"Kau tahu, dulu ibuku sering mengajakku duduk di taman ini sebab beliau amat menyukai bunga mawar. Bahkan, ibuku hanya menginginkan kelopak-kelopak mawar di atas pusaranya. Mawar berwarna merah, merekah, dan bergairah, begitu kata ibuku sebelum menghembuskan napas terakhirnya."
"Sekarang, ibuku sudah menjadi salah satu bintang di langit. Jadi, saat malam, terkadang aku duduk di sini sembari melihat bintang-bintang. Aku sedang menyapa ibuku, begitu pula ibuku, dia sedang melihatku tumbuh menjadi seorang perempuan dewasa dari atas sana." Lanjutnya.
Dia bercerita tanpa jeda. Aku mendengarkan dengan lebih seksama.
"Aku yakin ibuku sudah bahagia di sana. Ketika ibu meninggal, aku sangat sedih sebab kehilangan beliau, tapi, aku juga bahagia sebab ibu tak lagi merasakan sakit."
Dia menghela napas panjang. Membetulkan posisi duduknya, lalu melanjutkan.
"Kau tahu, kenapa ibuku meninggal? Ibuku terkena kanker semenjak aku di bangku SMA. Namun, beliau masih harus bekerja buatku. Ibuku membesarkanku sendirian tanpa seorang ayah. Bahkan aku belum pernah melihat ayahku sampai aku seusia sekarang. Kata ibu, ayahku pergi sebelum aku lahir. Dulu aku sering bertanya kepada ibu ke mana ayah pergi. Tapi, semenjak aku tahu ibu sakit, aku berhenti menambah penderitaan ibuku dengan pertanyaan itu."
Perempuan ini terus bercerita seperti yakin jika aku bisa mendengarnya dan seakan menungguku mengatakan sepatah atau dua patah kata untuk menanggapi ceritanya.
"Lalu, setelah ibu meninggal. Aku memuaskan dahaga akan ayahku dengan mencari informasi ke teman-teman ibu dan ayah. Hingga, akhirnya, aku tahu kalau ayahku pergi karena dia ingin berjuang di jalan Tuhan. Dia pergi meninggalkan ibuku dan aku. Katanya, kalimat Tuhan harus ditegakkan sebelum para nabi palsu berdatangan seperti gerombolan manusia lapar menuju kedai makanan. Tak ada yang bisa mencegahnya, baik teman maupun keluarga ayah. Ibu akhirnya dengan berat hati melepas ayah. Katanya, hanya Tuhan sendiri yang mampu mencegahnya pergi. Dan ayah pun pergi saat ibu masih mengandungku."
"Aku tak tahu, apakah ayahku masih hidup atau sudah mati. Konon katanya ayah ikut berperang, seperti yang kutahu, peperangan selalu menyisakan duka lebih dari apa yang bisa kita bayangkan. Dan duka selalu menempati tempatnya tanpa butuh perijinan dari siapapun."
Lalu kulihat air mata jatuh di kedua pipinya. Aku bisa merasakan kesedihan, kerinduan, serta rasa tak berdaya menguasainya. Seketika aku ingin menjelma menjadi manusia, agar bisa menopang bahunya dan memeluknya.
Bangku pojok kiri, dini hari.