Satu senyum beribu makna. Itu yang ku takutkan dari seorang wanita. Justeru karena senyuman suatu apapun bisa terjadi tak terkecuali pada pengalaman yang membawaku mengarungi dimensi yang berbeda.
Ini ceritaku, di tempat umum. Tempat yang tak pernah sepi dengan wanita berbaju kurung, ya,,,hampir semua wanita yang kujumpai di sini berbaju kurung. Tak tua, tak muda, semua menampakkan kesan romansa ala Malaya. Yups, di toko tempatku menjual tudung-tudung khas negeri jiran itu.
Aku yang kebetulan kerja sambilan menjualkan tudung-tudung milik mak cik Saleha, sudah terbiasa dengan suasana itu. Sikapku yang terkadang terlalu percaya diri ini membuatku tak kalah lincah dengan penjual lain yang kebanyakan perempuan, apalagi menghadapi pertanyaan pelanggan yang kebetulan didominasi juga oleh kaum hawa. Hingga ku dapati seorang yang mengalihkan perhatian mataku secara tak biasa. Ia datang sambil membawa tudung yang akan ia beli. Aku sapa ia dengan senyum khas seorang penjual kepada pelanggan. Ia membalas dengan senyum yang menawan;
“ mmm,,,,ade tak tudong macem ni yang saiznya besar sikit “.
“ aduuuh, nampaknya tak ade lah kak. Adepun saiz yang macam akak nak, tapi beza warna lah,,”
“ alahhhh, saye nak cari yang waran macem nie,,,, “
“ macem mane kalo akak bagi saye no, talipon, biar kalo ade saye booking buat akak?“.
“ oke lah,,,,,!“. ia setuju dengan usulku.
Pertemuanku dengan dirinya tak kusia-saikan. Gadis itu tak seperti kebanyakan gadis yang ku temui di toko ini. Senyumnya telah menawan hatiku. Sekarang betapa aku sadar, senyum wanita bisa lebih berbahaya dari sekelompok penyamun sekalipun, setidaknya itulah yang aku tafsiri dari pertemuan dengan Alya Faresya. Bukan hanya itu, parfumnya yang khas juga melekat di memoriku. Khas persis seperti harumnya bunga kamboja.
Aku sendiri sempat tertawa dalam hening, saat ia pertamakali datang dan bertanya perihal tudung itu,“ hahahaha,,,,,,baunya kok kayak bunga-bunga di kuburan ya….!. Lucu sekali “. Mataku yang saat itu tak dapat menahan untuk tidak mencuri-curi pandang darinya, lagi bau parfum seperti bunga kamboja menimbulkan perasaan tanya, parfum merek apa kiranya yang dipakai oleh wanita ini hingga sebegitu mirip dengan bau-bau bunga yang biasa tumbuh dipekuburan itu.
Setelah kudapatkan nomor telponnya, hubungan yang semula sekedar hubungan bisnis kini merambah menjadi hubungan yang lebih khusus. Jual beli pertanyaan menjadi wajar hingga aku merasa perlu mengatakan isi hatiku yang sebenanya pada Alya.
Pada hari yang ke 40 pertemuanku dengannya ku ungkapkan maksud hatiku. Dan ia menerimaku. Ini sungguh di luar dugaan. Betapa tidak, aku perkenalan singkat itu kini telah menjadi jalinan kasih antara aku dan dirinya. Dalam waktu 40 hari saja aku sudah dapat meresmikian setatus hubungan kami.
Pada suatu malam ia mengundangku datang ke rumahnya. Aku sendiri belum mengetahui seperti apa rumahnya. Rasa penasaranku semakin menjadi, pasalnya kami hanya sering ketemuan di toko tempatku biasa bekerja. Tak terbersit sedikitpun keinginan untuk datang berkunjung ke rumahnya. Cukup bagiku berpacaran hanya sebatas kenal mengenal, tak sampai sejauh itu. Sampai meski datang dan berkenalan dengan orang tua atau sanak famili. Toh aku juga belum kepikiran sampai ke jenjang pernikahan. Aku masih ingin belajar, dan merasai pengalaman-pengalaman hidup.
Bunyi sms masuk, atas nama Alya Faresya;
Datang alamat; jl, dato nazir lot. 1762/5
Aku tersenyum memandangi alamat singkat yang ia berikan malalui pesan singkat itu. Handphone ku tutup dengan sejuta perasaan bahagia. Tak kira, akhirnya aku juga harus datang menemui orang tuanya. Apa mungkin memang jodohku di sini, di bumi rantau nan jauh di mato ini. Sikap lebayku mengiringi ungkapan bahagia yang meletup-letup, demi soerang wanita beraroma khas bunga kamboja itu.
Tertanggal, 15 maret. Di malam yang penuh dengan rasa penasaran, bercampur aduk, antara deg-degan, dan bahagia, entah apa jadinya nanti. Kolaborasi tiga rasa yang penuh sensasi itu. yaa, itulah resiko asmara, selalu memberi warna dalam hidup kita sebagai manusia. Aku langsung tancap gas motor Honda bebek ex-700 ku. Honda lawas yang senantiasa menemani hari-hariku berangkat ke tempat kerja, dan kini harus merasa bangga, saat hati yang mengendarainya kian berbunga-bunga menuju tempat gadis bunga kamboja itu.
Jalanan malam yang sepi sudah membuatku terbiasa dengan situasi negeri Malaya. Hanya segerombolan pohon-pohon sawit yang mendominasi pemandangan hampir di sepanjang jalanan. Rumah-rumah, dan beberapa bangunan kedai-kedai makan acap kali menyapa dengan lampu hias berwarna-warni. Pikiranku malayang, mulai membayang-bayang suatu saat kiranya ada modal lebih, aku akan membuka rumah makan. budaya konsumtif masyarakat di sini membuat bisnis kuliner sepertinya menjanjikan profit yang cukup menggiurkan.
Lamunanku yang berlebihan membuatku hampir tertabrak. Van warna putih dari arah berlawanan, dengan laju yang tinggi tak ubahnya seperti sambaran kilat. Untung reflekku membuat semuanya baik-baik saja. Aku sempat menghindar walau akhirnya jatuh juga menabrak pembatas jalan. Dari situ aku sadar begitu bahayanya berkendara dengan pikiran yang tak jelas melayang-layang, memikirkan ini itu yang tak semestinya. Nasib baik juga si sopir van putih itu tak turun melempar makian dan cacian, sebab aku juga yang salah, terlalu berkendara ke sebekah kanan. Orang yang datang dari arah berlawanan pun jadi bingung, mau menghindar ke mana.
Jarak tempuh yang cukup jauh mengingatkanku. Harus cepat, tak boleh lagi melamun atau membuang-buang waktu. Batinku berkata, ‘ Alya mungkin sudah menungguku, aku harus cepat’. Meski harus tanya sana-tanya sini, akhirnya sampai juga pada alamat yang di maksud. Keberadaanku yang tak cukup lama, lagi pekerjaanku sebagai penjual tudung dikedai mak cik Saleha membuatku kurang begitu mengenal wilayah yang sebenarnya tak sebegitu besar dibandingkan dengan pulau jawa atau sumatera ini.
Rumah itu begitu terang di antara rumah-rumah lain disekitarnya, membuatnya seperti purnama di antara para bintang yang menghiasi langit malam. Tampak Alya sudah menantikanku dengan pakaian khas ala negeri ini, baju kurung. Ia tampak cantik mempesona, luar biasa.
“ besar juga rumahnya..! “. Kataku, sekilas melihat gerbang otomatisnya, 2 pilar besarnya menyambut bak 2 penjaga yang senantiasa berdiri pongah. Rumah dengan gaya ala kuil romawi itu menggambarkan selera seni yang tinggi oleh pendirinya. Gemerlap lampu di sana sini mencitrakan betapa sang pemilik seorang aristokrat.
Para tamu sudah datang dengan bingkisannya masing-masing. Semua tampak rapi, dan tentunya tak kalah mewah kendaraannya dibandingkan diriku yang hanya dengan Honda ex-700. Aku malu, sejujurnya aku memang malu. Aku merasa seperti seorang papa yang tersesat dalam jamuan para raja. Tapi lagi-lagi rasa percaya diriku menang atas semua itu. toh kalau Alya sudah memilihku sebagai pacarnya, terntu ia sudi menerima kekuranganku apa adanya, pekerjaanku, setatus sosialku, bahkan Honda ex-700ku.
