Dongeng merupakan cerita yang benar-benar tidak terjadi dan dalam banyak hal sering tidak masuk akal (Rizaldy, 2015). Dongeng-dongeng yang ada seringkali melekar dengan anak-anak. Meskipun begitu, dongeng bukanlah cerita yang dibuat begitu saja tanpa tujuan. Menurut Nurgiantoro (dalam Rizaldy, 2015) dalam dongeng terdapat sesuatu yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca.Â
Tokoh-tokoh yang ada dalam dongeng tersebut dapat dilihat sebagai model untuk menunjukkan kehidupan yang diidiealkan oleh sang pengarang mengenai hal baik dan hal buruk, mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Dari hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa dongeng memiliki makna-makna tersembunyi yang akan menghubungkan si pembaca atau pendengar dengan tradisi atau adat istiadat suatu kelompok masyarakat yang melahirkannya. Maka dari itu, dongeng biasa disampaikan kepada anak-anak agar nilai moral dan tradisi yang ada di masyarakat dapat diterapkan dalam kehidupan anak cucu mereka.
Dongeng binatang (fabel) memiliki tempat dalam dunia anak-anak. Setiap bangsa memiliki binatang favoritnya masing-masing untuk dijadikan tokoh dalam dongengnya. Biasanya, tokoh yang dipilih adalah binatang yang akrab dengan masyarakat dan memiliki karakter yang sesuai dengan nilai moral yang diyakini oleh masyarakat tersebut (Risnawati, 2016).Â
Misalnya, di Eropa seperti Belanda, Jerman, dan Inggris terdapat tokoh Reinard de fox yang merupakan seekor rubah. Lalu di Amerika terdapat Brer Rabbit yang merupakan seekor kelinci, sedangkan di kalangan bangsa Indian terdapat binatang coyote, serigala, burung gagak, dan laba-laba.Â
Di Indonesia sendiri, kita memiliki tokoh Si Kancil yang merupakan seekor rusa kecil yang lincah dan cerdik. Si Kancil cukup terkenal di kalangan anak-anak Indonesia juga Malaysia yang kini membuat series kartun berjudul Pada Zaman Dahulu. Selain Si Kancil, di kalangan masyarakat Sunda sendiri terdapat tokoh Sakadang Kuya yang memiliki karakter hampir mirip dengan tokoh Si Kancil.Â
Kedua tokoh hewan tersebut sama-sama melekat dalam dunia anak-anak di lingkungannya masing-masing. Meskipun begitu, keduanya tentu memiliki perbedaan dan juga kemiripan yang akan menjadi topik bahasan pada tulisan kali ini.
Dalam dongeng "Sakadang Kuya jeung Sakadang Monyet" memiliki tokoh cerdik dan selalu menang yaitu seekor kura-kura, sedangkan tokoh lawannya adalah seekor monyet. Keduanya menjadi binatang favorit dalam dongeng-dongeng Sunda.Â
Ada pertanyaan mengapa orang Sunda memilih kura-kura sebagai tokoh yang selalu menang? Sedangkan pada kehidupan orang Sunda yang sebenarnya lebih dekat dengan anjing, kucing, ayam, burung dibandingkan dengan kura-kura. Risnawati (2016) menduga bahwa hal tersebut ada kaitannya dengan keyakinan agama Hindu yang pernah diyakini oleh orang-orang Sunda.Â
Dugaan lainnya adalah awal mula dongeng ini berasal dari Garut dan masyarakat huma (ladang) yang geram dengan kelicikan monyet lalu dibuatlah tokoh kura-kura yang berbanding terbalik dengan karakter monyet. K
arakter Sakadang Kuya ini juga memiliki kesamaan dengan karakter dongeng Sunda yang populer, yaitu Si Kabayan yang pemalas dan lamban tapi cerdas. Lain hal dengan Si Kancil yang dikatakan mewakili tipe ideal orang Jawa sebagai lambang kecerdikan yang tenang dalam menghadapi kesukaran dan selalu dapat memecahkan masalah dengan cepat tanpa menimbulkan keributan. Keduanya dongeng fabel tersebut sama-sama memilih hewan yang melambangkan dan mewakili tipe ideal masyarakatnya dalam membuat cerita untuk menyampaikan pesan moral.
Beberapa cerita dalam dongeng-dongeng Si Kancil dan dongeng Sakadang Kuya pun terdapat kemiripan. Misalnya, pada cerita Sakadang Monyet Nabeuh Goong Batara Guru dan cerita Kancil dan Gong Sulaiman.Â
Kedua cerita tersebut cenderung sama, yaitu tokoh utama mengelabui lawannya untuk memukul sarang lebah yang dikatakan sebagai Gong milik seseorang yang dihormati dalam keyakinan masyarakat.Â
Perbedaannya ada pada tokoh dan motif dalam cerita. Pada cerita Sakadang Monyet Nabeuh Goong Batara Guru diceritakan sakadang monyet yang sedang marah pada sakadang kuya karena seringkali ia ditipu oleh temannya itu.Â
Untuk menghindarinya, sakadang kuya menipu sakadang monyet bahwa ia sedang menunggu Goong Batara Guru yang sebenarnya merupakan sarang tawon. Sakadang Monyet yang memiliki rasa penasaran dan nakal itu memaksa sakadang kuya untuk mencoba memukul Gong tesebut. Sakadang Kuya pun terpaksa mengizinkannya sebagai tanda pertemanan namun dengan syarat saat Sakadang Kuya pergi dari tempat itu.Â
Setelah temannya pergi, Sakadang Monyet pun memukul Gong yang ternyata sarang tawon sehingga ia disengat oleh para tawon itu. Sakadang Monyet pun marah dan tidak lagi berteman dengan Sakadang Kuya.
Sedikit berbeda dengan cerita Kancil dan Gong Sulaiman. Pada cerita tersebut, diceritakan Si Kancil menemukan sarang tawon yang cukup besar dan ada keinginan dalam hatinya untuk menikmati madu yang ada di dalamnya. Lalu tiba-tiba sang Harimau datang dan akan memburu Kancil. Sang Kancil yang mengetahui itu pun
memiliki ide lalu mencoba menipu Harimau untuk jangan memburnya sebab ia sedang diberi tugas untuk menunggu Gong milik Nabi Sulaiman yang konon katanya siapapun yang memukulnya akan menjadi makhluk yang paling sakti. Harimau pun ingin memukul Gong tersebut dan menyuruh Si Kancil pergi agar ia tak dimarahi oleh Nabi Sulaiman. Kemudian, Harimau memukul Gong tersebut yang ternyata sarang tawon sehingga tawon-tawon tersebut menyengat tubuh Harimau.
Dari kedua cerita tersebut, memang memiliki kesamaan alur, namun terdapat perbedaan motif. Pada cerita Sakadang Monyet Nabeuh Goong Batara Guru, motif tokoh utama, yaitu Sakadang Kuya untuk menghindari amarah Sakadang Monyet.Â
Lalu, alasan Sakadang Monyet tertipu pun murni karena kenakalan dan rasa penasaran Sakadang Monyet sebab melanggar larangan Sakadang Kuya. Cerita ini seolah menyampaikan pesan bahwa jangan menjadi Sakadang Monyet yang nakal dan penasaran untuk melanggar larangan Sakadang Kuya sehingga ia berkali-kali tertipu. Sedikit berbeda dengan cerita Kancil dan Gong Nabi Sulaiman, tokoh utama pada awalnya memang memiliki keinginan untuk mendapatkan madu yang ada pada sarang tawon juga menhindari Harimau yang akan memangsanya.Â
Sedangkan Harimau sendiri memiliki alasan memukul Gong tersebut untuk menjadi makhluk paling sakti sesuai yang dikatakan oleh Si Kancil. Hal ini seakan memberi pesan agar jangan memiliki hasrat seperti Harimau sehingga tertipu oleh Si Kancil.
Cerita lainnya yang memiliki kemiripan adalah cerita Sakadang Kuya jeung Sakadang Monyet Maling Cabe dengan cerita Si Kancil Mencuri Timun. Singkatnya, kedua cerita tersebut sama-sama menceritakan tokoh utama yang tertangkap oleh Pak Tani lalu menipu tokoh lawannya untuk menggantikan posisinya.Â
Lagi-lagi kedua cerita tersebut memiliki perbedaan motif. Pada cerita Sakadang Kuya jeung Sakadang Monyet Maling Cabe berawal dari kenakalan Sakadang Monyet yang berniat mencuri cabe milik Pak Tani dan mengajak Sakadang Kuya dalam aksinya. Namun, Sakadang Monyet sengaja membuat kebisingan sehingga ketahuan oleh Pak Tani. Sakadang Monyet yang lincah itu kabur dengan memanjat pohon dengan cepat sedangkan Sakadang Kuya tidak bisa lari karena jalannya yang lamban.Â
Akhirnya Sakadang Kuya tertangkap dan dikurung memakai kandang ayam. Sakadang Monyet pun kembali untuk mengejek Sakadang Kuya namun Sakadang Kuya malah terlihat senang. Sakadang Kuya pun kembali menipu Sakadang Monyet dengan mengatakan bahwa ia akan dinikahkan dengan anak Pak Tani yang cantik. Sakadang Monyet pun tertipu dan ingin menukar dirinya dengan Sakadang Kuya yang padahal akan dimasak oleh Pak Tani. Pada cerita ini, motif Sakadang Kuya menipu Sakadang Monyet adalah membalas kenakalan dan kelicikan Sakadang Monyet agar jera.
