Seperti kita ketahui bersama peningkatan pasien terkonfirmasi COVID meningkat hingga hari ini. Data terakhir yang penulis kutip pada tanggal 8 Oktober 2020 pasien terkonfirmasi yang terdampak covid ada 321.000 kasus.Â
Di antara kasus tersebut terdapat 127 dokter umum, 9 dokter gigi dan 92 perawat meninggal dunia, data ini didapatkan di kompas.com  tanggal 29 September 2020. Sejak kasus pertama ditemukan di Indonesia, berarti sudah terhitung enam bulan tenaga medis berjuang untuk menangani kasus ini.
Petugas kesehatan tidak hanya berjuang melawan kasus Covid-19 namun juga melawan berbagai stigma dan kondisi kesehatan mental mereka sendiri. Bahkan dalam keseharian penulis mengamati adanya ketakutan, kekhawatiran yang hadir saat menjalankan tugas.Â
Beberapa sikap yang muncul adalah menjadi mudah gelisah, mudah terpancing emosi negatif, dan juga muncul keluhan fisik.Â
Tenaga kesehatan juga harus menghadapi kehidupan sehari-hari seperti mengurus rumah tangga, anak yang belajar di rumah, dan berbagai permasalahan kehidupan lainnya. Berbagai kondisi ini memang tentu membutuhkan waktu dan upaya yang luar biasa.
Bahkan akhir-akhir ini ada salah satu tenaga medis yang mengeluhkan rasa khawatirnya menjelang pengumuman hasil swab. Kekhawatiran bukan hanya ketika mereka  menjadi pasien terkonfirmasi namun juga khawatir dampak yang tidak ditimbulkan untuk lingkungan sekitar.Â
Kekhawatiran tersebut meliputi khawatir jika nantinya mereka disalahkan, dikucilkan, layanan kesehatan tempat bekerja ditutup, teman-teman terdekat berubah status menjadi kontak erat dan ketakutan lainnya yang timbul akibat stigma negatif.
Kajian tentang kesehatan mental di setting tempat kerja sudah banyak dilakukan penelitian. Sebuah studi yang dipimpin WHO baru-baru ini memperkirakan bahwa depresi dan gangguan kecemasan merugikan ekonomi global sebesar 1 triliun US $ setiap tahun akibat hilangnya produktivitas.Â
Data ini juga menjelaskan bahwa lingkungan kerja yang negatif dapat menyebabkan masalah kesehatan fisik dan mental, penggunaan zat atau alkohol yang berbahaya, ketidakhadiran dalam pekerjaan dan hilangnya produktivitas.
Ada banyak faktor risiko kesehatan mental yang mungkin ada di lingkungan kerja. Sebagian besar risiko berkaitan dengan interaksi antara jenis pekerjaan, lingkungan organisasi dan manajerial, keterampilan dan kompetensi karyawan, serta dukungan yang tersedia bagi karyawan untuk melaksanakan pekerjaan mereka. Kesehatan mental juga mungkin diperburuk akibat stress, kelelahan dan kebosanan (burn out).
Tempat kerja yang mempromosikan kesehatan mental dan mendukung orang dengan gangguan mental untuk meningkatkan produktivitas ternyata mendapatkan keuntungan secara finansial.Â
Intervensi kesehatan mental harus dilakukan sebagai bagian dari strategi kesehatan yang mencakup pencegahan, identifikasi awal, dukungan dan rehabilitasi.Â
Kunci keberhasilan adalah melibatkan pemangku kepentingan dan staf di semua tingkatan saat memberikan perlindungan, promosi dan intervensi dukungan dan saat memantau efektivitasnya.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Koopman (2002) menemukan kesehatan mental mempengaruhi produktivitas kerja dalam perusahaan. Penelitian ini juga melihat adanya hubungan yang sangat erat antara kedua variabel tersebut.Â
Kondisi mental yang bermasalah ditenggarai telah menjadi penyebab tingginya angka ketidakhadiran (absence) dan ketidakmampuan (incapability) kerja yang menjadi penyebab rendahnya performansi dan produktivitas di tempat kerja.Â
Dengan kondisi saat ini pelayanan kesehatan yang optimal harus senantiasa diupayakan tentu sangat perlu memperhatikan kondisi kesehatan mental tenaga kesehatan.Â
Kesehatan mental yang terabaikan tentu akan berdampak negatif pada kualitas kesehatan tenaga kesehatan dan juga berdampak buruk dalam pelayanan kesehatan.
Penulis menilai kita perlu mulai memahami bahwa kesehatan mental tenaga kesehatan juga perlu dijaga. Jika mengandalkan tenaga kesehatan jiwa untuk melayani tentu tidak cukup.Â
Maka kita perlu mengajarkan cara dasar yang sebaiknya semua orang tahu penangan kesehatan mental yang bisa dilakukan diri sendiri atau untuk orang terdekat. Cara sederhana yang sebenarnya perlu dari setiap kita ketahui adalah Psychological First Aid.
Psychological First Aid (PFA) adalah suatu cara untuk memberikan dukungan emosional dan membantu orang dari berbagai latar belakang (usia, budaya, etnik, sosial, ekonomi) segera setelah terjadinya bencana/krisis.Â
Tujuan dari PFA adalah memberikan perhatian kepada individu yang membutuhkan dan memenuhi kebutuhan dasar individu terhadap rasa aman dan juga memiliki cara yang efektif untuk menghadapi stressor  yang dihadapi.
