Mohon tunggu...
Asih Perwita Dewi
Asih Perwita Dewi Mohon Tunggu... -

Penulis adalah anak kedua dari 3 bersaudara perempuan dari pasangan Alm. Bp. Syamsudin Selamet dan Ibu Roro Rahayu. Penulis menyelesaikan jenjang pendidikan Strata 1 (S1) di Universitas Tanjungpura Pontianak, Program studi Pendidikan Biologi. Saat ini penulis sedang menempuh pendidikan Strata 2 (S2) di Institut Pertanian Bogor (IPB) program studi Biologi Tumbuhan. Penulis sangat menyukai hujan, pantai, dan tidur di bawah langit berbintang. Kegemaran penulis lainnya adalah menulis cerita.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cerita Dua Anak Manusia

31 Oktober 2015   15:17 Diperbarui: 31 Oktober 2015   15:33 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam benaknya, mereka hampir menyerah. Mereka merutuki roda yang memutar hidup mereka hingga mereka bertemu. Untuk apa mereka bertemu jika mereka tak pernah bertakdir untuk bersama?

Ada dua anak manusia yang sedang duduk disana. Dan akhirnya tatap mereka bertemu.

Satu_dua_bahkan tiga detik. Tak kunjung terlepas tatapan mereka. Seperti telepati, mereka saling memohon untuk memulai bicara. Tak ada yang mampu mengartikan tatapan mereka, tetapi yang terlihat jelas hanyalah kesedihan. Ya, apalah yang paling sedih dari sebuah cinta yang saling memendam dan tak pernah bisa bersatu. Sepasang burung layang yang menatap dari pucuk pepohonan, memalingkan wajahnya. Bahkan sekuntum mahkota bunga cempaka pun gugur karena sedih.

Ada dua anak manusia yang sedang duduk disana. Dan mereka sesungguhnya saling mencintai dalam diam.

Mereka, adalah sepasang sahabat terbaik yang saling melengkapi. Sepasang “duet maut” yang tak pernah gagal dalam semua pekerjaan yang mereka lakukan bersama. “Icon” yang selalu menjadi contoh untuk para junior mereka. Tapi mereka tak tahu, badai terburuk yang akan meruntuhkan persahabatan itu adalah ketika mereka mulai jatuh cinta.

Ada dua anak manusia yang sedang duduk disana. Dan mereka sesungguhnya saling mencintai dalam diam.

Waktu berusaha melambat, berharap akan ada akhir yang mereka putuskan. Seperti telepati, mereka kini saling berdiri, dan melangkah satu demi satu, lalu berhenti ketika mereka dapat melihat wajah masing-masing dalam dekat. Lihatlah... wajah sang perempuan tampak pucat dan samar kelabu membayang di bawah matanya. Bahkan ia tak pernah terlihat seperti itu walaupun harus tidur ditengah hutan dengan serbuan nyamuk dan binatang hutan kapan saja. Lalu sang lelaki, lihatlah jambang yang tumbuh tak beraturan dan tak lagi dicukur rapi. Bahkan ia tak pernah sejelek itu walau berhari-hari tinggal di daerah antah berantah sekalipun. Kini mereka saling menatap, dalam keadaan terparah dari bias rasa yang akan mereka binasakan hari ini. Bukan sedih yang kini mereka rasakan, tetapi perasaan itu makin menguat. Cinta, sebuah cinta yang terlarang. Cinta itu makin menguat sehingga membuat mereka berani mengambil keputusan.

“Halo,” ucap sang lelaki. Sang perempuan tersenyum, dan balas berkata “halo”.

Ada dua anak manusia. Mereka kini saling mengucap sapa dari sisi yang berseberangan.

“Inilah saatnya,” ucap sang perempuan. Sang lelaki mengangguk, dan tersenyum. “Iya, inilah saatnya.”

“Perlukah kita untuk saling meminta maaf?” tanya sang lelaki. Sang perempuan menggeleng. “Tak ada yang perlu dimaafkan. Kita tak pernah bersalah bukan?” balas sang perempuan. Sang lelaki mengangguk. “Iya, tak pernah ada yang salah.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun