Jingga
Lama kita tidak berbincang, hari ini diawal tahun, menyempatkan diri untuk menyapamu, walau tahu mungkin kau sedikit merasa terpaksa atau lebih keberatan lagi akan sapa.
Tapi izinkan aku membuat satu atau dua paragraf agar gundah ini tak bertambah menyebar bahkan gulana yang akan menyelimutiÂ
Kau tahukan , tak suka diselimuti nestapa tapi mengapa tak hentinya nestapa menyapa, kapan bahagia nyata dapat aku miliki.
Mereka hanya melihat senyum tanpa mereka tahu bagaimana hatiku. Mereka hanya tahu tawa tanpa mereka tahu gejolak jiwa di dadaku.
Berlagak menjadi orang yang sok tegar, tidak cengeng, sok kuat tanpa air mata . Sekarang  ini  tahun ke empat belas dalam ke pura -pura rasa.
Seandainya mama masih ada mungkin aku bisa melepas letih sembari tidur dipangkuan seperti yang sering aku lakukan kalah tak mampu lagi menahan lelah dan kau selalu mematuhi perkataan mama.
JinggaÂ
Setiap diawal tahun ada trauma yang terus membayang, seakan tak terlepas dari diri. Seharusnya aku tak bergantung kepada kemanjaan. Bukankah semua telah berbeda! Seharusnya aku bisa bersikap dewasa. Ternyata kemanjaan itu masih melekat.
Terima kasih telah mengisi hari hari hingga mengeluarkan banyak inspirasi, tapi aku harus berani untuk memilih antara bahagia tapi ada yang terluka, atau aku tetap dalam kesendirian dan melewati semua dengan kesendirian.Â
JinggaÂ
Sedari remaja kita  bersama, penuh suka, duka dan luka tak pernah terpisahkan. Semua dijalani bersama, saling menguatkan . Suatu hari karena ego kita terpisah pada jarak dan waktu.
Takdir mempertemukan dengan keadaan berbeda, kembali dipisahkan oleh takdir. Dua puluh tahun  kemudian takdir mempertemukan kembali.Â
Hari hari yang kita lalui penuh kegembiraan terkadang terselip kesedihan namun hanya sejenak. Namun aku tahu ada yang terluka atas kebersamaan sebatas kaca.
Dua puluh enam tahun tak menjamin sosok itu membuka hatinya dan berdamai dengan hatiku. Menerima aku menjadi bagian keluarganya, menganggap aku adik bungsu dari suaminya.
Andai dia tahu semua hanya sebatas keinginan orang tuanya agar kami bisa bersatu. Tapi ikrar kita berdua akan tetap dipegang teguh, Darah kita sudah menyatu. Tak akan ingkari suratan takdir kita saudara.
Namun di awal tahun ini aku harus bisa memilih  bahagia milikku atau milik mereka. Maafkan aku biarkan aku kembali seperti dulu tanpamu dalam hari hariku, bukankah aku sudah terbiasa tanpamu.
Melewati lelah, sakit, kecewa, sedih sendiri. Bukankah sudah terbiasa sendiri . Sosok itu tak ingin kau membagi jiwamu untukkuÂ
Maafkan biarkan aku kembali pada kesendirianku melewati segalanya, Allah yang akan menjagaku, Allah yang akan mendekap.Â
Maafkan bila aku melawan takdir, aku menjauh dari takdir yang menemukan kita hanya karena tak ingin ada yang terluka atas kehadiranku. Namun percayalah kau tetap sosok kakak yang penyayang  yang terbaik aku punya. Walau tiada sapa apa lagi canda, ada doaku selalu untuk bahagia mu.
Ruang kosong 010120
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H