Mohon tunggu...
Nok Asna
Nok Asna Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Senja dan Sastra.

Penikmat Senja dan Sastra.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Seperti Dendam, Rindu Akan Lombok Juga Harus Dibayar Tuntas (Part 2)

28 Agustus 2019   07:38 Diperbarui: 28 Agustus 2019   07:53 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah puas melihat air terjun Benang Kelambu dan Benang Stokel, kami melanjutkan perjalanan untuk menyaksikan senja dari Vila Hantu di Dusun Setangi. Vila tidak berpenghuni ini menawarkan pemandangan senja yang indah sekaligus pantai Setangi yang eksotis.

Ketika saya tiba, beberapa pengunjung sudah nampak mulai memadati setiap sudut Vila. Tiga tahun saat saya ke sini, saya bisa naik sampai lantai atas. 

Namun, menurut kak Leo, setelah gempa bumi mengakibatkan beberapa retakan di tangga naik, demi keselamatan pengunjung tangga itu dirobohkan, sehingga pengunjung tidak lagi bisa naik sampai lantai teratas. 

Beberapa pengunjung nampak menantikan senja dari Vila Hantu ini sembari menikmati pemandangan pantai Setangi yang eksotis.

Mereka yang menunggu senja (dok.pri)
Mereka yang menunggu senja (dok.pri)
Rupanya duduk manis sambil melihat ke laut lepas dengan diiringi semilir angin membuat saya betah berlama-lama menikmati suguhan alam Tuhan di depan mata.

Nampak gunung Agung ketika senja tiba (dok.pri)
Nampak gunung Agung ketika senja tiba (dok.pri)
Ketika senja mulai ditelan kegelapan, kami kembali menuju Mataram. Setelah seharian keliling TWA Gunung Tunak, air terjun Benang Kelambu dan Benang Stokel, dan terakhir menikmati senja di Setangi, barulah perut terasa lapar. Makan siang dirapel sekaligus dengan makan malam. 

Sesampainya di Mataram, kami menuju warung makan sate Rembiga punya ibu Hj. Sinnaseh. Saya memesan satu porsi sate Rembiga dengan lontongnya, pelecing kangkung, dan segelas teh tawar. Inilah penampakan sate dari daging sapi yang sukses membuat lidah saya menari kegirangan.

sate Rembiga (dok.pri)
sate Rembiga (dok.pri)
Bentuk lontong khas Lombok yang unik. Paling cocok makan sate Rembiga dengan lontong nan imut ini.

Lontong teman makan sate Rembiga (dok.pri)
Lontong teman makan sate Rembiga (dok.pri)
Tidak lupa pelecing kangkung kebanggaan kita bersama. Kangkungnya masih segar dan renyah, ditambah dengan bumbu yang berasa pedas dan manis, sungguh bagaikan sepiring surga yang layak dirindukan.

Pelecing kangkung (dok.pri)
Pelecing kangkung (dok.pri)
Seperti yang sudah saya rencanakan, setelah makan sate Rembiga dan pelecing kangkung, saya minta kak Leo untuk mengantarkan saya makan bakso. 

Malam itu sengaja saya melebarkan lambung saya untuk menikmati makanan di Mataram. Anggap saja itu pengganti kalori yang seharian saya habiskan untuk jalan naik-turun bukit. :D

Hari Ketiga

Hari ini kami akan berpetualang ke lokasi yang saya tunggu-tunggu, ialah pantai Pink dan Tanjung Bloam. Kata kak Leo, jalanan menuju 2 tempat itu lumayan menantang dan tidak banyak pengunjung yang bisa ditemui. 

Apalagi kabarnya minggu lalu ada kasus kriminal yang terjadi di sekitar Tanjung Bloam, sehingga kak Leo mengajak 2 temannya untuk berpetualang hari ini. 

Kami juga memilih pergi di hari Minggu agar jalanan tidak terlalu sepi. Pantai Pink terletak di Kecamatan Jerowaru, Kabupaten Lombok Timur, yang membutuhkan waktu tempuh kurang lebih selama 2 jam dari Mataram.

Sepanjang perjalanan saya melihat hamparan tanaman tembakau yang hijau royo-royo. Setelah melalui jalanan aspal yang mulus, saatnya petualangan dimulai. 

Jalanan berdebu dan bumpy yang harus kami lewati kurang lebih sepanjang 7 KM. Kami melewati perkampungan penduduk yang seakan terpencil. Barisan tanaman meranggas demi bertahan hidup. 

