Mohon tunggu...
Asih Rangkat
Asih Rangkat Mohon Tunggu... lainnya -

Mewujudkan lamunan dalam tulisan...\r\n

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[ECR] Karena Kami Memiliki Ayah

6 Mei 2012   06:09 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:38 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam ini seperti malam-malam minggu yang telah lewat, Asih hanya berdiam diri dalam kamarnya yang mungil. Selepas sholat Isya, dia merapikan pakaian lalu memasukkan ke dalam lemari. Sesaat dia keluar membawa lipatan pakaian ke kamar ayahnya Windu Hernowo lalu kembali masuk ke dalam kamarnya.

Pak Windu yang duduk di ruang tengah, menatap heran. Dia beranjak berdiri dan menyingkap kain pintu.

“ Tidak jalan-jalan ke rumah adikmu, Sih?” tanya pak Windu pelan.

“ Tidak ayah, saya lagi malas..” jawab Asih melihat sekilas ke arah ayahnya.

“ Malas atau kamu lagi sakit?” kali ini suara pak Windu terkesan khawatir.

“ Lagi malas, ayah. Beberapa hari ini, saya lembur di kantor desa. Banyak pekerjaan yang harus saya kerjakan. Cuti kemarin, banyak kerjaan menumpuk.”

Pak Windu hanya termangu. Dia bukan tidak paham dengan perasaan putrinya. Obrolan dengan kedua putrinya yang lain, Acik dan Jingga membuatnya gundah. Sebagai ayah dia merasa belum sempurna karena masih ada seorang putrinya yang tinggal menemaninya. Layaknya seorang perempuan berumur, sudah seharusnya Asih mengurus suami dan memiliki keluarga sendiri.

“ Ayah? Ayah sedang melamunkan apa?” tegur Asih membuat Pak Windu sedikit kikuk. Asih mendekatinya lalu menyentuh punggung tangan ayahnya.

“ Ayah kenapa? Sakit? Atau mau saya buatkan teh hangat dan pisang goreng?” ujar Asih dengan penuh kasih.

Pak Windu mengangguk lalu melangkah ke teras rumah. Malam yang sepi dari bintang tak mengurangi keindahan malam di Desa Rangkat. Pesona malam tetap menyejukkan mata. Namun tidak demikian dengan Pak Windu yang menghela nafas berulang-ulang. Mengapa hatinya belum juga merasa tenang? Melihat senyum Asih, pak Windu merasa ragu jika putrinya itu dalam kondisi yang baik.

“ Taraaaaaa...ini teh hangat dan pisang gorengnya, ayah..” Seru Asih yang muncul dengan nampan berisi dua gelas teh dan sepiring pisang goreng. Pak Windu terkekeh senang. Dia mencomot satu pisang goreng yang masih panas.

“ Aduh, anakku. Pisang ini masih panas..” Asih tergelak melihat ayahnya yang mengibaskan pisang goreng yang masih panas tersebut.

“ Ayah, pisangnya baru saja di goreng. Jelas saja masih panas hehehehe...”

Mereka berdua tertawa. Tawa yang memecah kesunyian malam. sementara dari kejauhan nampak dua orang muncul dari kegelapan. Mereka membuka pintu pagar lalu terpaku menatap Asih dan Pak Windu yang masih tertawa.

Acik dan Jingga menatap  haru kakak dan ayah mereka yang tertawa  bahagia.

“ Asyiiiikkkkk..ada pisang goreng!!” teriak Acik tanpa permisi, dia mencomot pisang goreng dan meminum segelas teh disusul Jingga yang datang dengan perutnya yang mulai terlihat membuncit karena hamil.

Pak Windu makin tertawa menyaksikan ketiga putrinya saling rebutan pisang goreng.

“ Aku kan lagi hamil, Cik, Harusnya aku yang makan banyak!” seru Jingga sambil mengunyah pisang goreng.

“ Tapi aku kan juga demen dengan pisang goreng. Sejak kemarin aku rindu dengan pisang goreng mbak Asih.” Balas Acik tak mau kalah.

“ Kalian makan saja. Nanti mbak goreng lagi yang banyak, biar kalian bawa pulang ke rumah.”

Ucapan Asih membuat ke dua saudarinya segera memeluk sambil mengucapkan terima kasih. Rasa haru menyelimuti hati pak Windu. Melihat ketiga putrinya yang hidup rukun membuatnya bahagia. Semoga selamanya seperti ini, batinnya penuh harap.

Malam mulai larut ketika Acik dan Jingga meninggalkan rumah Pak Windu. Tak lupa dua kantong plastik berisi pisang goreng dihadiakan Asih untuk ke dua adiknya. Meski sudah berumah tangga namun kedua adiknya itu masih suka berkunjung sekedar melepaskan kerinduan sekaligus menengok ayah mereka.

“ Asih!” tegur pak Windu ketika Asih keluar dari kamar mandi dan bersiap masuk ke dalam kamarnya. Asih menengok melihat ayahnya.

“ Ya, ayah..”

“ Kesini sebentar. Ayah mau bicara..”

Asih mendekati ayahnya yang bersiap merangkulnya. Mereka duduk berdampingan. Berulang-berulang Pak Windu menepuk pundak putrinya itu.

“ Ayah senang melihat kalian rukun. Sesama saudara memang harus seperti itu. Tapi...”

Pak Windu menghentikan ucapannya.

“ Kenapa, ayah?”

“ Kedua adikmu terlihat bahagia dengan hidup mereka. Apakah kamu juga tidak ingin seperti mereka?”

Asih mulai paham arah pembicaraan ayahnya.

“ Saya mengerti maksud ayah. Acik juga pernah menanyakan hal yang sama pada saya. Tapi untuk sekarang, biarlah saya seperti ini. Saya merasa bahagia bisa bersama ayah, merawat ayah..”

“ Tapi sampai kapan anakku? Usiamu terus bertambah. Tidak mungkin  selamanya kamu menemani ayah..”

“ Ayah...saya sudah pernah menikah. Itu sudah cukup. Bukan trauma, hanya tidak ingin terluka lagi. Kehidupan yang saya jalani sekarang, biarkan mengalir seperti air. Biar waktu yang mengubah segalanya. Bersama ayah saya sudah sangat bahagia...” ucap Asih dengan mata berkaca-kaca.

“ Benarkah? Jika suatu saat kamu menemukan tambatan hatimu, jangan ragu untuk mengatakannya pada ayah. Ayah akan ikhlas melepasmu menjalani hidup bersama orang lain. Ayah tidak ingin menjadi beban dalam hidupmu..”

“ Tidak ayah, ayah bukan beban. Memiliki ayah, adalah anugrah terindah yang kami miliki. Merawat ayah adalah karunia yang tak ternilai harganya. Biarkan saya merawat ayah. Jangan lagi merasa diri ayah adalah beban bagi kami. Cinta ayah pada kami tak bisa di bandingkan dengan apapun. Tolong jangan menanyakan hal itu lagi ya, ayah. Sekarang dalam mata dan hatiku, tak ada sosok lain selain ayah. Saya ingin membahagiakan ayah...”

Pak Windu tak kuasa menahan haru. Dia memeluk putrinya dengan air mata berlinang. Airmata Asih juga mengalir di kedua pipinya. Dalam hati Asih merasa lega. Biarlah Allah yang menentukan garis hidupnya. Saat ini dia hanya ingin merasa tenang dan bahagia bersama ayahnya.

-END-

DESA RANGKAT menawarkan kesederhanaan cinta untuk anda.

Datang, bergabung dan berinteraksilah bersama kami di  DESA RANGKAT

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun