Aku masih ingat rasanya mekar untuk pertama kali. Setelah penantian panjang, aku yang mengira tubuhku hanya terdiri dari duri dan daun ternyata bisa berbunga dengan kelopak-kelopak indah memukau. Merah, merekah, seperti gairah-gairah para pecinta menjelang subuh tiba. Begitu bermekaran, aku menjadi magnet bagi para pengunjung taman. Mereka, laki-laki atau perempuan, perempuan-perempuan, muda-tua juga remaja, sering kulihat duduk sembari mengobrol tentang apa saja. Aku seringkali mendengar obrolan mereka yang begitu banyak macam. Seolah di taman ini kau bebas membicarakan tentang apa saja tanpa perlu takut orang lain akan menceritakan rahasiamu. Bahkan aku pernah mendengar cerita tentang rencana pembunuhan dari sepasang kekasih kepada kekasih lainnya karena mereka ingin hidup bahagia berdua selamanya, katanya. Aku tak mengerti kenapa manusia bisa seperti itu terhadap lainnya perihal masalah cinta. Barangkali aku harus bersyukur sebanyak-banyaknya kepada Tuhan sebab tidak diciptakan sebagai manusia, tapi sebagai sekuntum bunga indah berwarna merah. Tak ada kesempatanku untuk berbuat buruk, meskipun aku punya duri-duri, itu adalah upayaku untuk melindungi diri dari yang berniat buruk kepada tubuhku.
Saban pagi, aku menikmati tubuhku basah, entah oleh embun atau tetes air dari manusia yang rutin menyiramiku. Aku menghidu udara pagi sembari menerima anugerah matahari, untuk kembali menjadi pendengar setia pengunjung taman ini. Lalu, ketika senja tiba, aku akan jatuh cinta, bersenandung, dan merapal doa-doa. Hingga, menjelang malam, aku akan menyambut rembulan dengan sajak-sajak para pecinta. Sampai matahari terbit keesokan harinya, dan aku kembali menjadi sekuntum mawar yang merekah, di taman kota.
Bangku pojok kanan, siang hari.
Inilah yang aku dengar...
"Bagiku tampak bahwa, bagaikan tanaman yang hidup, aku merupakan gambaran suatu dunia yang ideal. Bahwa aku bukan hanya terdiri dari apa yang kuingin, apa yang kupikir -- aku juga adalah apa yang tak kucintai, apa yang tak kuinginkan untuk menjelma. Penciptaanku dimulai sebelum aku dilahirkan. Aku tak bisa memilih lingkungan sehingga harus menerima apa saja yang dianugerahkan kepadaku"
"Hmmm... Bimala, Rabindranath Tagore..."
"Ah, sial. Kau menebaknya lagi dengan benar. Sekarang giliranmu."
"Aku mencintaimu..." kata si lelaki itu.
Aku menangkap getar dari suara lelaki itu.
"Aku mencintaimu.. karena segenap alam semesta bersatu membantuku menemukanmu..."
"Oh, aku tahu. Paulo Coelho dalam The Alchemist. Kau tahu? Aku sudah dua kali membaca novel itu"
"Dan, aku mencintaimu, Ra..."
Lelaki itu menatap dalam-dalam mata si perempuan yang dipanggil Ra. Bahkan aku bisa melihat kejujuran dari matanya. Sebab mata tak pernah mampu berbohong. Aku menantikan tanggapan perempuan itu.
"Ah, besok kau juga bakal lupa kalimat itu, San" jawab perempuan itu.
"Kau akan bosan denganku. Apalagi jika kita pacaran, setiap hari aku akan mengirimimu pesan, aku akan mengajakmu lebih sering jalan bareng. Dan kau akan mulai mengeluh hingga menyesal menjadikan aku pacarmu. Hahaha..." lanjut perempuan itu.
Lelaki itu terdiam, sepertinya dia terkejut dengan jawaban si perempuan.
"Baiklah, mari antar aku pulang. Aku khawatir kau akan semakin mencintaiku jika berlama-lama denganku", ucap perempuan itu sambil tertawa.
Lalu, mereka berdua pergi, si lelaki masih terdiam. Tapi aku tahu dia telah patah hati.
Bangku pojok kiri, senja hari.
"Kau tahu? Aku mau dijodohkan dengan seorang lelaki. Katanya, aku tak perlu pilih-pilih lagi, asal dia mampu membimbing ke jalan yang benar, sudah, terima saja."
"Aku nggak tahu, apakah selama ini aku terlihat seperti perempuan yang tersesat hingga perlu dibimbing segala?"
Perempuan itu bercerita dengan kekesalan yang mengkhawatirkan.
"Bukankah menikah itu harus saling? Saling mencintai, menyayangi, mengasihi, mengingatkan, melayani, dan saling pokoknya. Selama ini aku merasa hidupku baik-baik saja. Kenapa aku harus bersama dengan lelaki yang menasbihkan diri seolah dia tak bakal punya dosa, apakah dia semacam nabi?"
"Ah, mungkin karena kau terlalu mandiri dan tak kunjung punya calon suami sehingga orang-orang menganggap kalau kau butuh bimbingan. Ditambah kau ini suka berbicara terang-terangan dan melakukan apa yang kau inginkan, dan itu mungkin membuat lelaki insecure semakin ingin membimbingmu."
"Dikira aku anak yang butuh bimbel begitu kah? Bagaimana bisa aku menjalin rumah tangga dengan lelaki yang penakut? Aku masih menunggu seseorang yang tepat buatku. Banyak orang baik, tapi sayangnya mereka yang baik tak lantas berarti tepat buat kita, kan?"
