“Kamu pernah menyesal telah bertemu denganku?” tanya sang perempuan. Sang lelaki mengangguk. “Iya, aku menyesal. Jika aku tidak bertemu denganmu, aku tidak perlu jatuh cinta padamu. Bagaimana denganmu?” balas sang lelaki. “Aku juga menyesal. Seharusnya aku bahkan tak perlu ingat namamu disepanjang sisa hidupku. Kamu tahu, aku pernah bilang kalau aku tak pernah suka cinta yang tak bersatu,” jawab sang perempuan. Sang lelaki tertawa, ia masih ingat cerita itu. “Tapi sepertinya kamu harus punya satu kisah cinta yang tidak bersatu,” jawab sang lelaki, dan kini menuai tawa di wajah sang wanita.
“Bolehkah kita mengucap selamat tinggal sekarang?” tanya sang lelaki. Sang perempuan mengangguk, lalu mengulurkan tangannya. Tapi sang lelaki tak kunjung menjabat tang sang perempuan. “Kamu belum ingin mengucapkan selamat tinggal?” tanya sang perempuan. Sang lelaki mengangkat bahunya. “Entahlah. Aku merasa keegoisanku mulai muncul. Bisakah kau menolongku mengucapkan selamat tinggal?” pinta sang laki-laki. Sang perempuan melangkah maju, dan meraih sebelah tangan sang lelaki. “Selamat tinggal. Kita sudah melangkah sejauh ini dan sudah menjadi sepasang sahabat sejati. Kamu adalah sahabat terbaik yang aku punya. Tapi kita sama-sama tahu, tak ada bahagia lagi yang tersisa jika kita meneruskan persahabatan ini setelah hari esok dan lusa yang akan mengubah hidup kita selama-lamanya. Karena itulah kita memutuskan untuk berpisah. Sekali lagi, kuucapkan selamat tinggal untukmu, sahabatku,” ucap sang perempuan. Genggaman tangannya yang mengerat mematahkan air mata yang akhirnya urung untuk mengalir. Ia kini menanti, menanti sang lelaki melepaskannya pula. Sang lelaki tersenyum, ia bisa merasakan sang perempuan mengatakan kata selamat tinggal itu dengan sangat tulus dan indah.
“Kamu sudah mewakili semua yang akan kukatakan. Terima kasih telah menganggapku sahabatmu yang terbaik, karena begitu juga aku yang tak yakin bisa menemukan orang lain untuk menjadi sahabatku seperti dirimu. Dan... ini memang waktunya untuk aku melepaskanmu. Selamat tinggal. Izinkan aku menyebut namamu untuk terakhir kalinya supaya bisa kamu dengar. Raina... selamat tinggal. Lupakanlah aku. Lepaskanlah aku,” ucap sang lelaki, dan mengeratkan genggaman tangannya yang bergelayut di tangan sang perempuan. Sang perempuan tersenyum, lalu membalas kata-kata sang lelaki. “Dan aku pun akan menyebut namamu untuk yang terakhir kalinya agar bisa kamu dengar. Raifan... selamat tinggal. Lupakanlah aku. Lepaskanlah aku,” ucap sang perempuan. Sehelai angin berhembus tipis, dan kepingan kenangan serta ingatan mereka kini terbawa pergi untuk selamanya.
Ada dua anak manusia. Yang saling bersahabat sangat erat. Yang saling mencintai dalam diam. Dan kisah mereka pun kini telah berakhir.
***
Bogor, 31 Oktober 2015