Prinsip PFA ini ada tiga hal antara lain look, listen dan link. Pada tahap pertama di bagian look adalah kita diminta untuk melakukan observasi atau mengamati.Â
Mengamati kebutuhan akan rasa aman, mengamati seseorang dengan kebutuhan mendesak dan mengamati seseorang yang memiliki reaksi stres serius dan perlu mendapatkan penanganan segera.Â
Tahap kedua adalah listen kita dapat melakukan perhatian serta kontak mata pada orang yang membutuhkan. Kita juga dapat menanyakan permasalahan, perasaan dan kondisi yang sedang mereka hadapi.Â
Pada tahap terakhir yaitu link, kita bisa membantu menyelesaikan permasalahannya, menghubungkan pada pihak yang tepat dan juga memberikan akses pada dukungan sosial yang dibutuhkan.
Kita juga perlu mengenali tanda bahwa seseorang ini membutuhkan bantuan agar bantuan yang kita berikan tepat sasaran. Ciri orang ini membutuhkan bantiaan ditunjukkan dengan seseorang dengan rasa khawatir dan takut sudah mulai meningkat.Â
Berikutnya muncul perilaku yang tidak biasa seperti mudah menangis, mudah marah, adanya gangguan tidur, keluhan somatik (sakit perut, mual, sakit kepala), muncul pikiran tentang kematian dan hal lain yang membuat ketidaknyamanan psikologis.Â
Untuk mengetahui ini kita bisa lakukan dengan pengamatan dan bertanya langsung. Pertanyaan langsung perlu kita perhatikan agar lawan bicara kita merasa aman dan nyaman untuk terbuka.
Lalu jika kita tahu seseorang ini membutuhkan bantua apa yang bisa kita lakukan? Tahap pertama adalah identifikasi kebutuhan yang paling penting. Bisajadi yang mereka butuhkan adalah didengarkan, yang dibutuhkan adalah disampaikan ke pimpinan atau lainnya.Â
Lalu tahap kedua diskusikan rencana yang akan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Kemudian tahap terakhir adalah melakukan rencana yang telah disusun.
Selain itu kita juga dapat memberikan informasi cara mengurangi perasan terterkan yang efektif. Kita sarankan untuk melakukan hal positif misalnya melakukan relaksasi pernafasan, melakukan hal yang mereka sukai, mencoba mensugesti diri sendiri seperti melakukan positive self talk atau hal lain yang dirasakan nyaman dilakukan untuk mengurangi ketegangan.Â
Kita juga dapat memberikan informasi tentang cara mengatasi stres yang kurang efektif. Cara yang kurang efektif menurunkan stres adalah dengan penggunaan tembakau, minuman keras, zat adiktif, pornografi atau hal lain yang memicu kerugian bagi individu.Â
Adanya pembanding cara yang efektif dan tidak efektif ini memungkinkan mereka untuk memilih dengan tepat cara yang efektif sesuai kondisi dan kenyamanan masing-masing.
Penulis meyakinkan mencari pertolongan pada saat kita membutuhkan bukan tanda bahwa kita lemah. Kita yang cenderung aktif mencari pertolongan disebut sebagai individu yang memiliki kesadaraan diri yang baik.Â
Kesadaran diri yang baik cenderung membuat individu mudah beradaptasi dalam kondisi sulit. Pandemi Covid-19 menuntut kita memiliki adaptasi yang baik karena kita tidak tahu kapan ini berakhir.
Peristiwa pandemi Covid-19 ini memang dirasakan berat oleh berbagai kalangan dan berbagai lapisan masyarakat. Wajar jika kita merasa tidak baik-baik saja.Â
Namun, bukan berarti tidak baik-baik saja kemudian kita abaikan. Termasuk penanganan kesehatan mental tenaga kesehatan juga perlu diperhatikan.
Perhatian ini tentu tidak hanya menyangkut penanganan bagi mereka yang sudah terindikasi mengalami gangguan mental emosional. Kita juga perlu melakukan langkah preventif agar dampak ini tidak semakin meluas.Â
Maka dari itu semua pihak, terutama dalam level pemberi kebijakan, perlu mempertimbangkan masalah ini dengan seksama ysng memperhatikan kesehatan mental tenaga kesehatan. Semoga pandemi Covid-19 ini segera berakhir dan tenaga kesehatan dalam menjalankan tugasnya dengan rasa bahagia.
Sumber
American Psychological Association. (2014). Suicide: What Therapists Need to Know. Diperoleh 20 April 2019, dari https://www.apa.org/education/ce/suicide.pdf
CPMH Fakultas Psikologi UGM. 2018. Buku saku kesehatan jiwa. Yogyakarta
https://www.who.int/mental_health/in_the_workplace/en/
Koopman, C., Pelletier, K. R., Murray, J. F., Sharda, C. E., Berger, M. L., Turpin, R. S., Hackleman, P., Gibson, P., Holmes, D. M., Bendel, T. 2002. Standard Presenteeism Scale: Health status and employee productivity. Journal of Occupational and Environmental Medicine, 44: 14-20.
Psychological First Aid: Field Operations Guide: National Center for PTSD https://www.who.int/mental_health/emergencies/guide_facilitators_slideshow.pdf?ua=1
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H