Mohon tunggu...
Asita Suryanto
Asita Suryanto Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Traveler

pecinta traveling dan kuliner

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Lawan Predator dan Kekerasan di Sekitarmu

7 Desember 2016   18:36 Diperbarui: 14 Desember 2016   14:38 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tindakan kekerasan terhadap anak dan perempuan akan mengancam masa depan mereka sepanjang masa. Dampaknya terutama kepada  anak tidak hanya luka fisik, gangguan kecemasan, atau stres, tetapi juga trauma psikologis jangka panjang.

Hal ini menjadi benang merah dalam acara diskusi bersama dengan tema “Bersama Mengakhiri Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak” yang diselenggarakan Kompasiana di Jakarta , Sabtu 3 Desember 2016.Pemulihan jiwa anak atau perempuan akibat korban kekerasan tidak hanya melalui pendekatan dari pemerintah khususnya Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) tapi diharapkan melalui pendekatan media sosial khususnya keterlibatan blogger dalam mencegah dan menghentikan kekerasan tersebut. Karena blogger memiliki kekuatan pendekatan secara personal kepada masyarakat.

Hal tersebut disampaikan oleh Agustina Erni, selaku Deputi Bidang Partisipasi Masyarakat pada KPPA Anak. Agustina menambahkan para blogger harus bersatu melawan predator yang tumbuh hampir 20 persen di tengah lapisan masyarakat. Para predator tersebut sangat mengkhawatirkan dan berpotensi menjadikan anak seorang predator seks pada saat dewasa.

Sebagai kelompok yang dianggap lemah, anak-anak menjadi incaran paedofil yang bisa berujung pada kekerasan seksual. Maka,seorang orangtua wajib melindungi anak mereka dari para predator seks.”Ayo kampanyekan anti predator,” ujar Agustina dengan semangat dihadapan sekitar 90 orang blogger Kompasioner.

KPPPA sejak tahun 2016 memiliki tiga program unggulan yang bernama Three Ends. Three End Program Unggulan KPPPA

Three Ends tersebut adalah End Violence Against Women and Children (akhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak), End Human Trafficking (akhiri perdagangan manusia) danEnd Barriers To Economic Justice (akhiri kesenjangan ekonomi).

Three Ends diharapkan dapat menjadi arah bagi KPPA dan para pemangku kepentingan, baik di pusat maupun daerah dalam melaksanakan urusan PP dan PA.

Program ini diharapkan mampu menyelesaikan PR termasuk menyelesaikan persoalan lainya seperti isu kekerasan, trafficking,dan diskriminasi.

Program ini memperkuat kesetaraan gender dan pemberdayaan ekonomi perempuan, mencegah terjadinya kekerasan baik dalam rumah tangga maupun terhadap perempuan dan anak, serta mencegah terjadinya kasus perdagangan orang di luar negeri.

Sementara Prof Dr Hamka Sri Astuti, dari Pusat Studi Jender dan Perlindungan Anak Universitas Muhammadiyah,  yang sekaligus juga pendamping perempuan dan anak di Rumah Susun Marunda mengatakan, predator seks anak bisa berada di mana saja. Orangtua harus mengajarkan anak cara melindungi dirinya sendiri. "Ajari anak bahwa bagian organ intimnya tidak boleh disentuh oleh siapapun, kecuali ibunya misalnya," kata Sri Astuti yang dengan sedih menceritakan pengalamannya mendampingi anak-anak korabn seksesual di Rumah Susun Marunda yang tingkat huniannya rata-rata dari golongan bawah.

Peran orangtua juga tak hanya mengajari anak, melainkan memberi dukungan secara emosional dan memberikan kasih sayang. Korban kekerasan seksual sering kali adalah anak yang ternyata kurang perhatian dan kasih sayang orangtua. Dengan ikatan yang kuat dengan orangtua, anak akan terbuka menceritakan apapun yang dialaminya.

“Orangtua sebaiknya juga mengenali paedofil di sekitar anak.Waspadai di lingkungan tempat tinggal hingga sekolah anak,” tambah Sri Astuti.

Sedangkan psikolog Vitria Lazzarini dari Yayasan Pulih, dalam acara tersebut mengatakan, kekerasan seksual bisa menyebabkan anak mengalami trauma psikologis jangka panjang. Bahayanya, anak juga akan berpotensi menjadi pelaku kekerasan seksual pada saat dewasa. Untuk itu, anak yang menjadi korban kekerasan seksual harus segera diterapi.Orangtua harus lebih peka mengenali ciri-ciri anak yang mengalami kekerasan seksual.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Dari hasil penelitian di beberapa tempat di Indonesia, sebanyak lima  sampai 15 persen pelaku adalah pria yang mengalami pelecehan seksual saat masih anak-anak. Contoh nyata : salah satu kasus Andri Sobari alias Emon yang melakukan kekerasan seksual pada ratusan anak di Sukabumi. Emon ternyata sebelumnya adalah korban kekerasan seksual saat masih SMP.

