Jingga
Lama kita tidak berbincang, hari ini diawal tahun, menyempatkan diri untuk menyapamu, walau tahu mungkin kau sedikit merasa terpaksa atau lebih keberatan lagi akan sapa.
Tapi izinkan aku membuat satu atau dua paragraf agar gundah ini tak bertambah menyebar bahkan gulana yang akan menyelimutiÂ
Kau tahukan , tak suka diselimuti nestapa tapi mengapa tak hentinya nestapa menyapa, kapan bahagia nyata dapat aku miliki.
Mereka hanya melihat senyum tanpa mereka tahu bagaimana hatiku. Mereka hanya tahu tawa tanpa mereka tahu gejolak jiwa di dadaku.
Berlagak menjadi orang yang sok tegar, tidak cengeng, sok kuat tanpa air mata . Sekarang  ini  tahun ke empat belas dalam ke pura -pura rasa.
Seandainya mama masih ada mungkin aku bisa melepas letih sembari tidur dipangkuan seperti yang sering aku lakukan kalah tak mampu lagi menahan lelah dan kau selalu mematuhi perkataan mama.
JinggaÂ
Setiap diawal tahun ada trauma yang terus membayang, seakan tak terlepas dari diri. Seharusnya aku tak bergantung kepada kemanjaan. Bukankah semua telah berbeda! Seharusnya aku bisa bersikap dewasa. Ternyata kemanjaan itu masih melekat.
Terima kasih telah mengisi hari hari hingga mengeluarkan banyak inspirasi, tapi aku harus berani untuk memilih antara bahagia tapi ada yang terluka, atau aku tetap dalam kesendirian dan melewati semua dengan kesendirian.Â
JinggaÂ