Free as a bird... It’s the next best thing to be... Free as a bird...
SEPERTI RAJAWALI yang membentangkan sayapnya dan terangkat aku tinggal landas ke angkasa. Semua petunjuk instruktur beberapa menit sebelumnya, untuk sepersekian detik tiba-tiba lenyap dari benakku sehingga kakiku tertekuk ke belakang dengan dengkul beberapa centi dari lereng gunung, nyaris terpapras. Sigap laki-laki di belakangku membantu memperbaiki posisi dudukku dan membuatku nyaman. Tapi melesat di udara, menukik, memutar, naik ketinggian, menerjang bibir gunung dalam kegiatan yang sangat mempertaruhkan nyawa, betapa pun dia sudah berusaha membuatku nyaman, tetap saja aku berteriak tak terkendali.
“Shiiit! Damn it! God! Damn God! It’s cooooool!! Oh man, this is shiiit!!” dan serentetan serapah yang lahir dari campuran rasa, antara takut dan takjub.
“Is this safe?” tanyaku.
“It’s okey. We just fly, and try to enjoy!”
“Oh, man, your job is cool.”
Kudengar tawanya di sela keteganganku. “Thaks!”
Tak kusangka kalimat pujianku itu membawa perbincangan menarik tentang diri Mas Taufik, salah satu instruktur paralayang yang beroperasi di gunung Banyak yang kebetulan menjadi pilotku. Belakangan, istri dan sahabatku yang mengamati penerbanganku dari landasan landing di bawah mengatakan kami melesat lebih tinggi dari yang lain (tiga sahabatku sudah terbang mendahuluiku) dan lebih lama di angkasa, nyaman seperti elang yang mengintai daratan.
Dan inilah yang membuat penerbanganku lama..
[caption caption="TITIK LONCAT. Di pucuk Gunung Banyak inilah titik pemberangkatan paralayang. Bendera ini sebagai penanda. (kredit foto: Sonya)"]
[caption caption="LANSKAP. Bentang ancala menjadikan titik pemberangkatan paralayang sudah merupakan lokasi wisata tersendiri bagi mereka yang tidak cukup punya nyali berparagliding. Tak hanya mata dimanjakan, udara pun terasa sejuk dan segar. (kredit foto: Sonya)"]
Insruktur itu menanyakan, dan selalu menyebut namaku saat berbincang, membangun kenyamanan. Dia banyak melakukan manuver beberapa menit setelah tinggal landas, memutari gunung sehingga aku yang begitu tegang bisa melihat sepatu yang kukenakan begitu besar diantara pucuk-pucuk pinus. Namun setelah makin membubung tinggi dan stabil di udara, aku bisa membayangkan diriku seperti elang yang sayapnya menumpu arus panas angin layaknya pesawat terbang sehingga stabil dan mampu mengintai daratan.
“Jadi seperti ini ya rasanya menjadi burung?”
“Yoi!” katanya bangga.
“Berapa lama Mas Taufik terbang seperti ini?”
“Tidak lama, Mas, baru 6 tahun,” jawabnya sambil bergurau. Dia mulai menyebut beberapa nama instruktur lain yang lebih lama darinya. “Saya yang termuda, Mas.”
Sebetulnya aku tidak terlalu tertarik menggali, hanya sekedar memastikan rasa amanku di tangan orang yang tepat dalam permainan yang sangat menguras adrenalin ini. 6 tahun, cukuplah untuk profesional. Dan dia memang sangat lihai, bukan saja karena instingnya merasakan angin, namun juga bagaimana dia membuat penumpangnya nyaman. Sekedar dugaanku, dia memiliki talenta untuk mengenali tipe-tipe penumpangnya. Aku mungkin tergolong yang gampang tegang, sehingga dia memintaku memejamkan mata dan menarik napas teratur. Usaha itu berhasil, aku stabil.
[caption caption="MENDARAT. Detik-detik penulis mendarat dari udara. Tidak ada kegiatan yang begitu melegakan selain mendarat setelah beberapa menit di ketinggian udara. Sudah ada petugas yang menunggu dan para ojek yang mengantar kembali peserta untuk mendaki kembali ke Gunung Banyak. (kredit foto: Sonya)"]
“Apakah anginnya akan senantiasa stabil seperti ini Mas?”
“Tidak juga. Tapi gunung Banyak ini adalah tempat ideal untuk paralayang. Lihat,” dia menunjuk hamparan biru samar di kejauhan yang kutatap dengan jantung hampir melompat karena begitu jauhnya, “angin dari Malang sana datang ke arah gunung Banyak ini. Di sini dari bawah menghembus ke atas, berbentuk sulur-sulur vertikal. Kita terbang memanfaatkan itu.”
Berdasarkan jam GPS di tangannya kami berada pada ketinggian 1464 dari permukaan laut, dan pria yang berasal dari kota Lawang itu bahkan memintaku merentangkan kedua tangan. “Nikmati, Mas, seperti burung.”
“I’am flying!” kata Rose di Titanic, dan aku bersyukur Mas Taufik tidak terus memegangi tanganku selama terentang itu sebagaimana adegan dalam film tersebut. Tapi aku betul-betul merentang dan melintas angkasa layaknya rajawali. Kutarik napas dan kurasakan angin dingin deras menghantam wajahku.
“Selama 6 tahun Mas Taufik selalu melihat ketinggian ini. Tentu sudah biasa ya?”
Dia tertawa. “Iya, Mas.”
“Boleh tahu, Mas, reaksi anda saat pertama kali terbang?”
“Saya? Wow...saya berteriak sekencang-kencangnya.”
“Sebagai apa waktu itu?”
“Eh, sebagai siswa, Mas.” Dengan cukup jelas Mas Taufik menjelaskan urut-urutan proses untuk menjadi seorang instruktur. Dia juga menceritakan segala resiko yang harus ditanggung. Pokoknya ini pekerjaan yang benar-benar hanya bagi manusia bernyali. “Ada banyak jenis paralayang yang bisa digunakan sesuai kebutuhan.”
Aku mengamati paralayang yang melengkung di atas kepalaku. “Kalau yang kita gunakan ini apa, Mas?”
“Ini untuk keperluan beginner. Karena yang diutamakan adalah safety-nya.”
[caption caption="UMAH KAYU. Umah kayu adalah sarana wisata berupa rumah pohon di batang-batang pinus lereng gunung. Mereka yang menderita sakit ketinggian mungkin akan berpikir dua kali memasuki rumah-rumah itu, namun terlepas daripada itu, Umah Kayu menjanjikan situasi wisata yang berbeda. (kredit foto: Sonya)"]
“Pekerjaan anda betul-betul keren, Mas,” saya mengulangi, dan dia lagi-lagi mengulangi tawanya. “Selama enam tahun tentu Mas Taufik melihat berbagai reaksi takut orang-orang.”
Dia membenarkan, dan menceritakan berbagai reaksi takut orang-orang yang pernah dipilotinya (dan aku sedikit malu karena ada yang mirip denganku). “Ada lho, Mas, laki-laki badannya kekar, tapi sejak take off hingga landing tidak bereaksi apa-apa selain mencengkeram kuat-kuat tali di dadanya dengan napas memburu karena takut (aku membahasakan dari gerakan yang dia contohkan). Ada yang tidak sempat selfie. Ada yang begitu take off langsung berteriak-teriak minta turun. Ada yang memegang erat tali sambil menunduk ke bawah sambil terus berkata ‘Oh, my God, Oh, my God, Oh, my God...’. Macam-macam deh reaksi orang.”
‘Kalau yang paling berani yang pernah Mas Taufik bawa?”
“O, pernah anak kecil usia PAUD langsung menyatakan berani, dan benar-benar berani.” (Wow, tak terbayang anak itu besarnya akan menjadi risk taking enterpreneur sukses).
Berkali-kali kutanyakan berapa ketinggian kami, dan Mas Taufik dengan sigap selalu menunjukkan jam GPS ditangannya. Masih sekitar 1400 an. Paralayang bergoyang dan aku sedikit pusing. “Ini polisi-tidur, Mas,” dia menjelaskan dengan analogi jalanan beraspal, untuk menunjukkan di udara pun tidak semulus yang kami kira. “Coba kita putar. Kalau kita putar, kita akan naik.”
Paralayang berputar namun aku tak merasakan gerakan naik. Meski begitu, dia memastikan bahwa kami sedang membubung makin tinggi. Jantung seperti berpacu. Sinting, sudah 1400 an masih naik lagi. Dari daratan sana mungkin kami seperti sepotong rumput hitam kecil yang mencoret kanvas angkasa. “Ini termaling,” katanya, “kita memanfaatkan angin termal.”
“Mau naik lagi?”
Sinting! Sinting! Aku tak mampu lagi. “No no no, noway,” kataku menjelaskan ketakutan yang menggelayutiku makin kuat.“Kita tidak bisa langsung turun ketinggian?”
“Kita harus menunggu polisi-tidurnya hilang, Mas.”
“Paralayang dilombakan ndak, Mas?”
“Oh tentu. Ada tiga penilaian dalam paralayang. Yang pertama ketepatan pendaratan. Tuh di bawah terlihat bundaran putih landasan dan hitam-hitam di tengahnya. Peserta harus mendarat tepat di sana. Ada logam pendeteksinya. Terus yang kedua jauh-jauhan terbang, Mas. Terjauh yang pernah dilakukan peserta mendarat di Kertosono, dengan paralayang tunggal. Ketiga ketepatan mencapai spot-spot.”