Menjadi korban kekerasan seksual merupakan peristiwa yang sangat membekas bagi anak. Anak akan menunjukkan tanda-tanda telah mengalami kekerasan seksual yang terkadang tidak disadari orangtua.

Untuk itu, sangat penting membawa anak yang menjadi korban kekerasan seksual ke psikiater anak dan remaja."Jadi anak yang menjadi korban harus menjalani terapi," kata Vitria dengan mata berkaca-kaca menceritakan pengalamannya mendampingi kasus pelecehan seksual ada anak.

Dengan berbagai kasus kekerasan terhadap anak yang terjadi dalam kurun waktu 5 tahun belakangan ini, tidaklah berlebihan jika Indonesia saat ini berada pada posisi darurat kekerasan terhadap anak. Dari 21.689.987 kasus pelanggaran anak yang dimonitor Lembaga Perlindungan Anak (LPA) di 33 provinsi dan di 202 LPA kabupaten dan kota, 58% dari pelanggaran hak anak yang dimonitori itu didominasi kekerasan seksual. Oleh karena itu, tidak berlebihan pula jika Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Anak) sebagai lembaga independen di bidang promosi, penghormatan, pemenuhan, dan perlindungan anak di Indonesia patut menyerukan kepada seluruh lapisan masyarakat untuk segera bangkit 'perang' memutus mata rantai kekerasan terhadap anak.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Dalam kurun waktu yang sama, Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Komnas Anak juga menerima laporan pengaduan pelanggaran hak anak menunjukkan jumlah yang terus meningkat. Pada 2010 menerima pengaduan 2.046 kasus pelanggaran hak anak, 42 % di antaranya kejahatan seksual.Itu meningkat di 2011 menjadi 2.467 kasus, 52% di antaranya kejahatan seksual.Pengaduan kekerasan terhadap anak terus meningkat di 2012, yakni 2.646 kasus, 62 % di antaranya kejahatan seksual.Itu meningkat lagi di 2013 menjadi 3.339 kasus, dengan 54% kembali lagi didominasi kejahatan seksual.

Demikian juga di 2014, jumlah pengaduan terus meningkat tajam menjadi 4.654 kasus, 52% di antaranya kekerasan seksual. Dan di 2015, 59,30% juga didominasi kasus kekerasan seksual, selebihnya (40,70%) kekerasan fisik, penelantaran, penganiayaan, pemerkosaan, adopsi ilegal, penculikan, perdagangan anak untuk eksploitasi seksual, ekonomi, tawuran, dan kasus narkoba. Dari hasil monitoring itu juga dilaporkan, 62% kekerasan terhadap anak terjadi di lingkungan tempat tinggal anak dan sekolah. Selebihnya (38%) terjadi di ruang publik, seperti tempat bermain, panti asuhan atau pondok-pondok, serta pusat perbelanjaan bahkan di ruang terbuka hijau.(sumber: http://www.mediaindonesia.com/index.php/news/read/28188/kejahatan-luar-biasa-terhadap-anak/2016-02-11#sthash.lUH22zAD.dpuf)

Menurut pengamatan penulis, terapi menjadi salah satu cara untuk memutus mata rantai kekerasan seksual pada anak. Untuk itu, dalam kasus kejahatan seksual jangan hanya fokus pada pelaku, tetapi juga korban yang masih memiliki perjalanan panjang dalam hidupnya.

Masyarakat, terutama perempuan dan anak yang rentan menjadi korban kekerasan, sudah selayaknya mendapatkan edukasi untuk melindungi dirinya sendiri dari tindak kekerasan.

Acara KPPPA bersama Kompasiana ini mengajak Kompasianer dan berbagai elemen masyarakat untuk berbincang bersama, mengetahui tindakan ideal jika terjadi kekerasan terhadap perempuan dan anak di sekitar kita, serta membagikan menghindari pemaparan peristiwa pemerkosaan secara rinci di media sosial, dan berani melaporkan tindak kekerasan adalah beberapa cara yang dapat membantu mengurangi angka kekerasan terhadap perempuan dan anak di Indonesia.

KPPPA bersama Kompasiana ingin mengajak Kompasianer dan berbagai elemen masyarakat untuk berbincang bersama, mengetahui tindakan ideal jika terjadi kekerasan terhadap perempuan dan anak di sekitar kita, serta membagikan tindakan kekerasan seksual pada anak mengancam masa depan mereka yang masih panjang. . (sumber : http://www.kompasiana.com/kompasiana/diskusi-publik-bersama-mengakhiri-kekerasan-terhadap-perempuan-dan-anak_58351ba1717a61fd038b4572

Dari hasil penelitian di media massa , ternyata Jakarta Timur di DKI Jakarta,merupakan wilayah polres dengan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak tertinggi di Indonesia. Segala kasus ada semua di sanaDalam kesempatan yang sama, Kanit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Metro Jakarta Timur AKP Endang Sri Lestari menyebutkan contoh-contoh kasus yang selama ini ditangani Polres Metro Jakarta Timur.

Di Jakarta Timur itu kasus kekerasan seksual itu dari anak kecil sampai tua usia nenek itu ada di sana. Pemerkosaan bayi sembilan bulan ada di sana, persetubuhan dengan nenek-nenek, kakeknya dengan cucunya, bapak dengan anak.

Selain itu, secara keseluruhan, DKI Jakarta pun selalu menempati urutan tertinggi kekerasan anak selama lima tahun terakhir. Sementara untuk tingkat kekerasan terhadap perempuan, DKI juga menempati posisi pertama sejak sepuluh tahun terakhir.(sumber: Jakarta Timur, Wilayah dengan Jumlah Kekerasan Tertinggi terhadap Anak dan Perempuan di Indonesia)

DKI Jakarta untuk kasus perempuannya itu untuk sepuluh tahun terakhir selalu tertinggi di Indonesia.Kalau masalah kekerasan anak itu sebenarnya fluktuatif tapi DKI lagi-lagi jadi wilayah kekerasan tertinggi.

Setiap tahunnya, selalu terjadi peningkatan kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan di DKI Jakarta.

Dari contoh kasus penelitian yang diperoleh penulis ari seorang peneliti yang tidak bersedia disebut namanya, dalam situasi suatu keluarga di mana istri sering dipukuli suaminya, anak juga terkena resiko dianiaya. Hasil penelituan ini menggambarkan akibat  penganiayaan suami terhadap istri menjadikan hampir 25 persen dari anak mereka juga terkena korban penganiayaan fisik.Anak yang dianiaya ayahnya mengalami banyak resiko. Akibat pukulan fisik orangtuan, anak bisa mengalami gangguan stress berat dan kesulitan kosentrasi belajar di sekolah.

Mungkin yang paling buruk, anak-anak korban kekerasan orangtua akan tumbuh menjadi berpengarai keras dan menjadi penganiaya pula.Apa yang menyebabkan kekerasan ini?

Hasil penelitian menemukan beberapa  faktor kekerasan.Menyaksikan kekerasan orang tua saat masih kanak-kanak, menimbulkan sikap agresif terhadap istri, dan anak`.

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) didefenisikan mengenai kekerasan dalam rumah tangga yang pada dasarnya semua definisi tersebut mempunyai arti yang sama dan saling melengkapi. Banyak studi tentang kekerasan terhadap perempuan, penganiayaan atau kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istrinya dikenal sebagai kekerasan domestik.

Secara lebih luas kekerasan dalam rumah tangga ini disebutkan oleh UU RI No. 23 Tahun 2004 tentan Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga pasal 1 ayat 1, yaitu: “Kekerasan dalam rumgah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama terhadap perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/ atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”.

Kesimpulan penulis: salah satu faktor pencetus seseorang melakukan tindak kekerasan dalam rumah tangga, adalah menyaksikan kekerasan orang tua saat masih kanak-kanak sehingga berakibat korban bersikap agresif terhadap istri dan anaknya yang tentunya menjadi  resiko tindak kekerasan seorang suami dalam rumah tangga.

Oleh karena itu sebaiknya orang tua yang sedang terlibat pertengkaran antara suami-istri agar tidak melibatkan anak. Dan tidak melakukan pertengkaran di depan anak-anak karena menimbulkan dampak buruk bagi perkembangan kepribadian anak.

Anak-anak yang pernah mengalami tindak kekerasan agar diberi pendampingan bantuan moril dari orang terdekat seperti keluarga, teman atau seorang tenaga ahli seperti seorang psikolog supaya anak bisa tumbuh menjadi orang yang lebih percaya diri.

Sangat disarankan kepada masyarakat yang melihat anak korban kekerasan dalam rumah tangga agar tidak mengejek atau bertindak memojokkan yang mengakibatkan mereka bersikap tertutup. Sangat diperlukan dukungan dan bantuan moril dari masyarakat, keluarga terdekat, teman maupun seorang psikolog kepada anak yang pernah mengalami atau menyaksikan kekerasan dalam rumah. Sehingga dapat mengurangi potensi untuk menjadi pelaku KDRT yang akan datang.

Sumber foto: http://sinarharapan.net/2016/05/three-end-program-unggulan-kppa/
Sumber foto: http://sinarharapan.net/2016/05/three-end-program-unggulan-kppa/

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun