*****
Aku kembali bertemu dengan bunda itu, lagi lagi di tempat yang sama. Kita sama sama menyapa, kita lebih akrab saja di banding kemarin.
Semua telah diceritakan  bunda tentang ayah, kenapa dia masih tetap menunggu di dermaga ini setiap menjelang senja. Berharap dia pulang dan menyapa walau dia tahu cinta mereka tidak pernah menyatu. Dia tahu bahwa dengan setia ia menunggu.Â
"Janji  untuk menunggu telah di tepati, tinggal menunggu waktu untuk di jemput senja," kata bunda sembari menghapus air matanya.
Saatnya aku berkata jujur ke bunda siapa aku yang sebenarnya dan kenapa aku berada di dermaga ini.
Aku tak sanggup mengusik kesunyian bunda. Aku hanya  memegang tangannya dengan erat sembari memberikan amplop jingga yang ayah titipkan padaku, sebelum keberangkatan aku kemarin.
"Ayah titip ini, sesampai di sana, setiap menjelang senja datang ke sana. Bila melihat seorang ibu duduk di dermaga berikan surat ini" kata ayah.
"Apa ayah yakin, dia akan duduk di dermaga bukankah ini kisah sudah tiga puluh tahun yang lalu," kataku sangsi dengan ucapan ayah.
"Lihat saja, jika tak ada yang setiap senja duduk di dermaga, hanyutkan  amplop ini ke tepian dermaga,"kata ayah kembali meyakinkan aku.
Aku memasukan amplop jingga ini, ke dalam tas. Tak ingin ibu melihat apa yang ayah titipkan dan tak ingin ibu curiga. Aku hanya ingin membahagiakan  ayah sebelum senja menjemputnya.
"Apa ini," kata bunda tak lepas dari rasa keheranannya padaku.