“Spot-spot?”
“Di udara ada spot-spot, Mas,” dia merentangkan tangannya di depanku menunjukkan jam GPSnya, “kalau jam ini dipasangi alat, akan terlihat koordinat spot-spot itu, dan peserta harus berurutan mencapainya.”
“Wah, keren sekali ya. Tapi menakutkan.’
“Ya, Mas, ini pekerjaan yang diberikan Tuhan pada saya dan benar-benar menyenangkan.”
Pekerjaan yang diberikan Tuhan? Wow, jarang saya mendengar orang menceritakan pekerjaannya dan melibatkan Tuhan dalam prosesnya. Tapi mungkin wajar saja seorang Mas Taufik menjadi ‘religius’ mengingat pekerjaannya sebagai instruktur paralayang adalah pertaruhan antara kehidupan di satu sisi dan kematian di sisi lainnya dengan batas yang begitu tipis. Berkat Tuhan diperlukan setiap hari.
“Saya penulis, Mas,” aku memperkenalkan pekerjaanku, “makanya saya ndak membawa hape untuk selfie karena saya ingin merekam semua ini dengan hati dan pikiran saya.
“Wah pekerjaan yang keren, Mas Antok. Penulis ya...”
“Yaah..,” aku tertawa, mengingat belum pernah ada teman yang mengatakan pekerjaanku keren. “Darimana Mas Taufik tahu pekerjaan ini diberikan Tuhan pada Anda?” (apakah melalui mimpi, atau penyingkapan takdir...hahaha).
Dia tidak tertawa, tapi menjadi lebih serius dan makin karib denganku.
“Pertama, saya menikmati. Itu yang terpenting. Meski bekerja dimana pun jika tak menikmati sebenarnya tidak pas untuk kita. Saya menikmati ini, Mas, karena saya hobi. Ini hobi yang menjadi pekerjaan. Kedua, saya menjadi berbahagia karena menyenangkan orang lain. Ketiga, saya bahagia ketika saya dibayar. (hobi saya diapresiasi orang). Belakangan, saat landing, pada istri dan sahabat saya Mas Taufik menegaskan. “Saya ini dengan Mas Antok sama pekerjaannya. Pertama, hobi. Kedua, menyenangkan orang. Ketiga, dibayar. Hahaha.” Kami berjabat erat dan berangkulan. “Satu tahun lagi, Mas,” kataku padanya, “saya akan datang lagi dan berharap Mas Taufik masih kokoh di atas sana (layaknya rajawali).”
“Oke,” jawabnya, “saya akan tunggu.”
Terakhir harus kuingatkan bahwa meski paralayang adalah olahraga yang menjanjikan sensasi berbeda, namun harus diingat ini sangat menantang maut. Setahun lalu kita belum lupa bagaimana olahraga ini merenggut nyawa seorang pilot paralayang senior sekaligus juara kejurnas yang berpengalaman. Ketika anda memutuskan untuk merasakannya, anda harus sadar betul batas-batas hidup anda, antara Berkat Tuhan dan sang instruktur.
[caption caption="PARA INSTRUKTUR. Seorang instruktur memberi petunjuk kepada pemakai paralayang sebelum terbang (kiri). Penulis berfoto bersama instruktur yang menerbangkannya (kanan). Saat paralayang, Anda harus menyadari hidup Anda salah satunya bergantung pada kecakapan orang-orang ini. (kredit foto: Sonya)"]
Gunung Banyak yang memiliki ketinggian sekitar 1315 mdpl, terletak di perbatasan Pujon. Harga sekali terbang dengan paralayang dibandrol 350 ribu rupiah, termasuk tongsis untuk digunakan merekam aktifitas selama di udara. Seandainya aku kembali menantang maut lagi di sana, aku akan mencari Mas Taufik sebagai pilot. Bukan saja karena kemahiran dan komunikasinya, namun juga bagaimana dia membangun suasana bersenang-senang. “Mau main?” tawarnya padaku. “Main” di sini—entah apa istilahnya—adalah meninggi lalu menukik berputar beberapa kali. Benar-benar keren untuk menguras adrenalin. Yang tak kuat dijamin pusing dan muntah (satu sahabat saya melakukannya dan muntah). Saya menolak.
Dia memutar paralayangnya untuk melesat lebih tinggi saat kurentangkan tanganku seperti sayap burung dan kuhirup udara dalam-dalam. Kudengar dia menyenandungkan salah satu lagu The Beatles. “...Free...as a bird...”.
Syukurlah dia tidak menyenandungkan lagu My heart will go on.....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H