“Oh tentu. Ada tiga penilaian dalam paralayang. Yang pertama ketepatan pendaratan. Tuh di bawah terlihat bundaran putih landasan dan hitam-hitam di tengahnya. Peserta harus mendarat tepat di sana. Ada logam pendeteksinya. Terus yang kedua jauh-jauhan terbang, Mas. Terjauh yang pernah dilakukan peserta mendarat di Kertosono, dengan paralayang tunggal. Ketiga ketepatan mencapai spot-spot.”
“Spot-spot?”
“Di udara ada spot-spot, Mas,” dia merentangkan tangannya di depanku menunjukkan jam GPSnya, “kalau jam ini dipasangi alat, akan terlihat koordinat spot-spot itu, dan peserta harus berurutan mencapainya.”
“Wah, keren sekali ya. Tapi menakutkan.’
“Ya, Mas, ini pekerjaan yang diberikan Tuhan pada saya dan benar-benar menyenangkan.”
Pekerjaan yang diberikan Tuhan? Wow, jarang saya mendengar orang menceritakan pekerjaannya dan melibatkan Tuhan dalam prosesnya. Tapi mungkin wajar saja seorang Mas Taufik menjadi ‘religius’ mengingat pekerjaannya sebagai instruktur paralayang adalah pertaruhan antara kehidupan di satu sisi dan kematian di sisi lainnya dengan batas yang begitu tipis. Berkat Tuhan diperlukan setiap hari.
“Saya penulis, Mas,” aku memperkenalkan pekerjaanku, “makanya saya ndak membawa hape untuk selfie karena saya ingin merekam semua ini dengan hati dan pikiran saya.
“Wah pekerjaan yang keren, Mas Antok. Penulis ya...”
“Yaah..,” aku tertawa, mengingat belum pernah ada teman yang mengatakan pekerjaanku keren. “Darimana Mas Taufik tahu pekerjaan ini diberikan Tuhan pada Anda?” (apakah melalui mimpi, atau penyingkapan takdir...hahaha).
Dia tidak tertawa, tapi menjadi lebih serius dan makin karib denganku.
“Pertama, saya menikmati. Itu yang terpenting. Meski bekerja dimana pun jika tak menikmati sebenarnya tidak pas untuk kita. Saya menikmati ini, Mas, karena saya hobi. Ini hobi yang menjadi pekerjaan. Kedua, saya menjadi berbahagia karena menyenangkan orang lain. Ketiga, saya bahagia ketika saya dibayar. (hobi saya diapresiasi orang). Belakangan, saat landing, pada istri dan sahabat saya Mas Taufik menegaskan. “Saya ini dengan Mas Antok sama pekerjaannya. Pertama, hobi. Kedua, menyenangkan orang. Ketiga, dibayar. Hahaha.” Kami berjabat erat dan berangkulan. “Satu tahun lagi, Mas,” kataku padanya, “saya akan datang lagi dan berharap Mas Taufik masih kokoh di atas sana (layaknya rajawali).”
“Oke,” jawabnya, “saya akan tunggu.”