Setelah puas melihat air terjun Benang Kelambu dan Benang Stokel, kami melanjutkan perjalanan untuk menyaksikan senja dari Vila Hantu di Dusun Setangi. Vila tidak berpenghuni ini menawarkan pemandangan senja yang indah sekaligus pantai Setangi yang eksotis.
Ketika saya tiba, beberapa pengunjung sudah nampak mulai memadati setiap sudut Vila. Tiga tahun saat saya ke sini, saya bisa naik sampai lantai atas.Â
Namun, menurut kak Leo, setelah gempa bumi mengakibatkan beberapa retakan di tangga naik, demi keselamatan pengunjung tangga itu dirobohkan, sehingga pengunjung tidak lagi bisa naik sampai lantai teratas.Â
Beberapa pengunjung nampak menantikan senja dari Vila Hantu ini sembari menikmati pemandangan pantai Setangi yang eksotis.
Sesampainya di Mataram, kami menuju warung makan sate Rembiga punya ibu Hj. Sinnaseh. Saya memesan satu porsi sate Rembiga dengan lontongnya, pelecing kangkung, dan segelas teh tawar. Inilah penampakan sate dari daging sapi yang sukses membuat lidah saya menari kegirangan.
Malam itu sengaja saya melebarkan lambung saya untuk menikmati makanan di Mataram. Anggap saja itu pengganti kalori yang seharian saya habiskan untuk jalan naik-turun bukit. :D
Hari Ketiga
Hari ini kami akan berpetualang ke lokasi yang saya tunggu-tunggu, ialah pantai Pink dan Tanjung Bloam. Kata kak Leo, jalanan menuju 2 tempat itu lumayan menantang dan tidak banyak pengunjung yang bisa ditemui.Â
Apalagi kabarnya minggu lalu ada kasus kriminal yang terjadi di sekitar Tanjung Bloam, sehingga kak Leo mengajak 2 temannya untuk berpetualang hari ini.Â
Kami juga memilih pergi di hari Minggu agar jalanan tidak terlalu sepi. Pantai Pink terletak di Kecamatan Jerowaru, Kabupaten Lombok Timur, yang membutuhkan waktu tempuh kurang lebih selama 2 jam dari Mataram.
Sepanjang perjalanan saya melihat hamparan tanaman tembakau yang hijau royo-royo. Setelah melalui jalanan aspal yang mulus, saatnya petualangan dimulai.Â
Jalanan berdebu dan bumpy yang harus kami lewati kurang lebih sepanjang 7 KM. Kami melewati perkampungan penduduk yang seakan terpencil. Barisan tanaman meranggas demi bertahan hidup.Â
Deretan gubuk-gubuk sederhana milik penduduk setempat yang menambah kesan eksotis kampung yang kami lalui. Saya salut kepada penduduk sekitar yang mampu bertahan hidup di tanah yang gersang dan terik seperti itu.
Debu-debu jalanan menguar tak terkendali. Saya menyaksikan hutan sengon yang nampak mati, namun eksotis jika diamati. Beberapa gubuk berdiri di tengah hutan dan saling berjauhan satu sama lain.Â
Menurut kak Leo, beberapa orang sengaja mendirikan gubuk di tengah hutan untuk tempat tinggal sementara selama mereka manggarap tanah pemerintah yang biasanya ditanami jagung. Mereka memperoleh pasokan air yang bisa dibeli dari truk pengantar air dengan harga sekitar 250 ribu per 1000 liternya.
Ada pantai Pink 1, 2, dan 3 yang bisa dikunjungi dan kak Leo mengajak kami menuju pantai Pink 2. Kami harus melalui bekas ladang jagung milik petani untuk bisa sampai ke pantai. Jika belum pernah ke pantai ini sebelumnya, saya kira akan sedikit kesulitan untuk menemukan jalan menuju pantai Pink ini.
Sesampainya di pantai, saya menelusuri tepian sembari menikmati semilir angin yang berhembus, lalu naik ke bukit bekas ladang jagung yang tajam dan penuh duri untuk mengambil spot foto yang bagus.Â
Saya melihat kawanan monyet bermain-main di bekas ladang jagung. Sesekali saya juga melihat kapal hilir mudik membawa penumpang dari pulau seberang untuk singgah di pantai.
Sekitar pukul 13.00 WITA, kami meninggalkan pantai menuju Tanjung Bloam. Dalam perjalanan kami bertemu dengan rombongan remaja yang sepertinya juga akan menuju pantai Pink.Â
Kak Leo memberi tahu jalan yang harus ditempuh oleh rombongan remaja tersebut. Kami kembali harus melewati hutan sengon yang seakan mati.
Ternyata pemirsa, kami harus menerobos hutan sengon yang eksotis. Saya takjub dan minta singgah sebentar untuk berfoto ria dan ternyata kawan yang lain juga berminat untuk foto di hutan yang meranggas itu.
