Mohon tunggu...
Asih Iqbal iqbal
Asih Iqbal iqbal Mohon Tunggu... Guru - Tri harnanik atas asih

Tri harnanik atas asih, pekerjaan guru, pendidikan S1 pendidikan agama islam, UMJ Penulis novel, cerpen, puisi, artikel freelance

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pilihan Terakhir

21 Februari 2022   09:37 Diperbarui: 21 Februari 2022   09:42 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Langkah Asih gontai, menyusuri tangga di salah satu pasar sudut  kota. Sore itu hatinya kalut memikirkan biaya sekolah anaknya Rozak dan kebutuhan hidup mereka. Kalau begini terus, aku bisa mati kelaparan. Jangankan biaya sekolah, untuk  makan sehari-hari saja tidak cukup.


Semenjak suaminya pergi meninggalkannya, Asih dan Rozak hidup berdua di pinggiran kota Jakarta.Rumah mereka yang dulu dihuni bertiga terjual demi menutupi utang. Dan sekarang Asih dan anaknya ngontrak rumah yang tidak layak huni dengan ukuran ruang 3x 4 meter.


"Sih, apa kamu gak capek kerja begitu terus?"tanya Ririn tetangga sebelahnya dengan nada mengejek. "Yah gimana lagi, nyari kerjaan yang gajinya banyak sulit, lagipula aku cuma lulusan SD," jelasnya.

Kalau  nyuci iin baju begini sebenarnya capek juga, tapi mo gimana lagi,"katanya sambil mengucek-ucek baju yang direndamnya.


Mata Ririn menyipit sebentar sebelum  ia  membisikkan  sesuatu  ke telinga Asih."Kamu mau gak dapat uang banyak, tapi kerjanya gak perlu capek?"tawarnya kemudian.


Asih tak beranjak dari tempatnya, tapi ia mulai tertarik dengan tawaran Ririn.


"Ah, mana mungkin, kerja apa itu,"tanyanya kemudian. Melihat temannya mulai tertarik rayuannya, Ririn langsung berbisik kembali,"jadi pengemis jalanan..Kalo kamu  minat nanti aku  sampaikan ke bang Jupri.


Asih terbelalak kaget, ia tahu  kalau mengemis itu pekerjaan hina dan Jupri?Bukankah orang itu preman kampung yang paling ditakut daerah ini? Ririnpun berbagi tips untuk memperdaya orang-orang di sekitarnya untuk mengeluarkan uang mereka.


Akhirnya dengan terpaksa Asih mengikutinya. Dilepasnya pekerjaan yang tak membuatnya kaya itu. Tak tanggung-tanggung anak semata wayangnya pun dibawanya, kata Ririn agar lebih meyakinkan.


1 Minggu kemudian...


"Pak...Bu...tolong kami belum makan  dan  untuk mengobati luka di kaki anak saya..rintih seorang ibu yang buta. Sedangkan kaki bocah itu penuh koreng dan dikelilingi lalat. Tiap orang melihat pasti jijik.


Rupiah demi rupiah masuk ke kalengnya itu. Mata Asih melirik sebentar ke arah kaleng  itu. Sedangkan anak itu tak putus-putusnya merintih kesakitan. Dan begitulah kegiatan tiap hari Asih dan Rozak di sepanjang pinggir jalan menuju lampu merah.


"Gimana Sih  pekerjaan hari ini, berapa yang kau dapatkan?"Tanya Ririn penasaran.


Mereka sengaja bertemu di pos sepi yang biasa tepat berkumpul anak jalanan.Kalau malam begini tak ada orang yang curiga.

"Wah  banyak sekali ,Rin.Tadi Bang Jupri dah ambil sebagian dan ini upahku untuk kerja keras hari ini.Gimana kalau sebulan ya,Rin?" tanya Asih dengan wajah berbinar.


"Ya, itu kamu bisa mengira-ngira nanti. Jangan boros Sih, uang itu baiknya kamu tabung untuk masa depanmu dan anakmu," nasehat Ririn. 

Ririn sendiri sudah mengumpulkan modal untuk membangun usaha di kampungnya. Ia tak mau kerja yang penuh resiko ia lakoni  terus.


"Besok kita pindah tempat, karena tempat kemarin sudah dikuasai oleh si Joni. Bang Jupri katanya kalah waktu judi minggu kemarin, " kata Ririn. 

"Gak masalah,Rin yang penting aku masih bisa melakukan pekerjaaan ini," pintanya kemudian.

Ririn manggut-manggut mengiyakan alasan Asih.Ia juga merasakan kegundahan di hati  temann yaitu. Ririn juga mengalami ujian dalam  rumah tangga dengan suaminya yang pemabuk dan penjudi. Sekarang genap 5 tahun suaminya mendekam di penjara.Berarti kurang 5 tahun lagi Ririn harus menunggu bebas suaminya.


Dan hari itu mereka kembali menjalankan profesi masing-masing. Asih dan Rozak kembali  duduk dan sesekali jalan terseok-seok di jalanan yang lengang. Tumben hari ini sepi  sekali..Diliriknya kaleng yang isinya beberapa lembar  uang ribuan..


"Mak...aku capek, kakiku  kok nyeri sekali ya mak?"tanya Rozak sambil nunjuk kaki kanannnya.Asih segera melihat ke arah kaki yang ditunjuk Rozak. Memang beberapa hari kaki itu tak pernah dibersihkan setelah mereka mengemis.

 Asihpun agak panik, iapun berujar, "ya udah nanti abis mengemis ibu obati kakinya ya,"kata Asih membujuk.


Tiba-tiba sayup-sayup terdengar seseorang berteriak tanda peringatan.Asih kebingungan tatkala yang datang adalah  petugas satpol PP. Sontak ia menarik baju Rozak dan berlari kearah barat seberang jalan.


Ia tak menghiraukan teriakan sopir dan pengguna jalan lainnya. Yang ada dalam benaknya menyelamatkan diri.Ia tak mau  berurusan dengan petugas yang tidak ramah itu.Dan "sretttt....brakkk..." Sebuah truk  yang melaju  kencang dari arah berlawanan menabrak seketika ibu dan anak itu.Kejadian itu begitu singkat Asih dan Rozak anaknya terluka parah.Belum sempat bantuan datang ibu dan anak itu menghembuskan nafas terakhir, inna lillahi wa inna lillahi roji'un.


Suasana duka di rumah kontrakan itu.Ririn sedari tadi tercenung melihat temannya terbujur kaku.Ia masih gak percaya apa yang terjadi.Bang Jupri tak terlihat batang hidungnya.Hanya segelintir orang mengerumuni jenazah Asih dan Rozak. Kesedihan melanda di hati mereka.


Seperti ada pelajaran berharga atas kejadian itu. Sore itu jenazah Asih dan Rozak dimakamkan. "Selamat  jalan Asih, Rozak...Semoga Alllah mengampunimu dan memaafkanmu," lirih Ririn mendoakan Asih. Sesal sedih menyelimuti hatinya, andai ia tak membujuk Asih untuk mengikuti jejaknya, tidak bakalan Asih dan anaknya meninggal.

Nasi telah menjadi bubur, penyesalan selalu datang belakangan.
Ririn melangkah gontai meninggalkan TPU di Seroja itu. Ia masih teringat harapan Asih yaitu menyekolahkan Rozak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun