Ada dua anak manusia yang sedang duduk disana.
Mereka hanya terdiam, membiarkan angin lewat tanpa ada suara yang mengisi jeda sunyi. Terlalu sibuk dengan pertanyaan dan perasaan masing-masing, meski mereka tahu waktu terus berjalan dan akhirnya akan tiba. Mereka hanya dipisahkan oleh sekat tak kasat mata yang membuat mereka enggan. Padahal, tak akan ada hari lain, tak ada waktu lain. Tak akan pernah ada lagi.
Ada dua anak manusia yang sedang duduk disana.
Keduanya, sama-sama telah mengenakan selingkar cincin di jari manisnya, tanda mereka telah ada yang memiliki. Belum resmi, tetapi hati dan hidup mereka telah separuh terikat untuk orang-orang yang telah mereka cintai jauh sebelum mereka bertemu. Tetapi roda yang berputar mempertemukan kehidupan mereka pada suatu titik. Mereka bisa apa? Hanya bisa menuliskan cerita pada lembaran demi lembaran yang sama-sama mereka jalani kala itu. Tak ada yang tahu, bahkan jika ada yang tahu pun tak akan ada yang salah dengan mereka. Jangan pikirkan cerita yang terlalu dramatis, mereka hanya menjalani peran seperti biasanya. Tak ada yang perlu ditakutkan.
Ada dua anak manusia yang sedang duduk disana.
Mereka sama-sama menghitung hari. Akan ada yang berubah ketika hari itu tiba, hari pernikahan. Pernikahan yang hanya berjarak satu hari. Yang perempuan akan menikah terlebih dahulu sebelum yang laki-laki. Lihatlah, bagaimana semesta mengatur kesamaan yang tak kentara diantara mereka bahkan hingga ke tanggal pernikahan sekalipun? Tetapi mereka masih... hanya menghitung hari. Meski ada yang lebih penting yang harus mereka katakan.
Yang perempuan menengadah, memperhatikan pepohonan yang bergoyang tertiup angin. Ia kembali teringat pada perjalanan-perjalanan yang pernah ia lalui bersama lelaki di seberangnya. Sudah berapa rimba yang mereka jelajahi, merasakan kehidupan makhluk selain manusia yang sering kali terabaikan. Lelaki itu mengajarkannya menikmati indahnya dunia dari puncak tertinggi pepohonan, merasakan segarnya buah-buahan hutan yang bahkan tak pernah ia temui di pasar rakyat manapun, mengajaknya mengintip sarang hewan-hewan liar yang ada di puncak pepohonan sana. Semuanya, itulah cerita sang perempuan dengan lelaki itu.
Yang lelaki menunduk, memainkan butir pasir yang mengelilingi alas kaki yang ia kenakan. Ia kembali teringat pada jejak-jejak pasir dari puluhan pantai yang ia kunjungi bersama perempuan itu. Ia tak pernah menyukai pantai. Bukan karena ia memiliki pengalaman buruk dengan pantai, tetapi karena ia selalu iri mendengar nyanyian ombak yang seperti merayunya untuk terhanyut ke dalam riak gelombangnya. Lalu perempuan itulah yang mengajarkannya merasakan sentuhan ombak pertama kalinya di kedua kakinya, mengajarkannya berjalan di antara kepungan air laut, dan membuatnya mencintai laut ketika ia telah bisa menari bersama gelombangnya. Semuanya, itulah cerita sang lelaki tentang perempuan itu.
Ada dua anak manusia yang sedang duduk disana.
Mereka tak bergeming. Padahal mereka tahu mereka hanya perlu satu jabat tangan untuk berpisah. Itupun, jika mereka tak punya keberanian untuk mengungkapkan apapun lagi. Di pucuk pepohonan, sepasang burung layang menatap bingung pada mereka. Andaikan burung layang itu bisa berbahasa manusia, tak akan dibiarkannya mereka membisu terlalu lama. Bukankah penantian itu adalah sesuatu yang paling menyakitkan walaupun keterus terangan adalah hal yang sulit untuk dilakukan?
Ada dua anak manusia yang sedang duduk disana.