[caption caption="UMAH KAYU. Umah kayu adalah sarana wisata berupa rumah pohon di batang-batang pinus lereng gunung. Mereka yang menderita sakit ketinggian mungkin akan berpikir dua kali memasuki rumah-rumah itu, namun terlepas daripada itu, Umah Kayu menjanjikan situasi wisata yang berbeda. (kredit foto: Sonya)"]
“Pekerjaan anda betul-betul keren, Mas,” saya mengulangi, dan dia lagi-lagi mengulangi tawanya. “Selama enam tahun tentu Mas Taufik melihat berbagai reaksi takut orang-orang.”
Dia membenarkan, dan menceritakan berbagai reaksi takut orang-orang yang pernah dipilotinya (dan aku sedikit malu karena ada yang mirip denganku). “Ada lho, Mas, laki-laki badannya kekar, tapi sejak take off hingga landing tidak bereaksi apa-apa selain mencengkeram kuat-kuat tali di dadanya dengan napas memburu karena takut (aku membahasakan dari gerakan yang dia contohkan). Ada yang tidak sempat selfie. Ada yang begitu take off langsung berteriak-teriak minta turun. Ada yang memegang erat tali sambil menunduk ke bawah sambil terus berkata ‘Oh, my God, Oh, my God, Oh, my God...’. Macam-macam deh reaksi orang.”
‘Kalau yang paling berani yang pernah Mas Taufik bawa?”
“O, pernah anak kecil usia PAUD langsung menyatakan berani, dan benar-benar berani.” (Wow, tak terbayang anak itu besarnya akan menjadi risk taking enterpreneur sukses).
Berkali-kali kutanyakan berapa ketinggian kami, dan Mas Taufik dengan sigap selalu menunjukkan jam GPS ditangannya. Masih sekitar 1400 an. Paralayang bergoyang dan aku sedikit pusing. “Ini polisi-tidur, Mas,” dia menjelaskan dengan analogi jalanan beraspal, untuk menunjukkan di udara pun tidak semulus yang kami kira. “Coba kita putar. Kalau kita putar, kita akan naik.”
Paralayang berputar namun aku tak merasakan gerakan naik. Meski begitu, dia memastikan bahwa kami sedang membubung makin tinggi. Jantung seperti berpacu. Sinting, sudah 1400 an masih naik lagi. Dari daratan sana mungkin kami seperti sepotong rumput hitam kecil yang mencoret kanvas angkasa. “Ini termaling,” katanya, “kita memanfaatkan angin termal.”
“Mau naik lagi?”
Sinting! Sinting! Aku tak mampu lagi. “No no no, noway,” kataku menjelaskan ketakutan yang menggelayutiku makin kuat.“Kita tidak bisa langsung turun ketinggian?”
“Kita harus menunggu polisi-tidurnya hilang, Mas.”
“Paralayang dilombakan ndak, Mas?”