Dan lembaran kertas itu kembali putih. Mimpiku pun berakhir.
Aku tak melihat apapun, hanya hitam yang pekat.
“Lana, kenapa kamu sampai seperti ini?”
Sebuah suara itu kudengar di tengah pekat pandanganku. Siapa? Siapa yang berbicara?
“Lana, apakah selama ini semuanya terasa sulit? Kenapa kamu tak pernah menceritakannya padaku dan malah jadi seperti ini? Kumohon Lana... jangan seperti ini lagi...”
Hey suara, siapa kamu? Apa yang sedang kamu bicarakan? Aku mencoba untuk melihat sekelilingku, tapi masih pekat yang ada. Lantas dari mana suara itu berbicara denganku?
Aku harus keluar dari pekat ini. Aku harus keluar. Bisakah aku berlari? Baiklah, aku akan berlari. Di tengah pekat itu aku berlari, sekuat tenagaku. Menuju ujung yang sepertinya tak berujung. Tapi aku tak menyerah. Pekat ini terlalu menyiksaku, membuat nafasku sesak. Aku berlari dan terus berlari. Bisakah aku mencapai sebuah ujung? Entah, aku hanya ingin terus berlari. Dan berlari.
Lalu sebuah lingkaran putih muncul begitu saja di depanku. Tanpa pikir panjang, aku langsung melompat ke lingkaran itu.
Dan aku bangun dari tidurku. Seperti nyawa yang baru saja dikembalikan ke raganya, nafasku tersengal. Beberapa orang di sekitarku menatapku panik, mencoba membaringkan aku kembali. Aku butuh waktu sekian detik untuk kembali menyadari aku ada dimana. Untuk mengenali lingkungan sekitarku, dan orang-orang di sekitarku.
Oh... itu adik kembarku. Rana. Kenapa ia menangis?
“Lana, kamu sudah sadar,” ujar seseorang, yang tampaknya seorang dokter, sambil memeriksa peralatan medis di sebelah ranjangku. Ada bunyi “bip-bip” dengan jeda teratur, aku tak tahu fungsinya untuk apa.
“Lana, bisakah kamu merasakannya sekarang?” tanya dokter itu. Merasa? Merasa apa? Aku menatapnya bingung. Tapi ia tak mengatakan apapun lagi. Aku menatap satu demi satu bagian tubuhku. Kenapa aku bisa begini? Apa yang terjadi?
Aku kembali menatap pada dokter itu, ia masih menatapku dengan pandangannya saja. Tak berkata. Sementara Rana masih menangis di sampingku.