JALAN TANI
Sebuah papan penanda nama jalan terpampang disisi kanan jalan. Lalu aku pun mulai mengayuh sepedaku.
Ternyata tak begitu banyak berubah. Bentangan sawah masih mendominasi sisi kiri dan kanan jalan. Bulir padi ada sebagian yang telah menguning, menandakan sebentar lagi musim panen tiba. Tampak beberapa deret kaleng yang digantung dengan tali melintang diatas sawah-sawah itu bergerak-gerak, tujuannya agar burung pemakan biji yang menjajah sawah itu terbang ketakutan. Hijau padi disawah berbaur dengan birunya langit yang membentang diatas sana, menghadirkan lukisan raksasa yang menyiratkan kedamaian abadi. Nun jauh dibelakang sawah-sawah itu, puluhan batang kelapa berbaris rapi hingga ke bibir pantai. Tapi itu jauh disana, hingga tampak seperti lidi-lidi kecil yang kupandang dari jalan ini.
Ditengah hamparan sawah itu, beberapa bangunan sarang walet berdiri megah dengan jarak teratur. Dulu rasanya hanya ada lima gedung. Tapi sekarang sepertinya lebih banyak, sekitar 8 atau 10 buah. Dari masing-masing gedung itu terdengar suara tiruan burung-burung walet yang diputar dalam kaset nonstop 24 jam. Sedangkan diluar gedung, tampak beberapa ekor burung berkeliaran keluar masuk lubang yang ada disisi gedung.
“Ded…tunggu!” seruku pada sesosok tubuh yang sibuk mengayuh sepedanya 100 meter didepanku. Meskipun nampaknya ia tidak laju, tapi cukup sulit juga untuk kukejar.
“Hei… sorry, aku nggak dengar,” katanya tenang ketika aku berhasil menyeimbangkan jarak dengannya. “Kenapa nggak pakai jaket? Cuaca benar-benar panas,” katanya mengingatkan.
“Kelupaan. Tadi berangkatnya kesiangan, jadi yang diingat cuma bawa tas doang,” jawabku sambil mengusap-usap kulit tanganku yang mulai tersengat matahari. “Kamu sendiri, kenapa nggak pernah pakai jaket sih? Nggak sayang sama kulit kamu yang putih? Nanti malah gosong lho!” ejekku padanya. Tapi yang terjadi justru sebaliknya.
“Justru karena aku putih, Wit… Jadinya aku nggak perlu takut hitam meskipun aku nggak pakai jaket dipanas terik kayak gini. Palingan juga gosong-gosong dikit, tapi tetap aja banyak yang ngefans sama aku... Hahahaha…,” gelaknya sambil mempercepat laju sepedanya. Aku mengumpat panjang lebar sambil mengejarnya, dan tepat ketika sepeda kami sejajar kembali aku memukul bahunya gemas.
Aku tersenyum melihat siluet yang seolah kusaksikan kembali kala ini. Sebuah kenangan persahabatan yang manis, yang saat itu kurasakan jadi penawar ditengah panasnya matahari yang seringkali membakar tanpa ampun. Apalagi jalanan ini sangat kurang sekali naungannya, sehingga jika melewatinya sendirian akan terasa membosankan dan melelahkan, serta tersiksa oleh dehidrasi yang bisa kapan saja menyerang kerongkongan.
Dalam ingatanku, perjalanan kami selalu berisi tentang obrolan apa saja. Walaupun kami tidak pernah satu kelas, tapi karena aku sudah mengenalnya sejak aku masih di bangku SMP, jadi aku tidak merasa asing mengobrol dengannya. Mulai dari obrolan seputar rutinitas sekolah, jajanan kantin, hingga gosip-gosip seputar sekolah pun kami obrolkan sepanjang setiap perjalanan pulang sekolah.
“Serius kamu nggak ada pacar, Ded? Ah… bohong kali…,” sangkalku mendengar penuturannya. Tapi cowok itu mengangguk cepat.