Gadis berinisial WA akhirnya bisa bernafas lega sesudah ia diputuskan bebas oleh Pengadilan Tinggi kota Jambi. Seperti diketahui, wanita berumur 15 tahun itu dijatuhi hukuman penjara karena melakukan aborsi, yang tidak lain akibat perbuatan kakak kandungnya sendiri, AA, yang memperkosanya sampai delapan kali.
Pengadilan Tinggi Jambi menjatuhkan hukuman tujuh tahun penjara kepada AA, sedang WA sendiri divonis hukuman penjara selama satu tahun. Kasus itu sempat menebar ke ranah global.
Pada Senin, 27 Agustus 2018, WA akhirnya dapat bebas dari vonis itu. Sebelumnya, banyak aktivis, perlindungan anak dan HAM yang mencela kasus itu.
Banyak kalangan yang mencela putusan yang dijatuhkan kepada wanita itu. Sebab remaja tersebut adalah korban dari tindakan ternoda dari kakaknya sendiri. Putusan bebas WA dari hukuman diberikan setelah WA dan pengacaranya Damai Idianto mengajukan banding.
Remaja itu ditahan karena tindak aborsi, menggugurkan bayi laki-laki yang ditemukan dalam kondisi yang mengenaskan di sebuah perkebunan kelapa sawit di desa Pulau, Jambi
Di pasal 75 ayat 2b UU Kesehatan tahun 2009 dinyatakan bahwa seorang wanita yang menggugurkan kandungannya karena korban perkosaan yang berakibat timbul trauma psikologis, dikecualikan dari hukuman pidana.
"WA melakukan aborsi karena terpaksa" Â kata juru bicara Pengadilan Tinggi Jambi, Hasoloan Sianturi.
Sementara Anggara, Executive Director Institute for Criminal Justice Reform memberikan apresiasi tinggi untuk Pengadilan Tinggi Jambi dalam keputusan itu, karena Majelis Hakim pada soal tersebut dinilai berani membuat putusan yang sesuai dengan ketentuan hukum pidana yang ada di Indonesia. Ketentuan "daya paksa" itu diatur dalam pasal 48 KUHP yang isinya "barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana".
IJCR (Institute of Criminal Justice Reform) menilai ada ketelitian dari Majelis Hakim dalam melihat kondisi korban.
"Hal ini sesuai dengan amicus ccuriae, pentingnya melihat pengaruh daya paksa seperti tercantum dalam pasal 48 KUHP" jelas Anggara, Selasa (28/8).
Menurut IJCR lagi, pasal 48 KUHP dapat dijadikan landmark decision bagi penegakan hukum dan peradilan di Indonesia. Korban kerap dipandang tidak seimbang untuk wanita dan kasus seperti aborsi.