Dalam ranah ketatanegaraan Indonesia, peran pengawasan terhadap hakim memiliki posisi yang krusial untuk menjaga integritas serta kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan di Indonesia, bukan? Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai lembaga yang memutus perkara di tingkat tertinggi dalam ranah konstitusi, juga diawasi agar para hakimnya menjalankan tugas dengan profesionalisme dan menjunjung tinggi etika. Namun, ternyata terdapat dua lembaga yang berperan dalam pengawasan etika terhadap hakim konstitusi, yaitu Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) dan Komisi Yudisial (KY). Pembagian tugas antara MKMK dan KY ini akhirnya telah menimbulkan berbagai polemik mengenai kekhawatiran atau bahkan potensi akan timbulnya benturan fungsi, terutama dalam melakukan pengawasan etik terhadap hakim konstitusi. Maka dari itu, dalam artikel ini, penulis akan mengulas mengenai bagaimana pada akhirnya benturan fungsi tersebut dapat muncul hingga tipping pointnya.
Tugas dan Wewenang MKMK
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) dibentuk secara khusus untuk menangani masalah etika hakim konstitusi. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Mahkamah Konstitusi, MKMK memiliki tugas utama menjaga disiplin, kehormatan, dan kode etik hakim konstitusi. MKMK memiliki kewenangan penuh untuk memeriksa dugaan pelanggaran etika oleh hakim konstitusi dan, jika terbukti bersalah, memberikan sanksi yang proporsional.
Keunggulan MKMK terletak pada pemahamannya yang mendalam mengenai tugas-tugas dan fungsi Mahkamah Konstitusi. Karena bekerja dalam lingkup konstitusional, MKMK memiliki perspektif yang lebih komprehensif terhadap perilaku hakim konstitusi dalam menjalankan tugasnya. Oleh karena itu, pengawasan yang dilakukan MKMK dianggap lebih sesuai dengan karakteristik dan tanggung jawab para hakim di MK.
Tugas dan Wewenang KY
Di sisi lain, KY adalah lembaga negara yang dibentuk berdasarkan amanat reformasi dengan tujuan memperkuat pengawasan terhadap etika dan perilaku hakim. KY diatur oleh Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 dan memiliki kewenangan melakukan pengawasan terhadap seluruh hakim di Indonesia, termasuk hakim konstitusi. Dalam pelaksanaannya, KY dapat melakukan pemeriksaan dan memberikan rekomendasi terkait dugaan pelanggaran etika hakim kepada lembaga peradilan atau presiden.
Peran KY lebih luas dibandingkan MKMK karena mencakup pengawasan seluruh hakim di Indonesia, tidak terbatas pada hakim konstitusi. KY bertugas menjaga martabat dan kehormatan seluruh badan peradilan melalui pengawasan eksternal, sehingga diharapkan mampu memberikan sudut pandang independen terkait pelanggaran etika yang dilakukan oleh para hakim.
Potensi Benturan Fungsi antara MKMK dan KY
Potensi benturan fungsi antara MKMK dan KY muncul karena keduanya memiliki tugas serupa, yakni mengawasi dan menegakkan kode etik hakim, meskipun dengan fokus yang berbeda. MKMK berfokus pada hakim konstitusi, sementara KY mengawasi seluruh hakim, termasuk hakim konstitusi. Namun, karena hakim konstitusi juga berada dalam lingkup pengawasan KY, potensi benturan kewenangan menjadi tidak terhindarkan.
Salah satu contoh potensi benturan yang dapat terjadi adalah ketika terdapat dugaan pelanggaran etika oleh hakim konstitusi. Baik MKMK maupun KY dapat memiliki otoritas untuk melakukan pemeriksaan terhadap kasus tersebut. Jika KY memberikan rekomendasi sanksi, sementara MKMK memiliki pandangan yang berbeda dan mengambil keputusan yang bertentangan, maka akan timbul ketidakpastian mengenai lembaga mana yang berwenang. Hal ini dapat mengurangi kepercayaan publik terhadap kedua lembaga dan menimbulkan ketidakpastian hukum.
Benturan kewenangan ini juga dapat berdampak negatif terhadap independensi hakim konstitusi. Jika KY memiliki wewenang yang lebih besar dalam memeriksa pelanggaran etika hakim konstitusi, ada kekhawatiran bahwa pengawasan eksternal dapat memengaruhi kebebasan hakim dalam membuat keputusan konstitusional. Di sisi lain, pengawasan internal oleh MKMK juga dapat dipandang tidak sepenuhnya independen, mengingat MKMK berada dalam lingkup Mahkamah Konstitusi, yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.