Mohon tunggu...
Rudy W
Rudy W Mohon Tunggu... Karyawan -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

rindu tak berujung rasa

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Vonis untuk Meliana Mengusik Rasa Keadilan

25 Agustus 2018   04:44 Diperbarui: 25 Agustus 2018   05:46 1267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Vonis penjara 18 bulan yang dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Negeri Medan kepada Meliana, wanita yang mengeluhkan speaker mesjid adzan di Tanjung Balai, Sumut, dianggap berlebihan oleh sejumlah kalangan.

Pasalnya, sejumlah pelaku penyerangan umat beragama hingga pembakaran rumah ibadah kerap divonis yang lebih ringan, bahkan bebas.

Tapi perwakilan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Sumatera Utara menilai wanita itu semestinya dijatuhi hukuman yang lebih berat.

Meliana dituduh sebagai pemicu perusakan massal kepada sejumlah vihara dan kelenteng di kota tersebut pada 2016.

Adalah Peneliti Pusat Studi Agama dan Demokrasi Universitas Paramadina, Sadiman Ahmad, menyebutkan putusan PN kepada wanita itu mengusik rasa keadilan.

Sadiman menilai, ketimbang kasus lain, tafsir penistaan agama tersebut longgar, tak tahu ukuran pasti.

"Kasus pembunuhan seperti di Cikeusik dan Sampang, penyerangan, dan pembakaran rumah ibadah, jelas-jelas merugikan orang," tutur Sadiman (Rabu, 22/8).

Kasus Cikeusik (2011) dan Sampang (2012 dan 2018) adalah kejadian yang menimpa Jemaah Ahmadiyah Indonesia. Sebagian dari pemeluk Jemaah tewas pada peristiwa ini.

Tiga pelaku pembunuhan kasus Cikeusik dijatuhi hukuman tiga sampai enam bulan penjara. Sementara pelaku penggerak kericuhan di Sampang dibebaskan dari semua tuduhan.

Adapun, sebelumnya tujuh pelaku pembakaran dan perusak kelenteng dan vihara di Tanjung Balai di 2016 divonis satu sampai lima bulan penjara.

Putusan untuk Meliana diketok pada 21 Agustus 2018. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Medan yang diketuai Wahyu Prasetyo Wibowo , mengatakan wanita etnis Cina itu terbukti menodai agama Islam.

Protes Meliana perihal volume adzan pula dikatakan sebagai pemicu kericuhan berwarna SARA di Tanjung Balai.

Dalam tuduhan jaksa penuntut umum, melansir dari Kantor Berita Radio (KBR), suami dari Meliana, Lian Tui, sudah memohon maaf ke pihak mesjid Al Makhsum setelah beberapa orang bereaksi negatif atas protes volume adzan.

Tapi kemarahan massa pada Juli 2016 itu jebol. Massa selain melempari rumah suami-istri itu dengan batu, namun pula merusak dan membakar kelenteng dan vihara.

Bagi Erwan Effendi, salah seorang anggota Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Sumatera Utara, vonis 1,5 tahun buat Meliana tidak sebanding dengan kerusuhan yang terlanjur pecah.

Menurut Effendi, putusan tersebut tidak akan membuat jera. Erwan memperkirakan, penodaan agama bisa muncul lagi di Tanjung Balai.

"Ternyata hukumannya cuma 18 bulan, putusan yang mengecewakan. Harus berat supaya jera," papar Erwan.

Sementara, peneliti Wahid Foundation, Alamsyah Jafar, delik penistaan agama yang tercantum di pasal 156a KUHP sebaiknya tidak lagi digunakan.

Ia mengatakan setiap umat beragama mesti toleran kepada berbagai perbedaan.

"Tidak setiap hal yang melukai perasaan orang lain mesti dipidanakan. Yang terbaik adalah berdialog" katanya.

Pemuka agama berperan penting guna mengkampanyekan dialog. 

Persatuan Gereja-gereja di Indonesia, Muhammadiyah, NU dan organisasi yang lain mesti memberikan keyakinan bahwa mereka tak khawatir bakal menjadi korban penistaan agama.

Tanjung Balai, empat jam perjalanan dari Medan merupakan rumah untuk berbagai etnis: Cina, Nias, Batak, Sunda, Jawa, Melayu.

Tanjung Balai memiliki minoritas Buddha, sebagian mereka adalah keturunan pedagang serta pengrajin dari Tiongkok.

Selain kasus Meliana, pembangunan patung Buddha di vihara Tri Ratna sempat memunculkan reaksi keras para pemimpin organisasi Islam di sana pada 2011.

Protes dan demo digelar agar patung Buddha tersebut diturunkan. Patung itu telah mencoreng Tanjung Balai sebagai kota Islam.

Setara Institut, sebuah lembaga pemantau HAM di Jakarta mencatat, periode tahun 1967 sampai 2017 ada 97 kasus penodaan agama di Indonesia.

Terakhir yang dijerat penodaan agama adalah Abraham Ben Moses. Pengadilan Negeri Tangerang menyatakan ia bersalah menodai agama Muslim lewat Facebook dan YouTube.

Bulan Mei lalu, Abraham divonis empat tahun penjara serta denda Rp 50 juta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun