Mohon tunggu...
asni asueb
asni asueb Mohon Tunggu... Penjahit - Mencoba kembali di dunia menulis

menyukai dunia menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mamaku Guru, Sahabat dalam Keseharian Anak-anaknya

20 November 2020   22:18 Diperbarui: 20 November 2020   22:26 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ma

Aku terlalu lemah tanpamu

Bagai rumah tak berlantai

Bagai tonggak yang rapuh

Aku kehilangan kata

Saat kau berlalu

Aku kehilangan rasa

Saat aku tak di sampingmu 

Mama, izinkan aku bercerita tentang dirimu, sejak mereka bilang aku  seperti mama. Saat itu aku hanya diam karena aku sendiri tidak tahu di mana letak kesamaan di antara kita berdua.

Semasa kecil, aku anakmu yang ringkih yang selalu sakit, keluar masuk rumah sakit itu sudah jadi makanan utama bagiku. Kalau tidak di rawat di rumah sakit ada aja yang mebuat  tubuh cedera. Aku anakmu yang paling lemah dibandingkan  saudara saudaraku.

Masuk ke dalam rumah penuh kenangan , seakan semua terpampang jelas satu persatu pembelajaran diri bagi kami anak anakmu. Di mulai dari pembagian tugas mengurus rumah, setiap  satu minggu pergantian tugas dari memasak, mencuci, mengurus rumah. Semua kau atur agar semua merasakan bagaimana pekerjaan berat atau muda.

Semua anak anakmu harus bisa masak, sejak sekolah dasar kau telah mengajarkan kami untuk berlama lama di dapur, memasak sarapan pagi hingga sore.

Di saat puasa, anak anakmu mendapat giliran untuk memasak dan menyiapkan menu sahur walau tiba di giliran  aku, tugas itu hanya terlaksana dua hari selebihnya mama yang mengerjakan karena aku sakit dan tak bisa melaksanakan tugas itu.

Mama pun mengajarkan anak anaknya untuk menyulam, stremin, menjahit. Setiap lebaran kita menggunakan gorden , alas meja, bantal kursi dengan hasil jemari anak anaknya. Begitu pula dengan aneka kue kering dan kue basah  Semua diajarkan mama.

 Tidak ada yang luput dari pengajaran mama, walau  mama hanya tamatan SMP dengan semangatnya dan tekatnya mama bisa mengikuti pelatihan perawat dan akhirnya menjadi seorang bidan. Mama bukan sekolah keperawatan atau kebidanan hanya bermodal pelatihan.

Walau mama tamatan Sekolah Menengah Pertama tapi mama mampu mengajarkan anak anaknya pelajaran terutama matematika jingga ke jenjang Sekolah Menengah Atas.

Aku masih ingat bagaimana mama mengajarkan kami, bila kami tidak dapat menyelesaikan soal tersebut, tanpa marah, tanpa mengomel tapi jemarinya akan dengan cepat menyambar pusat kita. 

Terlalu banyak pembelajaran yang kami dapat dari mama yang hanya tamatan Sekolah Menengah Pertama. Rasanya tak cukup lembaran kertas untuk menceritakan sosok mama yang penuh cinta dan kasih sayang yang tak ubahnya dengan suaminya yaitu papa kami yang hanya tamatan Sekolah Dasar, tapi bila bicara soal bahasa indonesia dan sastra nomer satu.

Lagi lagi di rumah, aku yang diajarkan mama untuk menjadi lebih mandiri. Saat itu aku duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Di tahun  1987, saat itu musim sepatu kasogi, aku yakin mama mampu membelikan aku sepatu itu. Di luar nalar aku

"Ma, belikan sepatu kasogi ya," sembari berkata lagi musim pakai sepatu itu. 

Mama hanya diam tanpa menjawab, secara anak yang tidak memaksa dan membantah, aku pun ikut diam dan berlalu masuk kamar.

Sepulang mama kerja mama memanggil

"An, serius mau beli sepatu kasogi," kata mama berulang kali

" Ya ma, lagi musim sepatu itu," kataku bersungguh sungguh.

Mama mengeluarkan sesuatu dari kantong belanjaannya, 

"Pasti dompet," kataku dalam hati.

Ah... Mama mengeluarkan satu kilo terigu, satu kilo telor dan beberapa bahan lainnya. Belum sadar dari rasa kaget, mama bilang

" Mau sepatu, buat kue dan keuntungannya di kumpulkan, di tabung setelah cukup beli sepatu," kata mama dengan wajah serius

Aku merasa tertantang, dengan ajakan mama. Sejak itu setiap pagi setelah sholat subuh aku membuat bermacam  macam jenis kue dan di titipkan ke warung warung dan kantin sekolah.

Bisa dibayangkan berapa lama aku harus mengumpulkan uang untuk beli sepatu, uang terkumpul yang keluar malah sepatu merek lain, tapi berhubung niat hati membeli sepatu kasogi, aku tetap membelinya.

Hingga sekarang, bila menginginkan sesuatu tidak terlalu menggebu, aku akan nabung walau butuh lama dan terkumpul baru membeli apa yang aku inginkan walau sudah ada model yang baru.

Dari empat perempuan, anak anak mama hanya aku yang mengikuti jejak mama sekaligus jejak papa.

Sekarang aku menerima jahitan baju, menerima tempahan kue basah, bakso, pempek dan sebagainya dan menjual tanaman yang aku tanam dan pelihara sendiri. Sama seperti mama menyukai kembang namun tidak untuk dijual.

Sifat sosial, menolong orang tanpa memandang siapa dan apa orang tersebut, yang masih jelas aku ingat, Dulu aku sering menemani mama untuk mengobati orang orang kampung yang jauh dari jangkauan dokter.

Terkadang jarang yang kita tempuh jauh, dari pintu satu ke pintu yang lain. Kita di bayar dengan hasil tanaman mereka, walau kita tahu pulang kita pasti keberatan apa lagi jarak jauh. 

Tak pernah sekalipun aku melihat kekecewaan mama di bayar dengan hasil kebun, mama akan tetap tersenyum dan mensyukuri apa yang mereka beri. 

Di saat malam saat orang tidur nyenyak bila ada yang minta tolong karena sakit atau melahirkan, dengan senang hati mama akan menolong walau telah mengganggu jam tidurnya dan aku dengan setia menemani mama sekalipun besok harus sekolah.

Di saat lebaran mama tidak memikirkan perut anak anak dan suaminya terlebih dahulu, tapi perut dan penciuman tetangga sekeliling rumah, kata mama.

"Berdosa kalau kita tidak memberikan makanan yang kita masak ke tetangga, karena mereka mencium bau masakan kita,"

Jadi kita harus mengantar makanan makanan ke tetangga setelah selesai baru kita makan.

Hebatnya mama, dia di cintai dan di senangi seluruh orang karena kemurahan hatinya, sifat sosialnya, dermawan

 Hingga ajal menjemputnya, orang orang masih mengenang dia, baik dari anak anak, dewasa hingga nenek. 

Aku bangga terlahir dari rahim seorang ibu yang sederhana, tidak pernah menuntut apa apa pada suami.

Setiap aku pulang untuk ziarah ke makam papa sekaligus melihat rumah. Orang orang selalu bilang aku seperti mama, termasuk tanteku pun bilang aku seperti mama.

Memikul nama mama terasa berat karena aku belumlah seberapa di banding ketulusan, kesabaran dan keikhlasan mama menjalani hidup.

Mama memberi ilmu terbaik yang dia punya untuk bekal kami menjalani hidup. Mama yang penyabar dengan kenakalan kami. 

Dokpribadi
Dokpribadi
Kami mencintaimu. Doa kami selalu untuk mama, anak anak, mantu dan cucu serta cicit menyayangimu selalu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun