tapi kali ini sepertinya beda, mulutnya seakan mulai berbicara.
Sembari mengucek kepalaku, dia berkata
"Lah jadi istri orang, Â mak mak tiga anak pula, masih seperti dulu, kapan berubahnya?"