Distrik Tiom merupakan ibu kota Lanny Jaya, pemekaran dari Kabupaten Jaya Wijaya, yang dihuni oleh suku Lanny dan tentunya beberapa pendatang dari Jawa, Makassar, hingga Medan. Pernah mempunyai kesempatan tinggal di distrik Tiom adalah sebuah pengalaman yang sulit dan bahkan tidak terlupakan. Lanny Jaya merupakan wilayah pegunungan dengan suhu udara yang dinginnya membuat saya hanya mandi 2 atau 3 hari sekali (Yah, selain faktor susah air).
Berikut ada 10 hal yang sulit untuk saya lupakan selama tinggal di distrik Tiom.
1. Pemandangan alam yang luar biasa indah.
Distrik Tiom merupakan daerah pegunungan dengan kondisi alam yang masih sangat asri. Hijau terbentang dan perbukitan meliuk sempurna yang memanjakan mata. Udara masih sangat segar, bahkan saya merasa merindukan bau asap knalpot selama tinggal di sini. Saya pikir, distrik Tiom sangat berpotensi dijadikan semacam distrik wisata. Apalagi keberadaan honai mampu menambah daya tarik bagi masyarakat luar atau wisatawan lokal atau bahkan wisatawan mancanegara.
Nampak bangunan Gereja di tengah perbukitan hijau yang indah.
Babi adalah hewan yang sangat berharga bagi suku Lanny di distrik Tiom. Terlebih bila ada upacara keagamaan maupun upacara tradisional, seperti Bakar Batu. Harga babi di distrik Tiom bisa mencapai 50-60 juta per ekor untuk ukuran besar.Â
Saya pernah mengikuti upacara Bakar Batu yang saat itu memakai babi sekitar 100 ekor lebih. Bisa dibayangkan betapa megah dan meriah upacara Bakar Batu pada waktu itu, bukan? Mereka merasa bersyukur atas peresmian gereja baru, sehingga makan bersama adalah salah satu hal yang wajib dilaksanakan.
Babi yang sudah dibersihkan bulunya pada saat upacara Bakar Batu.
Pengalaman pertama saya ke Papua adalah ke Lanny Jaya. Pertama kali melihat orang lokal saya merasa takut. Apalagi perawakan khas daerah pegunungan yang tegap, berisi, tinggi, besar, dengan jambang yang lebat. Namun, ternyata mereka murah senyum, ramah, dan selalu menyapa jika berpapasan di jalan atau saat bertatap muka.Â
Noken atau tas rajutan khas Papua adalah kerajinan handmade yang keberadannya sudah diakui oleh UNESCO. Benda ini berfungsi untuk membawa barang bawaan mulai dari peralatan sekolah, hasil panen, hewan peliharaan seperti anak babi, dan bahkan bayi. Uniknya, seberapa pun berat beban yang dibawa di noken, mereka meletakkan noken di kepala. Terasa ngilu kepala saya membayangkannya. Tapi, perempuan Lanny sungguh tangguh.
5. Sumber air bersih yang sulit didapatkan
Air bersih sulit ditemukan di distrik Tiom. Air hujan adalah yang diandalkan untuk memenuhi kebutuhan air bersih. Selama di sana hujan jarang turun, sehingga saya terpaksa menggunakan air sungai yang sebening susu coklat. Selain sungai, warga biasanya mengambil air dari yang mereka sebut mata air, ialah berupa kolam kecil galian sendiri.
Pertama kali menjelajahi jalanan antara Wamena menuju Lanny Jaya, kemudian dari wilayah Lanny Jaya menuju Tiom, yang bikin saya merinding adalah melihat parang tanpa sarung digenggam mesra oleh orang-orang yang lalu-lalang. Parang besar yang diayun-ayun sesuka hati oleh si empunya. Saya pikir mereka mau saling serang, ternyata masyarakat suku Lanny sudah terbiasa bawa parang. Mereka menggunakannya untuk berkebun, atau mencari kayu di hutan.
Saya mulai terbiasa melihat parang besar tak bersarung yang digenggam mesra empunya. Bahkan ketika saya dan beberapa teman hendak membeli bahan makanan ke Wamena, kami juga membawa parang besar. Katanya, parang itu untuk memotong pohon jika roboh menghalangi jalan. Oh, Thug Life!
7. Kebiasaan memakai alas kaki
Bersyukur! Adalah ilmu yang saya pelajari dari kehidupan masyarakat suku Lanny. Demi bisa sekolah, mereka harus berjalan jauh mendaki perbukitan tanpa alas kaki. Bersyukur kita yang sekolah bisa pakai sepatu bagus, naik motor pula, eh! begitu masih saja ada yang sering bolos.
Sandal atau sepatu pastinya tidak akan awet dengan kondisi jalanan berupa tanah liat dan bebatuan terjal ala pegunungan. Namun, ada juga beberapa dari masyarakat yang sudah mempunyai sepatu boots, meskipun terkadang mereka lebih memilih membawanya daripada dipakai.
8. Menjemur peralatan makan atau masak
Konon kebiasaan menjemur peralatan makan atau masak di rerumputan saat terik matahari diajarkan oleh para Misionaris. Mereka beranggapan bahwa alat makan atau masak yang dijemur di bawah terik matahari akan lebih bersih karena cahaya matahari membunuh kuman yang masih tertinggal saat dicuci.
Lisrik di distrik Tiom menyala pada pukul 09.00-14.00 WIT dan 18.00-00.00 WIT. Akan tetapi, saat saya di sana, lokasi saya tinggal (dekat Puskesmas) mengalami pemadaman listrik sampai saya kembali ke Jawa (dan berlanjut sampai beberapa bulan setelah itu). Kurang lebih hanya 2 minggu saya menikmati listrik sebelum mengalami pemadaman. Jika ingin mengisi baterai HP atau laptop, saya harus mengungsi ke tempat yang beruntung dialiri listrik.
Waktu malam tiba, saya hanya mengandalkan senter dan korek api. Demi penghematan, saya dan teman saya mulai membiasakan diri makan atau diskusi dengan tanpa cahaya apapun. Ini melatih kepekaan segala indera saya. Waktu itu tepat saat bulan puasa, jadi makan sahur pun hanya diterangi cahaya senter atau korek api yang menciptakan suasana romantis, setidaknya bagi saya sendiri.
Semenjak listrik padam, saya dan teman saya mulai mengeluarkan ilmu ala kepepet. Masak nasi yang biasanya tinggal colok dan pencet, menjadi manual step by stepdi atas kompor minyak, terkadang juga numpang di dapur tetangga yang masak pakai kayu bakar. Belum ada kompor gas di distrik Tiom. Siapa yang mau ngangkut tabung gas dengan jalan kaki mendaki gunung dari Jayapura?
Pemadaman listrik berimbas pada pelayanan di Puskesmas. Beberapa pasien yang ingin periksa di lab menjadi terhambat. Waktu saya dan petugas lab sangat ingin tahu ada telur cacing atau tidak di tinja salah seorang pasien, akhirnya untuk pencahayaan mikroskop kita menggunakan senter HP.
Salah satu agenda wajib selama tinggal di distrik Tiom adalah belanja ke pasar. Selain belanja biasanya saya ngobrolsama mama-mama dengan bermacam topik. Tidak ada alat untuk menimbang di pasar ini. Semua dagangan sudah ditata dan diukur sedemikian rupa. Segenggam, setumpuk, atau seikat.
Mie instan, makanan favorit anak rantau harganya 5 ribu sebungkus atau kalau beli 3 bungkus haraganya 10 ribu. Cabe yang sudah ditumpuk rapi itu harganya sekitar 10-15 ribu. Saya rela mengurangi makan pedas demi penghematan, apalagi kalau lagi krisis air bersih.
Kondisi pasar traditional distrik Tiom
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H