“Seriuslah Wit… Buat apa aku bohong… Cewek itu ribet, Wit. Selalu minta ini, minta itu. Belum lagi kalau kita jalan sama dia, pasti kita wajib mentraktirnya. Pas ulang tahun, kita juga harus ngasih kado. Belum lagi kalau dapat cewek matre, yang diminta pasti yang aneh-aneh dan nggak murah. Aku nggak punya uang sebanyak itu buat menuhin tuntutan mereka, Wit…,” jelasnya sambil menyeka keringat dibalik kerah baju seragam sekolahnya.
“Kok kamu beranggapan semua cewek matre sih, Ded?” tanyaku tak senang. Sebagai salah seorang cewek yang “tak matre”, sedikit banyak aku tersinggung. Ia terkekeh pelan.
“Memangnya ada ya cewek yang nggak matre? Tapi kebanyakannya gitu deh Wit…,” katanya membela diri.
“Ya nggak lah Ded… Kamu cari dong cewek yang nggak matre… Masih banyak kok. Aku nggak setuju aja kalau kamu bilang semua cewek itu matre, karena aku sendiri sebagai seorang cewek nggak merasa matre kok!” tukasku dengan wajah tak senang. Mungkin menyadari nada bicaraku yang sedikit meninggi, ia malah tertawa.
“Waahh… ada yang tersinggung ya? Ya udah, aku minta maaf ya Wit…,” ujarnya seraya tersenyum tulus. Lalu ia pun mengganti topik pembicaraan dan kami kembali tertawa bersama.
Dalam hati aku bertanya-tanya, masihkah dia tidak punya pacar? Masihkah dia beranggapan kalau semua cewek itu matre? Ah, tapi waktu empat tahun bukan waktu yang sebentar. Semua bisa berubah dalam waktu empat tahun, begitu juga dia. Mungkin saat ini dia sudah punya pacar yang cantik dan berkulit putih, sepadan dengan dia yang tampan dan berkulit putih. Dan pacarnya itu pastilah tidak matre. Lagi-lagi aku tertawa sendiri mengingatnya.
Aku masih ingat ketika disuatu siang, rantai sepedanya lepas. Tidak ada gedung maupun pohon tempat berteduh, sehingga dia terpaksa memperbaiki rantainya sambil berpanas-panasan.
“Gimana Ded, bisa diperbaiki nggak rantainya?” tanyaku sambil ikut mengamati sepedanya. Tampak wajah anak itu memerah karena panas.
“Nggak tahu, mudah-mudahan aja bisa. Kamu jalan aja dulu, nggak usah nungguin aku. Panas nih Wit…,” suruh Dedy sambil kedua tangannya sibuk menggerak-gerakkan rantai sepeda. Aku kasihan padanya, apalagi dibagian jalan yang ini memang tidak ada gedungnya sama sekali.
“Nggak apa kok, aku nungguin kamu aja. Mudah-mudahan bentar lagi bisa,” kataku sambil memarkir sepedaku. Aku pun berjongkok sambil memperhatikan tangannya yang sibuk mengutak-atik rantai. Tak lama kemudian ia berdiri, menggerakkan maju-mundur sepedanya, lalu mengayun-ngayunkan pedal. Ia pun mencoba menaiki sepeda itu dan mengayuhnya. Ternyata rantainya sudah benar, dan sepeda itu sudah bisa berjalan sebagaimana mestinya.
“Udah bisa Wit!” serunya girang. Aku pun menyusulnya dari belakang.