Selama hampir 8 dekade sejak kemderdekaan Indonesia, ada tren menarik dari pemilih yang selalu mendambakan pemerintahan tegas. Kata "tegas" ini seperti memiliki korelasi dengan orang yang selayaknya berasal dari militer.
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan alasan dasar pemilih tersebut, karena dari sejarah Indonesia sendiri, sebagian besar masanya dipimpin oleh seorang militer.
Pemerintahan Suharto dan SBY sendiri yang notabene dari latar belakang militer sudah mendominasi 56 persen dari sejarah pemerintahan di Indonesia. Bahkan di Amerika Serikat, 73 persen dari Presiden yang pernah memimpin di Amerika berasal dari latar belakang militer.
Ini juga mirip dengan Korea Selatan yang hanya 1 dari 11 Presidennya yang tidak memiliki latar belakang militer yaitu Park Guen Hye, meskipun begitu Presiden Park merupakan puteri dari presiden Park Chung-hee yang memimpin dari 1963-1979.
Artinya memang ada kecendrungan pemilih di negara manapun untuk memilih presiden dengan latar belakang militer. Terlepas apakah kemepimpinan mereka berhasil secara ekonomi atau tidak, tetapi pada prosesnya pemerintahan tersebut berlansung dan menjadi selera dari pemilih.
Kecendrungan memilih pemimpin yang kuat dan tegas sudah merupakan hal yang lumrah di negara-negara yang menganut paham demokrasi seperti misalnya di Amerika Serikat, Rusia, Inggris, dan Korea Selatan dan non-demokrasi seperti Korea Utara
Pembeda utama di negara demokrasi seperti di Indonesia adalah, pemimpin yang tegas berkorelasi dengan kandidat yang berasal dari militer.
Akan tetapi di negara-negara maju yang disebut kuat dan tegas, menurut Archie Brown dalam bukunya The Myth of the Strong Leader: Political Leadership in the Modern Age adalah pemimpin yang mampu mendorong dan mendominasi proses pengambilan keputusan yang besar dan penting di dalam kabinet pemerintahan, partai politik ataupun lingkungan kerjanya.
Kalau kita menilik dari perspektif sejarah negara-negara yang memiliki latar belakang peperangan, maka wajar apabila pemimpin yang diinginkan adalah pemimpin yang kuat dan tegas dengan latar belakang militer karena kestabilan dan keamanan negara merupakan prioritas yang paling penting diawal-awal terbentuknya Negara.
Kecuali, apabila, negara tersebut pada awal berbentuk kerajaan, seperi Jepang dan Inggris karena pada dasarnya Raja adalah pemimpin militer, sehingga meskipun pemerintahan dipegang oleh perdana menteri dari latar belakang sipil, tapi esensi 'kepemilikan' dan kontrol negara berada pada Raja.
Sehingga sensitivitas pemilih dari latar belakang militer tidak menjadi begitu penting, bahkan yang menjadi dasar pemimpin yang diinginkan haruslah memiliki visi dan misi kuat di sektor ekonomi, seperti halnya di Jepang.
Sekarang menjadi pertanyaan adalah apakah konsep pemimpin tegas dengan latar belakang militer masih tepat dan relevan dengan kondisi ekonomi dan perkembangan teknologi sekarang ini?
Di Amerika Serikat sendiri, sudah terjadi pola kecendrungan pemilih untuk memilih pemimpin nonmiliter, seperti terpilihnya Barack Obama dan Donald Trump, keduanya berasal dari sipil.
Hal ini disebabkan karena adanya penolakan dari sebagain besar pemilih yang tidak setuju dengan kebijakan militer (perang) di masa pemerintahan George Bush, yang memberikan beban belanja negara di sektor militer sangat besar sehingga memberikan beban berat bagi pelaku wajib pajak.
Para wajib pajak ini kemudian pada prosesnya tidak merasakan perubahan yang baik secara ekonomi untuk kehidupan mereka. Sehingga daya tarik pemilih beralih pada kandidat yang mampu mengelaborasi visi dan misi untuk meningkatkan kesejahtraan masyarakat. Â
Keinginan Pemilih dan Realitas Tantangan Ekonomi
Pertanyaan besarnya adalah kandidat pemimpin seperti apa yang diinginkan dan apakah kandidat tersebut relevan dengan kondisi ekonomi-sosial masyarakat Indonesia?
Sekarang ini kandidat yang dianggap memiliki kualitas presiden dan wakil presiden berdasarkan hasil polling masih berkutat pada nama-nama yang berasal dari latar belakang militer, seperti Prabowo Subianto, Gatot Nurmantyo, dan Agus Harimurti Yudhoyono. Sementara dari tokoh sipil, hanya nama Jokowi yang memiliki kecendrungan hasil polling tinggi.
Baik dari Prabowo, Gatot, dan AHY, mereka menggunakan branding personality yang mirip yaitu: pemimpin tegas. Sedangkan Jokowi melekatkan personality-nya sebagai pekerja.
Kalau dengan branding tersebut mampu membawa Jokowi-JK meraih kemenangan di pilpres 2014, maka sebenarnya ada perubahan slope pemilih untuk memilih pemimpin yang menunjukkan keinginan untuk bekerja dan membawa dampak nyata untuk kehidupan sosial-ekonomi mereka.
Maka kunci utama untuk pemilihan 2019 berada pada kandidat yang mampu memberikan visi dan misi yang tegas dan nyata untuk membawa kesejahtraan ekonomi masyarakat Indonesia.
Sangat penting dicatat adalah pemimpin yang dinginkan oleh mayoritas masyarakat belum tentu sesuai dengan realitas kondisi ekonomi. Apalagi jika pemilih yang rasional memiliki kecendrungan untuk golput. Karena tantangan Indonesia ke depannya bukanlah pada sektor keamanan (military security) akan tetapi pada perang ekonomi berbasis teknologi informasi.
Untuk menghadapi fase tersebut hal mendasar yang harus dicapai terlebih dahulu adalah bangkitnya industri berbasis manufaktur.
Industri manufaktur adalah dasar ekonomi yang paling kuat karena industri ini mampu merubah suatu barang memiliki nilai tambah dan memberikan dampak yang nyata untuk perekonomian masyarakat menengah ke bawah.
Baru kemudian, setelah industri berbasis manufaktur sukses maka industri berbasis teknologi modern bisa diimplementasikan, pasalnya industri ini hanya mampu mempekerjakan orang-orang yang memiliki kemampuan, keterampilan, dan latar belakang pendidikan bagus.
Menurut Michelle Obama, pemimpin (Presiden) yang tepat adalah pemimpin yang pada dasarnya memiliki kemampuan intelektual yang lebih tinggi dari staf ahlinya, serta memiliki pengetahuan sejarah, banyak membaca dan mampu menganalisa data.
Karena, meskipun pemimpin tersebut memiliki penasehat atau staf ahli akan tetapi mereka akan memberikan analisa dan opini yang berbeda, sehingga Presiden harus memiliki kemampuan dan kompetensi yang mampu mengambil masukan yang tepat berdasarkan rasionalitas data dan melihat relevansinya terhadap kepentingan masyakat. Dan yang paling penting menurut Michelle adalah orang yang memiliki pengalaman dipemerintahan.
Oleh karena itu pemimpin yang tepat adalah bukan Presiden yang hanya mampu mengucapkan apa yang ingin didengarkan oleh pemilih akan tetapi pemimpin yang mampu secara intellectual dengan latar belakang kompetensi yang sudah terbukti dan memiliki keinginan membawa bangsa Indonesia  menjadi negara sukses dan kuat di industri manufaktur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H