"Ya, begitulah. Kita ini sudah terlatih mandiri dan tahu apa yang kita mau. Yakin saja kita bakal baik-baik saja menghadapi kehidupan ini dengan atau tanpa lelaki."
"Kurasa begitu. Hmmm, mungkin aku harus menunggu Tuhan mengirimkan malaikat yang kelak menjelma menjadi manusia yang menerima aku seperti aku menerima diriku."
"Ah, ayo pergi. Kau sudah mulai berkhayal, tak masuk akal."
Mereka berdua pergi, aku masih mencoba untuk mencerna apa yang baru saja kudengar. Bagaimana rasanya menjadi manusia perempuan? Tapi, bukankah tak perlu menjadi perempuan untuk bisa merasakan bagaimana rasanya jadi perempuan?
Bangku tengah, malam hari.
Aku melihat seorang perempuan duduk, sendirian. Dia duduk dalam diam. Aku mengamatinya, barangkali dia masih menunggu seseorang. Namun, setelah kutunggu lama, tak ada yang datang, dan dia masih duduk sendirian. Angin malam bertiup menggerakkan dedahanan dan rambut perempuan di bangku itu.
Kulihat dia memejamkan mata menikmati sentuhan angin. Lalu, membuka mata, dan menengadahkan wajahnya ke langit. Sekarang nampak dia seolah sedang berbicara dengan bintang-bintang. Aku mengamatinya dan belum bosan. Dia menghampiriku, meletakkan jemarinya di kelopak-kelopak tubuhku, menyusuri rantingku yang penuh duri. Dengan hati-hati aku menggeliat agar jemarinya tak tertusuk duriku. Lalu, dia duduk sambil menatapku lekat-lekat.
"Kau tahu, dulu ibuku sering mengajakku duduk di taman ini sebab beliau amat menyukai bunga mawar. Bahkan, ibuku hanya menginginkan kelopak-kelopak mawar di atas pusaranya. Mawar berwarna merah, merekah, dan bergairah, begitu kata ibuku sebelum menghembuskan napas terakhirnya."
"Sekarang, ibuku sudah menjadi salah satu bintang di langit. Jadi, saat malam, terkadang aku duduk di sini sembari melihat bintang-bintang. Aku sedang menyapa ibuku, begitu pula ibuku, dia sedang melihatku tumbuh menjadi seorang perempuan dewasa dari atas sana." Lanjutnya.
Dia bercerita tanpa jeda. Aku mendengarkan dengan lebih seksama.
"Aku yakin ibuku sudah bahagia di sana. Ketika ibu meninggal, aku sangat sedih sebab kehilangan beliau, tapi, aku juga bahagia sebab ibu tak lagi merasakan sakit."
Dia menghela napas panjang. Membetulkan posisi duduknya, lalu melanjutkan.
"Kau tahu, kenapa ibuku meninggal? Ibuku terkena kanker semenjak aku di bangku SMA. Namun, beliau masih harus bekerja buatku. Ibuku membesarkanku sendirian tanpa seorang ayah. Bahkan aku belum pernah melihat ayahku sampai aku seusia sekarang. Kata ibu, ayahku pergi sebelum aku lahir. Dulu aku sering bertanya kepada ibu ke mana ayah pergi. Tapi, semenjak aku tahu ibu sakit, aku berhenti menambah penderitaan ibuku dengan pertanyaan itu."
Perempuan ini terus bercerita seperti yakin jika aku bisa mendengarnya dan seakan menungguku mengatakan sepatah atau dua patah kata untuk menanggapi ceritanya.
"Lalu, setelah ibu meninggal. Aku memuaskan dahaga akan ayahku dengan mencari informasi ke teman-teman ibu dan ayah. Hingga, akhirnya, aku tahu kalau ayahku pergi karena dia ingin berjuang di jalan Tuhan. Dia pergi meninggalkan ibuku dan aku. Katanya, kalimat Tuhan harus ditegakkan sebelum para nabi palsu berdatangan seperti gerombolan manusia lapar menuju kedai makanan. Tak ada yang bisa mencegahnya, baik teman maupun keluarga ayah. Ibu akhirnya dengan berat hati melepas ayah. Katanya, hanya Tuhan sendiri yang mampu mencegahnya pergi. Dan ayah pun pergi saat ibu masih mengandungku."
"Aku tak tahu, apakah ayahku masih hidup atau sudah mati. Konon katanya ayah ikut berperang, seperti yang kutahu, peperangan selalu menyisakan duka lebih dari apa yang bisa kita bayangkan. Dan duka selalu menempati tempatnya tanpa butuh perijinan dari siapapun."
Lalu kulihat air mata jatuh di kedua pipinya. Aku bisa merasakan kesedihan, kerinduan, serta rasa tak berdaya menguasainya. Seketika aku ingin menjelma menjadi manusia, agar bisa menopang bahunya dan memeluknya.
Bangku pojok kiri, dini hari.
Aku melihat seorang perempuan dan seorang lelaki. Tak seperti orang-orang yang aku lihat hari ini. Dua orang itu duduk rapat berdekatan. Lalu, aku melihat mereka berdua minum dari sebuah botol yang sama. Lelaki itu minum terlebih dulu, kemudian lanjut dengan si perempuan. Setelah itu mereka menyilangkan tangan untuk saling berpelukan. Lalu, aku melihat malaikat membawa mereka terbang. Menuju langit yang malam itu terasa lebih pekat, dan angin malam menebarkan kengerian tak kalah lekat.
Aku tercekat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H