Deretan gubuk-gubuk sederhana milik penduduk setempat yang menambah kesan eksotis kampung yang kami lalui. Saya salut kepada penduduk sekitar yang mampu bertahan hidup di tanah yang gersang dan terik seperti itu.

Debu-debu jalanan menguar tak terkendali. Saya menyaksikan hutan sengon yang nampak mati, namun eksotis jika diamati. Beberapa gubuk berdiri di tengah hutan dan saling berjauhan satu sama lain. 

Menurut kak Leo, beberapa orang sengaja mendirikan gubuk di tengah hutan untuk tempat tinggal sementara selama mereka manggarap tanah pemerintah yang biasanya ditanami jagung. Mereka memperoleh pasokan air yang bisa dibeli dari truk pengantar air dengan harga sekitar 250 ribu per 1000 liternya.

Ada pantai Pink 1, 2, dan 3 yang bisa dikunjungi dan kak Leo mengajak kami menuju pantai Pink 2. Kami harus melalui bekas ladang jagung milik petani untuk bisa sampai ke pantai. Jika belum pernah ke pantai ini sebelumnya, saya kira akan sedikit kesulitan untuk menemukan jalan menuju pantai Pink ini.

Sesampainya di pantai, saya menelusuri tepian sembari menikmati semilir angin yang berhembus, lalu naik ke bukit bekas ladang jagung yang tajam dan penuh duri untuk mengambil spot foto yang bagus. 

Saya melihat kawanan monyet bermain-main di bekas ladang jagung. Sesekali saya juga melihat kapal hilir mudik membawa penumpang dari pulau seberang untuk singgah di pantai.

pantai Pink 2 (dok.pri)
pantai Pink 2 (dok.pri)
Kami duduk santai di sebuah gazebo dari kayu dan beratap rumbia yang dibangun oleh penduduk sekitar sembari ngobrol dengan pengunjung lain dan menikmati perbekalan yang kami bawa. Ketika kantuk mulai menyerang, kami memutuskan untuk mengambil foto ala summer di tepian pantai.

dok.pri
dok.pri
Jika anda mengunjungi pantai Pink 2 ini, jangan lupa siapkan perbekalan yang cukup karena di sekitar pantai hanya ada ladang kosong yang luas dan semak berduri. 

Sekitar pukul 13.00 WITA, kami meninggalkan pantai menuju Tanjung Bloam. Dalam perjalanan kami bertemu dengan rombongan remaja yang sepertinya juga akan menuju pantai Pink. 

Kak Leo memberi tahu jalan yang harus ditempuh oleh rombongan remaja tersebut. Kami kembali harus melewati hutan sengon yang seakan mati.

Ternyata pemirsa, kami harus menerobos hutan sengon yang eksotis. Saya takjub dan minta singgah sebentar untuk berfoto ria dan ternyata kawan yang lain juga berminat untuk foto di hutan yang meranggas itu.

dok.pri
dok.pri
Jalanan menuju Tanjung Bloam seakan merontokkan badan saya. Sesekali kami harus melewati pohon yang telah tumbang. Kami harus waspada setiap saat demi keselamatan kepala dari sapaan ranting-ranting. 

Tanaman berduri di kanan-kiri beberapa kali membuat pakaian saya tersangkut dan melukai tangan yang tidak tertutup pakaian. 

So, gaes, kalau hendak ke Tanjung Bloam harus pakai jaket atau baju tebal agar tidak tertusuk tanaman berduri di sepanjang jalan. 

Kalau saya pikir, jalan yang kami lalui ini bukan jalan umum, tapi kami berusaha mencari celah yang bisa dilewati di tengah hutan belantara.

Kami singgah sebentar untuk menikmati perbukitan gersang, pantai, dan hembusan angin, sebelum kembali melanjutkan perjalanan menuju Tanjung Bloam. Angin di tempat ini seakan mendorong kuat tubuh saya untuk menjatuhkan diri ke pantai sangking kencangnya.

dok.pri
dok.pri
Puas berfoto, kami melanjutkan perjalanan yang masih harus melewati tanaman berduri tajam. Beberapa kali baju saya tersangkut dan telapak tangan saya tertusuk duri. Jalanan bebatuan tidak rata membuat motor harus bekerja ekstra. Saya cuma khawatir kalau ban motor tiba-tiba bocor.

Kami parkir di tengah rimbunnya semak belukar untuk melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki. Butuh waktu sekitar 15 menit untuk berjalan menuju Tanjung Bloam melalui bekas aliran sungai yang kering penuh bebatuan. Kalau dilihat bebatuan tersebut nampak seperti batu karang. 

Mungkin dulu adalah dasar laut yang dengan proses alam terangkat ke atas. Saya melangkahkan kaki dengan ekstra untuk mengimbangi 3 cowok yang irama langkah kakinya sudah seperti dikejar setan. 

Kak Leo yang terakhir datang ke Tanjung Bloam sekitar 2 tahun lalu nampaknya agak lupa jalan yang harus dilalui. Berbekal ingatan yang limited itu kami bersyukur tidak tersesat dan tahu arah jalan pulang.

Sesampainya di Tanjung Bloam kami disambut suara deburan ombak yang dahsyat. Ternyata di lokasi sudah ada rombongan dari Mataram yang juga penasaran dengan Tanjung Bloam. Mereka datang dengan menggunakan mobil sehingga jalur yang ditempuh pun berbeda dengan kami.

Tanjung Bloam (dok.pri)
Tanjung Bloam (dok.pri)
Tanjung Bloam semakin sepi pengunjung terlebih setelah ada yang peristiwa kecelakaan yang merenggut nyawa korban karena ditelan oleh ombak saat berdiri di bebatuan karang. Ombak terkadang memang sangat besar, sehingga pengunjung harus selalu waspada.

Bagi anda yang ingin liburan dengan merogoh kocek agak dalam, anda bisa menyewa kamar hotel yang ada di Tanjung Bloam. Anda bisa menikmati pantai juga dari depan hotel tersebut. Kabarnya rate kamar per malamnya sekitar 4 juta rupiah saja.

Hotel di Tanjung Bloam (dok.pri)
Hotel di Tanjung Bloam (dok.pri)
Beberapa menit setelah kami datang, rombongan pengunjung sebelum kami telah pergi. Saatnya bagi kami untuk menguasai Tanjung Bloam. Saya asyik berlari menikmati deburan ombak dan angin yang semakin sore semakin kencang. 

Beberapa kali ombak menyapa saya dengan percikan-percikan airnya yang mengenai wajah. Kami berempat bergantian berfoto ria.

dok.pri
dok.pri
Meskipun asyik berfoto, tetap harus hati-hati jika ombak datang yaa, Gaes. Tepat di belakang teman saya berdiri itulah dulu 2 pengunjung dilahap oleh ombak yang pada waktu itu lumayan besar.

Kami memutuskan kembali ke Mataram sebelum beranjak gelap. Apalagi kami harus kembali melewati hutan dan mengeja jalan untuk bisa keluar hutan.

 Kami sempat bingung karena jalan datang dan jalan pulang yang dilalui berbeda. Syukurlah, kami bisa keluar hutan dengan kurang suatu apapun dan tentunya membawa kenangan yang keren.

Sepanjang perjalanan menuju Mataram, beberapa kali kami melewati rombongan yang sedang melakukan upacara pernikahan. Saat upacara pernikahan, kedua pengantin akan diarak keliling menuju rumah mempelai wanita dengan berjalan kurang lebih 3 KM jauhnya. Lalu, bagaimana kalau beda kota? 

Caranya ialah rombongan naik kendaraan dahulu, kemudian kira-kira jarak 3 KM baru bertemu dan berjalan menuju rumah mempelai wanita. 

Arak-arakan upacara ini kalau menurut saya sangat meriah seperti karnaval memperingati 17 Agustus yang biasa dilaksanakan di kampung saya. Semua berdandan dengan menggunakan busana khas Lombok dan memainkan alat musik.

Kak Leo yang merupakan orang asli Lombok bercerita banyak tentang budaya dan kebiasaan masyarakat yang masih bertahan sampai sekarang. 

Mulai dari cara pernikahan tadi, tentang kebiasaan nikah usia anak, asal-usul nama daerah jika kebetulan kami lewat suatu daerah, dan kehidupan masyarakat Lombok lainnya.

Kami mengakhiri petualangan hari ini dengan kembali menikmati nasi Balap Puyung di rumah makan Inaq Esun sembari mengobrol tentang apa saja. 

Saya paling senang jika traveling kemudian di tempat tujuan ketemu sesama traveler. Kami bisa bertukar cerita tentang tempat yang pernah dikunjungi dan rekomendasi destinasi selanjutnya.

Saya meninggalkan Lombok keesokan harinya. Rasanya 4 hari di Lombok masih sangat kurang. Meskipun Lombok sedang berproses untuk bangkit dari bencana gempa, tapi bagi saya Lombok sudah sangat welcome untuk dikunjungi. So, angkat ranselmu, gaes! Sate Rembiga dan pelecing kangkung menanti...:D

Salam... 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun