Mohon tunggu...
Rudy W
Rudy W Mohon Tunggu... Karyawan -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

rindu tak berujung rasa

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Kasus WA, Lampu Kuning untuk Penegakan Hukum

29 Agustus 2018   11:50 Diperbarui: 29 Agustus 2018   12:18 646
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
nasional.kompas.com

Gadis berinisial WA akhirnya bisa bernafas lega sesudah ia diputuskan bebas oleh Pengadilan Tinggi kota Jambi. Seperti diketahui, wanita berumur 15 tahun itu dijatuhi hukuman penjara karena melakukan aborsi, yang tidak lain akibat perbuatan kakak kandungnya sendiri, AA, yang memperkosanya sampai delapan kali.

Pengadilan Tinggi Jambi menjatuhkan hukuman tujuh tahun penjara kepada AA, sedang WA sendiri divonis hukuman penjara selama satu tahun. Kasus itu sempat menebar ke ranah global.

Pada Senin, 27 Agustus 2018, WA akhirnya dapat bebas dari vonis itu. Sebelumnya, banyak aktivis, perlindungan anak dan HAM yang mencela kasus itu.

Banyak kalangan yang mencela putusan yang dijatuhkan kepada wanita itu. Sebab remaja tersebut adalah korban dari tindakan ternoda dari kakaknya sendiri. Putusan bebas WA dari hukuman diberikan setelah WA dan pengacaranya Damai Idianto mengajukan banding.

Remaja itu ditahan karena tindak aborsi, menggugurkan bayi laki-laki yang ditemukan dalam kondisi yang mengenaskan di sebuah perkebunan kelapa sawit di desa Pulau, Jambi

Di pasal 75 ayat 2b UU Kesehatan tahun 2009 dinyatakan bahwa seorang wanita yang menggugurkan kandungannya karena korban perkosaan yang berakibat timbul trauma psikologis, dikecualikan dari hukuman pidana.

"WA melakukan aborsi karena terpaksa"  kata juru bicara Pengadilan Tinggi Jambi, Hasoloan Sianturi.

Sementara Anggara, Executive Director Institute for Criminal Justice Reform memberikan apresiasi tinggi untuk Pengadilan Tinggi Jambi dalam keputusan itu, karena Majelis Hakim pada soal tersebut dinilai berani membuat putusan yang sesuai dengan ketentuan hukum pidana yang ada di Indonesia. Ketentuan "daya paksa" itu diatur dalam pasal 48 KUHP yang isinya "barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana".

IJCR (Institute of Criminal Justice Reform) menilai ada ketelitian dari Majelis Hakim dalam melihat kondisi korban.

"Hal ini sesuai dengan amicus ccuriae, pentingnya melihat pengaruh daya paksa seperti tercantum dalam pasal 48 KUHP" jelas Anggara, Selasa (28/8).

Menurut IJCR lagi, pasal 48 KUHP dapat dijadikan landmark decision bagi penegakan hukum dan peradilan di Indonesia. Korban kerap dipandang tidak seimbang untuk wanita dan kasus seperti aborsi.

Hukum tidak dapat dilihat secara hitam putih. Korban yang dituduh melakukan tindak pidana harus dilakukan dengan teliti.

"Harus menjamin rasa keadilan, apalagi korban yang melakukan tindak pidana karena terpaksa" kata Anggara.

IJCR juga mengharapkan ada perubahan perspektif untuk penegak hukum, terutama polisi dan jaksa dalam penanganan kasus perempuan dan anak.

Dari perkara ini harus ditandai kewaspadaan tentang pedoman mengadili perempuan yang berhadapan dengan hukum, belum terimplementasi dengan baik.

Kasus ini juga merupakan lampu kuning untuk perkembangan hukum, karena terlihat Hakim, Jaksa dan Polisi belum fasih melihat ketentuan KUHP khususnya pasal 48 KUHP.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun