Protes Meliana perihal volume adzan pula dikatakan sebagai pemicu kericuhan berwarna SARA di Tanjung Balai.
Dalam tuduhan jaksa penuntut umum, melansir dari Kantor Berita Radio (KBR), suami dari Meliana, Lian Tui, sudah memohon maaf ke pihak mesjid Al Makhsum setelah beberapa orang bereaksi negatif atas protes volume adzan.
Tapi kemarahan massa pada Juli 2016 itu jebol. Massa selain melempari rumah suami-istri itu dengan batu, namun pula merusak dan membakar kelenteng dan vihara.
Bagi Erwan Effendi, salah seorang anggota Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Sumatera Utara, vonis 1,5 tahun buat Meliana tidak sebanding dengan kerusuhan yang terlanjur pecah.
Menurut Effendi, putusan tersebut tidak akan membuat jera. Erwan memperkirakan, penodaan agama bisa muncul lagi di Tanjung Balai.
"Ternyata hukumannya cuma 18 bulan, putusan yang mengecewakan. Harus berat supaya jera," papar Erwan.
Sementara, peneliti Wahid Foundation, Alamsyah Jafar, delik penistaan agama yang tercantum di pasal 156a KUHP sebaiknya tidak lagi digunakan.
Ia mengatakan setiap umat beragama mesti toleran kepada berbagai perbedaan.
"Tidak setiap hal yang melukai perasaan orang lain mesti dipidanakan. Yang terbaik adalah berdialog" katanya.
Pemuka agama berperan penting guna mengkampanyekan dialog.Â
Persatuan Gereja-gereja di Indonesia, Muhammadiyah, NU dan organisasi yang lain mesti memberikan keyakinan bahwa mereka tak khawatir bakal menjadi korban penistaan agama.