Sedikit berbeda dengan cerita Si Kancil Mencuri Timun, dari awal cerita sang tokoh utama ini justru memiliki niat untuk mencuri timun lalu ia terjerat jebakan Pak Tani dan ditangkap. Lalu, saat di kandang, Si Kancil berusaha memikirkan cara lepas dari kandang tersebut lalu bertemu dengan Anjing milik Pak Tani.Â
Sang Anjing keheranan karena Si Kancil terlihat senang. Di sini lah Si Kancil menjalankan aksinya dengan menipu Anjing tersebut bahwa ia akan dinikahkan dengan anak Pak Tani.Â
Anjing tersebut tertipu dan menukar dirinya dengan Si Kancil yang sebenarnya akan dimasak. Dari cerita ini, dapat dilihat bahwa cerita tersebut menyampaikan pesan untuk menjadi secerdas Si Kancil dalam menyelesaikan masalahnya.
Dalam dunia dongeng fabel di Indonesia, kedua tokoh hewan tersebut memang memiliki kesamaan dalam kecerdasan, namun ternyata keduanya memiliki perbedaan motif. Pada cerita-cerita Sakadang Kuya jeung Sakadang Monyet, tokoh utama yang cerdik tersebut menipu lawannya untuk membalas karakter yang licik, nakal, namun bodoh seperti Sakadang Monyet. Hal tersebut dilakukan untuk menyampaikan pesan bahwa dalam kehidupan janganlah seperti Sakadang Monyet yang serakah, licik, dan nakal yang memikirkan keuntungan dirinya sendiri dengan berniat menipu temannya yang dianggap lemah karena jalannya lambat.Â
Niat-niat liciknya itu selalu diketahui oleh Sakadang Kuya yang meskipun jalannya lambat, namun ia cerdas dan bijak. Selain moral, pada dongeng Sakadang Kuya ini juga seakan mengkritik orang-orang yang selalu memanfaatkan dan menindas orang-orang lemah. Kritik ini juga disampaikan pada cerita Sakadang Kuya Silih Duruk jeung Sakadang Maung yang diakhir cerita menyampaikan kritiknya dalam monolog Sakadang Kuya
"Yakin geus paeh Si Belang teh. Keun, itung-itung wawalesna ka sato anu sok ngahakan sato laleutik," ceuk Sakadang Kuya. ("Yakin sudah mati Si Belang itu. Biarlah, hitung-hitung menjadi balasan untuk hewan yang suka memakan hewan-hewan kecil," kata Sakadang Kuya).
Dalam kutipan tersebut, terlihat jelas kritikan bagi orang-orang yang suka menindas atau berlaku jahat kepada orang-orang kecil. Di sisi lain, motif pada cerita si Kancil adalah untuk memperlihatkan bagaimana hewan kecil dapat mengalahkan hewan besar dengan kecerdikannya. Saya rasa, dongeng Si Kancil lebih menonjolkan bagaimana cara memecahkan masalah dengan cara yang cerdas seperti Si Kancil.Â
Selain itu, pesan lain terdapat pada orang-orang besar dan memiliki kekuasaan seperti harimau dan hewan buas lainnya pada akhirnya dapat dikalahkan oleh orang-orang kecil yang cerdas. Hal ini mungkin seperti sebuah motivasi kepada masyarakat kecil, namun memang pesan tersebut seakan hanya sebuah motivasi bukan pesan moral.
Dapat disimpulkan, selain perbedaan pengaruh kebudayaan juga lingkungan masyarakat dalam membuat dongeng fabel, terdapat perbedaan motif pada kecerdikan
tokoh utama. Motif pada dongeng fabel Sunda "Sakadang Kuya" adalah untuk menyampaikan pesan moral dan tradisi serta kritikan. Tipuan yang dibuat oleh Sakadang Kuya memang memiliki alasan, yaitu untuk membalas Sakadang Monyet yang pintar namun licik untuk menipu Sakadang Kuya yang dianggap lemah dan tidak bisa apa-apa. Kritikan tersebut tertuju pada orang-orang yang selalu menipu orang- orang lemah.Â
Lain hal dengan motif dari dongeng-dongeng "Si Kancil" yang menurut saya hanya menyampaikan bahwa kita harus menjadi orang yang cerdas dan memotivasi rakyat kecil bahwa kita dapat melawan orang-orang besar. Sehingga, kurang jelas pesan yang disampaikan sehingga muncul pertanyaan apakah Si Kancil itu cerdas atau licik?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H