Tanaman berduri di kanan-kiri beberapa kali membuat pakaian saya tersangkut dan melukai tangan yang tidak tertutup pakaian.Â
So, gaes, kalau hendak ke Tanjung Bloam harus pakai jaket atau baju tebal agar tidak tertusuk tanaman berduri di sepanjang jalan.Â
Kalau saya pikir, jalan yang kami lalui ini bukan jalan umum, tapi kami berusaha mencari celah yang bisa dilewati di tengah hutan belantara.
Kami singgah sebentar untuk menikmati perbukitan gersang, pantai, dan hembusan angin, sebelum kembali melanjutkan perjalanan menuju Tanjung Bloam. Angin di tempat ini seakan mendorong kuat tubuh saya untuk menjatuhkan diri ke pantai sangking kencangnya.
Kami parkir di tengah rimbunnya semak belukar untuk melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki. Butuh waktu sekitar 15 menit untuk berjalan menuju Tanjung Bloam melalui bekas aliran sungai yang kering penuh bebatuan. Kalau dilihat bebatuan tersebut nampak seperti batu karang.Â
Mungkin dulu adalah dasar laut yang dengan proses alam terangkat ke atas. Saya melangkahkan kaki dengan ekstra untuk mengimbangi 3 cowok yang irama langkah kakinya sudah seperti dikejar setan.Â
Kak Leo yang terakhir datang ke Tanjung Bloam sekitar 2 tahun lalu nampaknya agak lupa jalan yang harus dilalui. Berbekal ingatan yang limited itu kami bersyukur tidak tersesat dan tahu arah jalan pulang.
Sesampainya di Tanjung Bloam kami disambut suara deburan ombak yang dahsyat. Ternyata di lokasi sudah ada rombongan dari Mataram yang juga penasaran dengan Tanjung Bloam. Mereka datang dengan menggunakan mobil sehingga jalur yang ditempuh pun berbeda dengan kami.
Bagi anda yang ingin liburan dengan merogoh kocek agak dalam, anda bisa menyewa kamar hotel yang ada di Tanjung Bloam. Anda bisa menikmati pantai juga dari depan hotel tersebut. Kabarnya rate kamar per malamnya sekitar 4 juta rupiah saja.
Beberapa kali ombak menyapa saya dengan percikan-percikan airnya yang mengenai wajah. Kami berempat bergantian berfoto ria.
Kami memutuskan kembali ke Mataram sebelum beranjak gelap. Apalagi kami harus kembali melewati hutan dan mengeja jalan untuk bisa keluar hutan.
 Kami sempat bingung karena jalan datang dan jalan pulang yang dilalui berbeda. Syukurlah, kami bisa keluar hutan dengan kurang suatu apapun dan tentunya membawa kenangan yang keren.
Sepanjang perjalanan menuju Mataram, beberapa kali kami melewati rombongan yang sedang melakukan upacara pernikahan. Saat upacara pernikahan, kedua pengantin akan diarak keliling menuju rumah mempelai wanita dengan berjalan kurang lebih 3 KM jauhnya. Lalu, bagaimana kalau beda kota?Â
Caranya ialah rombongan naik kendaraan dahulu, kemudian kira-kira jarak 3 KM baru bertemu dan berjalan menuju rumah mempelai wanita.Â
Arak-arakan upacara ini kalau menurut saya sangat meriah seperti karnaval memperingati 17 Agustus yang biasa dilaksanakan di kampung saya. Semua berdandan dengan menggunakan busana khas Lombok dan memainkan alat musik.
Kak Leo yang merupakan orang asli Lombok bercerita banyak tentang budaya dan kebiasaan masyarakat yang masih bertahan sampai sekarang.Â
Mulai dari cara pernikahan tadi, tentang kebiasaan nikah usia anak, asal-usul nama daerah jika kebetulan kami lewat suatu daerah, dan kehidupan masyarakat Lombok lainnya.
Kami mengakhiri petualangan hari ini dengan kembali menikmati nasi Balap Puyung di rumah makan Inaq Esun sembari mengobrol tentang apa saja.Â
Saya paling senang jika traveling kemudian di tempat tujuan ketemu sesama traveler. Kami bisa bertukar cerita tentang tempat yang pernah dikunjungi dan rekomendasi destinasi selanjutnya.
Saya meninggalkan Lombok keesokan harinya. Rasanya 4 hari di Lombok masih sangat kurang. Meskipun Lombok sedang berproses untuk bangkit dari bencana gempa, tapi bagi saya Lombok sudah sangat welcome untuk dikunjungi. So, angkat ranselmu, gaes! Sate Rembiga dan pelecing kangkung menanti...:D
Salam...Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H