Di acara ulang tahunnya yang ke 21 ini, aku hanya membawakan sebuah tudung yang ia pernah inginkan. Tudung warna pink itu aku bungkus dengan sederhana. Semoga itu menjadi bingkisan yang terindah baginya, walau nilainya tak seberapa dibanding dengan kado-kado pemberian para tamu yang hadir saat itu.
Tak lama kemudian acara yang dinanti-nanti di mulai. Peniupan lilin ulang tahun menjadi moment yang semakin dinanti-nanti. Aku ikut larut dalam kebahagiaan malam itu. semua berjalan dengan lancar hingga aku memilih keluar menyendiri dari kebisingan para tamu lain. Alya mengikutiku.
“ malam yang panjang,,,”. Gumamku padanya
“ apa,,?, ooo,,,iya,,,”. Katanya sambil membawakan kue untukku
“ sejujurnya Al, aku nggak pernah nyangka bisa datang ke rumahmu. Tapi, dari awal aku kok nggak lihat orang taumu ya,,,?”.
“ mereka nggk bisa datang. Masih ada urusan di luar negeri “. Tiba-tiba raut wajah yang semula bahagia berubah sedih. Aku paham perasaannya, bahkan merasakan juga saat aku merayakan kelulusanku, ulang tahunku, atau momen-momen penting lain tanpa orang tua di sisiku. Karena orang tuaku sudah lama tiada saat aku lulus dari bangku sekolah dasar.
Aku mencoba menghiburnya, dengan sedikit gombalan dan rayuan tentunya. Membuat ia tersenyum kembali rasanya menenangkan hatiku. Aku sadar biarpun ini hanya refleksi dari perasaan jatuh cinta, namun aku tetap menikmatinya. Menikmati senda gurau, rayuan gombal, dan percakapan di antara kita yang semakin larut dengan larutnya malam. Hingga perbincangan itu sampai pada titik di mana aku dan Alya tak lagi melempar tanya dan jawab. Rasa kantukku juga sudah mulai tak dapat ditahan. Sejurus kemudian aku tertidur disaksinkan malam yang penuh bintang di bawah teras rumah megah bergaya kuil romawi itu. semua tampak indah, hariku dan juga malamku, ditemani gadis bunga kamboja ini.
Lampu-lampu terang membuatku silau, tangan dan kakiku penuh dengan perban dari luka-luka, tangan kananku terasa sangat sakit hendak ku gerakkan. Aku tak yakin kalau sekarang tegah berada di rumah sakit. Terakhir ku ingat bayang-bayang gadis buanga kamboja yang sedang menemaniku di teras rumahnya. Tapi kenapa aku sekarang tiba-tiba di atas ranjang dengan badan yang penuh luka begini. Malahan wajah Anwar teman kos-kosanku yang muncul. Senyumnya lega dan lepas melihatku tak ubahnya seperti melihat diriku yang baru bangun dari kematian
“ Anwar, ini di mana…? “. Tanyaku penuh keheranan. Suaraku yang parau dan terasa berat membuatku urung bertanya lebih dari itu.
“ bro,,,,! Alhamdulillah nte dah siuman. Nte tu dah hampir seminggu koma setelah ditabrak mobil van. Yaa,,,untunglah, segala pengobatanmu itu dah ditanggung sama pak cik yang nabrak nte. Tapi motor nte tu setidaknya dah rusak parah sih ,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,“.
Aku terhenyak kaget, bukan lagi tentang motor Honda ex-700ku yang rusak parah. Tapi lebih kepada apa yang sebenarnya telah terjadi. Pesta ulang tahun, Alya si gadis bunga kamboja, rumah megah bergaya ala kuil romawi, dan malam yang kulalui dengan itu semua. Semua tiba-tiba berputar dalam benakku, berputar-putar kembali kepada kejadian sebelum itu semua. Tepatnya saat mobil van berwarna putih itu melaju kencang seperti kilat. Mungkin semua berasal dari situ, kemudian menyisakan sejuta misteri.
seminggu berlalu semenjak siuman, aku mulai membaik. Luka-lukaku yang sudah mulai mengering, dan kini hanya tinggal menunggu kesembuhan lenganku yang patah. Semenjak itu juga, Nomor telepon Alya pun tak dapat dihubungi. Tiap kali kucoba, selalu gagal. Seperti tak terdaftar, atau bahkan memang tidak pernah ada. Ceritaku yang aneh itu mulai banyak yang tahu setelah kuceritakan semuanya kepada Anwar. Mulai dari wartawan korang hingga beberapa setasiun tivi mendatangiku meminta keterangan menditail mengenai pengalamanku itu. aku hanya bisa berharap, siapa tahu dari itu semua akan ada titik terang bagaimana sebenarnya kisah itu bermula dan siapa sebenarnya Alya Faresya.
setelah dibolehkan kembali ke kos-kosan, pemandangan bilik kamarku yang hampir sebulan kutinggal terasa berdebu, membuat setiap mata yang memandang terasa rishi.Tidak hanya itu, buku-bukuku yang bercecer, membawaku pada ingatan terakhir aku masuk kuliah. Entah apa saja kejadian yang kulewatkan di tempat belajarku itu selama aku terbaring di rumah sakit. Semua membuatku rindu untuk lekas memulai kehidupan sebagaimana aku yang dulu, sabtu minggu belajar, senin-jum’at bekerja di kedai tudung milik mak cik Saleha. Namun sepertinya aku harus menahan diri dengan semua itu hingga lengan kananku ini sembuh total.
“ assalamu alaikum…”. Seorang lelaki paruh baya datang dengan perempuan yang nampak seperti istrinya. Keduanya begitu serasi walau tampang mudanya telah dimakan usia. Aku persilahkan keduanya masuk.
“ wa alaikum salam, yaa,,,,mari silakan masuk “. Ku sapa dengan senyum ramah
Tak lama kami berbasa-basi, ternyata kedua orang ini adalah orang tua Alya si gadis bunga kamboja itu. mereka mengetahui ceritaku dari berita yang tersebar melalui beberapa media masa. aku cetitakan semula pertemuanku dengannyan, nomor telepon yang ia berikan, berapa lama kami sudah saling mengenal, hingga malam ulang tahunnya. Keduanya pun tampak tak dapat mempercayai apa yang kuceritakan. Ini bahkan semakin aneh ketika mereka mengatakan sebenarnya Alya sudah meninggal setahun yang lalu. Tepatnya tanggal 15 maret 2013, saat hendak membeli tudung untuk perayaan ulang tahunnya. Kecelakaan tunggal merenggut nyawanya, tepat sebelum perayaan ulang tahunnya yang ke 20.
Bulu kudukku meremang. Jelas sudah apa yang telah terjadi. Tapi, walau bagaimanapun aku tetap merindui senyumnya yang menawan hati, percakapan di toko mak cik Saleha saat pertama kali bertemu, memori-memori indah saat kita bersama, dan lagi malam perayaan yang seakan fatamorgana itu. perasan itu bercampur baur antara merinding, aneh, kaget, serta merindui. Aku tak habis pikir akan ada hal semacam ini di zaman postmodern seperti sekarang ini.
aku memang sebelumnya tak percaya kalau ia telah tiada, hingga aku benar-benar melihat pusaranya yang berada di bawah pohon bunga kamboja. Tumbuh rindang memayungi makamnya, memberi aroma yang familiar dan selalu menarikku dalam momen-momen perjuampaan kita pertama kali. Tak sangka, begitu tragis kematiannya, hingga membawaku dalam duka. Tak sadar air mataku meleleh, menetes di pusaranya. Aku hanya berucap;
“ Tak sangka betapa tragis maut menjemputmu. Trimakasih telah bersedia mampir di kehidupanku ini. Mungkin hanya dengan ini saja aku dapat membalasnya. Dan semoga kau tenang di alam sana”. Ku tinggalkan tudung yang pernah ia pinta dulu, dengan sepucuk surat menemani tudung warna pink itu.
Alya Faresya
Siapa dikau sebenarnya
Siapa dikau wahai bunga kamboja
Senyummu menawan jiwa
Membawaku dalam sepenggal cerita
Aku hanyut, kemana kau hendak membawa
Tapi biarlah, yang ku tahu hanya bahagia
Aku cinta kau pun cinta
Walau Ridho tuhan tak bersama
Biarkan cinta apa adanya
Karena memang dunia kita berbeda
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H