Sekarang menjadi pertanyaan adalah apakah konsep pemimpin tegas dengan latar belakang militer masih tepat dan relevan dengan kondisi ekonomi dan perkembangan teknologi sekarang ini?
Di Amerika Serikat sendiri, sudah terjadi pola kecendrungan pemilih untuk memilih pemimpin nonmiliter, seperti terpilihnya Barack Obama dan Donald Trump, keduanya berasal dari sipil.
Hal ini disebabkan karena adanya penolakan dari sebagain besar pemilih yang tidak setuju dengan kebijakan militer (perang) di masa pemerintahan George Bush, yang memberikan beban belanja negara di sektor militer sangat besar sehingga memberikan beban berat bagi pelaku wajib pajak.
Para wajib pajak ini kemudian pada prosesnya tidak merasakan perubahan yang baik secara ekonomi untuk kehidupan mereka. Sehingga daya tarik pemilih beralih pada kandidat yang mampu mengelaborasi visi dan misi untuk meningkatkan kesejahtraan masyarakat. Â
Keinginan Pemilih dan Realitas Tantangan Ekonomi
Pertanyaan besarnya adalah kandidat pemimpin seperti apa yang diinginkan dan apakah kandidat tersebut relevan dengan kondisi ekonomi-sosial masyarakat Indonesia?
Sekarang ini kandidat yang dianggap memiliki kualitas presiden dan wakil presiden berdasarkan hasil polling masih berkutat pada nama-nama yang berasal dari latar belakang militer, seperti Prabowo Subianto, Gatot Nurmantyo, dan Agus Harimurti Yudhoyono. Sementara dari tokoh sipil, hanya nama Jokowi yang memiliki kecendrungan hasil polling tinggi.
Baik dari Prabowo, Gatot, dan AHY, mereka menggunakan branding personality yang mirip yaitu: pemimpin tegas. Sedangkan Jokowi melekatkan personality-nya sebagai pekerja.
Kalau dengan branding tersebut mampu membawa Jokowi-JK meraih kemenangan di pilpres 2014, maka sebenarnya ada perubahan slope pemilih untuk memilih pemimpin yang menunjukkan keinginan untuk bekerja dan membawa dampak nyata untuk kehidupan sosial-ekonomi mereka.
Maka kunci utama untuk pemilihan 2019 berada pada kandidat yang mampu memberikan visi dan misi yang tegas dan nyata untuk membawa kesejahtraan ekonomi masyarakat Indonesia.
Sangat penting dicatat adalah pemimpin yang dinginkan oleh mayoritas masyarakat belum tentu sesuai dengan realitas kondisi ekonomi. Apalagi jika pemilih yang rasional memiliki kecendrungan untuk golput. Karena tantangan Indonesia ke depannya bukanlah pada sektor keamanan (military security) akan tetapi pada perang ekonomi berbasis teknologi informasi.