“Syukurlah nggak lama. Mana cuaca benar-benar panas lagi. Makasih ya Wit udah nungguin aku,” ujarnya lagi sambil tersenyum. Aku menggumam sambil mengucap syukur. Kami pun kembali melanjutkan perjalanan yang masih cukup jauh ditengah sengatan matahari yang tanpa ampun.
Memang menyedihkan mengingat kenangan itu. Jalan yang tak ada pohon atau gedung satupun, cuaca panas terik dan sepeda yang bermasalah memang menjadi penderitaan yang sangat tidak diinginkan ditengah kondisi itu. Tak kubayangkan jika saat ini akulah yang mengalami hal tersebut. Akankah Dedy akan muncul dan menemaniku hingga rantai sepedaku benar kembali?
Tak terasa aku telah melalui setengah dari jalan ini, dan kini aku tiba disimpang jalan yang jika kuikuti akan membawaku kembali ke gedung SMA-ku empat tahun yang lalu. Kuputuskan untuk berbelok mengikuti jalan itu. Sinar matahari yang mulai meninggi mulai terasa menyengat pori-poriku. Tapi syukurlah dijalan menuju sekolah ini masih banyak pepohonan rindangnya, jadi aku sedikit terlindungi dari sengatan matahari. Baru saja beberapa meter dari persimpangan, kuhentikan kayuhan sepedaku tepat didepan pagar gedung SMA-ku. Beberapa meter didepanku, seorang pengendara sepeda juga melakukan hal yang sama. Semua terasa mimpi, karena aku mengenal sepeda itu, dan aku mengenal lelaki itu. Lelaki yang baru saja kulihat siluetnya disepanjang jalan yang kulalui tadi. Lelaki yang dulu pernah bersamaku mengayuh sepeda dijalan ini sepulang sekolah, dan sudah empat tahun tak kuketahui kabarnya. Aku masih tak percaya dia ada didepanku saat ini.
“Dedy…,” lirihku tertahan. Hanya sepatah nama itu yang mampu kuucapkan.
“Wita…,” katanya tenang. Wajah itu tersenyum. Kini kusadari waktu telah lama menidurkan cerita kami berdua di masa lalu.
Tak ada yang berubah dari wajah itu. Hanya tubuhnya yang kurasa sedikit lebih tinggi dariku beberapa senti. Rambut hitamnya masih tersisir rapi dengan belahan ditengahnya, tapi kini sudah lebih panjang dari waktu SMA dulu. Alis mata yang masih bertaut lebat diatas mata hitam itu, dagu berbelah dan bibir merah yang dulu selalu jadi pujaan siswi-siswi di SMA-ku begitu melihat dia. Dia terlihat lebih dewasa daripada waktu kami masih sekolah. Sekali lagi aku memuji waktu yang berhasil menidurkan kisah diantara kami, dan kini memunculkannya kembali tanpa merubah apapun.
“Sudah lama ya Wit?” katanya lagi. Aku membalasnya dengan tersenyum.
“Ya… sangat lama. Tapi sepertinya nggak ada yang berubah ya, Ded?” balasku padanya. Lalu kami berdua mendorong sepeda kami bergerak mendekat. Kami berdiri bersisian, tentunya dengan arah sepeda yang berbeda. Sepedanya yang mengarah ke jalan yang tadi kulalui, dan sepedaku mengarah ke jalan yang tadi dia lalui.
“Maukah kamu menemaniku menyusuri jalan ini lagi, Wit? Aku ingin mengenangnya, meskipun sebenarnya aku tidak lupa,” ujarnya singkat. Aku memutar sepedaku hingga searah dengan sepedanya.
“Dengan senang hati,” ujarku senang. Dan kami kembali menelusuri jalanan itu. Kali ini bukan siluet kenangan, melainkan sebuah kenyataan yang nantinya juga akan menjadi kenangan. Dalam hati aku bertanya, akankah empat tahun kedepan kami akan bertemu kembali dan bersama-sama menelusuri jalanan ini, mengenang cerita empat tahun yang lalu dan tahun ini. Atau mungkin waktu tak akan menunggu selama itu untuk mempertemukan kami lagi. Entahlah… Yang kurasakan, jalanan ikut bercerita, angin bersenandung pelan, dan langit mengabadikan cerita ini, sekali lagi. Seperti mana aku dan dia yang kembali bertemu setelah empat tahun terpisah, sepeda ini juga seperti menemukan teman lamanya yang sama-sama pernah berbagi cerita dengannya dan jalanan ini empat tahun yang lalu.
23 Maret 2010