Perempuan itu bercerita dengan kekesalan yang mengkhawatirkan.
"Bukankah menikah itu harus saling? Saling mencintai, menyayangi, mengasihi, mengingatkan, melayani, dan saling pokoknya. Selama ini aku merasa hidupku baik-baik saja. Kenapa aku harus bersama dengan lelaki yang menasbihkan diri seolah dia tak bakal punya dosa, apakah dia semacam nabi?"
"Ah, mungkin karena kau terlalu mandiri dan tak kunjung punya calon suami sehingga orang-orang menganggap kalau kau butuh bimbingan. Ditambah kau ini suka berbicara terang-terangan dan melakukan apa yang kau inginkan, dan itu mungkin membuat lelaki insecure semakin ingin membimbingmu."
"Dikira aku anak yang butuh bimbel begitu kah? Bagaimana bisa aku menjalin rumah tangga dengan lelaki yang penakut? Aku masih menunggu seseorang yang tepat buatku. Banyak orang baik, tapi sayangnya mereka yang baik tak lantas berarti tepat buat kita, kan?"
"Ya, begitulah. Kita ini sudah terlatih mandiri dan tahu apa yang kita mau. Yakin saja kita bakal baik-baik saja menghadapi kehidupan ini dengan atau tanpa lelaki."
"Kurasa begitu. Hmmm, mungkin aku harus menunggu Tuhan mengirimkan malaikat yang kelak menjelma menjadi manusia yang menerima aku seperti aku menerima diriku."
"Ah, ayo pergi. Kau sudah mulai berkhayal, tak masuk akal."
Mereka berdua pergi, aku masih mencoba untuk mencerna apa yang baru saja kudengar. Bagaimana rasanya menjadi manusia perempuan? Tapi, bukankah tak perlu menjadi perempuan untuk bisa merasakan bagaimana rasanya jadi perempuan?
Bangku tengah, malam hari.
Aku melihat seorang perempuan duduk, sendirian. Dia duduk dalam diam. Aku mengamatinya, barangkali dia masih menunggu seseorang. Namun, setelah kutunggu lama, tak ada yang datang, dan dia masih duduk sendirian. Angin malam bertiup menggerakkan dedahanan dan rambut perempuan di bangku itu.
Kulihat dia memejamkan mata menikmati sentuhan angin. Lalu, membuka mata, dan menengadahkan wajahnya ke langit. Sekarang nampak dia seolah sedang berbicara dengan bintang-bintang. Aku mengamatinya dan belum bosan. Dia menghampiriku, meletakkan jemarinya di kelopak-kelopak tubuhku, menyusuri rantingku yang penuh duri. Dengan hati-hati aku menggeliat agar jemarinya tak tertusuk duriku. Lalu, dia duduk sambil menatapku lekat-lekat.