Senja I
Pada musim kemarau yang telah lalu,
Kumakamkan semua duka dalam pusara
yang kemudian kunamai dengan tinta berwarna ungu.
Pada musim selanjutnya,
Kulihat di atas pusara itu tumbuh sebatang pohon
dengan bunga beraneka warna.
Bunga itu tak hanya indah,
tetapi semerbak menyebarkan aroma kasturi di setiap senja tiba...
Senja II
Sore ini aku sibuk merapal ingatan.
Tentang hujan pertama di kota daeng,
tentang senja terindah di kota daeng,
dan tentang apa saja yang bisa kupungut dari celah-celah ingatan.
Satu per satu debar tak terbayar berlabuh bersama rasa yang yang terdalam.
Sial, aku merindukan perjalanan dua belas bulan.
Ketika tanah basah dicumbu hujan.
Lalu perlahan kusaksikan malam mengulum senja tanpa ampunan,
dan sang rembulan menyanyikan elegi kerinduan.
Senja III
Entah sejak kapan senja menjelma menjadi
elegi yang paling durjana dalam hidupku.
Mengiris sepi yang memenuhi saku celanaku
menjadi kotak-kotak kecil yang pilu.
Aku duduk menanti sentuhan ombak berbayang abu.
Kuambil semua sepi dari saku celanaku
untuk kularung dalam desah pantai yang menggebu.
Lalu, perlahan kulihat wajahmu di antara kumpulan senja yang malu...
Senja IV
Aku tak pernah membayangkan akan berdiri
di tengah hutan mati.
Mencari tuan melewati jalanan setapak nan sunyi.
Sayup kudengar ranting-ranting saling berbisikÂ
sementara dedahanan telah menggugurkan diri.
Andai senja tak selalu karam di matamu,
maka kau tak akan kucari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H