Berjalannya waktu kita semakin dekat dan akrab seperti sepasang kekasih dan sering di ajak mas Wijaya untuk  main ke rumahnya.Â
Suasana rumah yang membuat aku nyaman, penuh tawa dan canda walau kehidupan mereka sederhana. Sejak sering main kesana, aku baru tahu ternyata mas Wijaya lebih tua satu tahun dariku dan sejak saat itu aku memanggilnya mas.
Dibilang kita pacaran, mas Wijaya tidak pernah bilang bahwa dia suka, cinta padaku tapi kalau dilihat keseharian dan di mata mereka, kita bagai sepasang kekasih.
Bahkan kita pernah di panggil guru BP karena kedekatan kita berdua. Mungkin karena jenjang pendidikan kita berbeda ditambah lagi aku siswa teladan. Mungkin!
Semua tak menyurutkan kita, untuk saling menjauh bahkan semakin dekat. Namun keakraban itu sedikit renggang ketika mas Wijaya memutuskan untuk sekolah di tempat yang berbeda.
Hingga aku tamat dan meneruskan kuliah di kota lain dan mas Wijaya pun memutuskan untuk merantau di seberang.
Sejak saat itu kami tidak bertemu lagi, bahkan ingin melayangkan surat pun tak tahu harus kemana.Â
Setiap liburan hingga aku mempunyai anak satu aku masih sering main ke rumah mas Wijaya bertemu dengan keluarganya. Tapi untuk bertemu mas Wijaya tak pernah ada kesempatan. Aku datang dia baru berangkat ke seberang atau sebaliknya.
Mamak dan bapak selalu bilang,Â
"Nduk, walau kamu bukan jodoh Wijaya, bapak dan mamak tetap menganggap kamu anak bontot mak dan bapak, jangan pernah membenci mas Wijaya mu ya nduk,"
"Takdir yang membuat kalian tidak berjodoh, takdir hanya menyatukan kalian kakak dan adik, " kata bapak sambil memangku anakku.