Mohon tunggu...
Moh. Ashari Mardjoeki
Moh. Ashari Mardjoeki Mohon Tunggu... Freelancer - Senang baca dan tulis

Memelajari tentang berketuhanan yang nyata. Berfikir pada ruang hakiki dan realitas kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Gerilya Politik Bukan Makar, Kepung Presiden Jokowi

7 September 2018   17:07 Diperbarui: 7 September 2018   17:43 826
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

REVOLUSI SPIRITUAL

Gerpol, usaha jatuhkan pemerintah

Mau tidak mau harus diakui bahwa Presiden Jokowi harus mengalami hal yang sama seperti Bung Karno. Keduanya memerintah dalam kepungan gerpol parpol-parpol dan ormas yang ingin segera menjatuhkannya dengan segala cara.

Perbedaannya. Bung Karno ingin dijatuhkan karena ideologi dan juga karena ada kepentingan kekuatan dari luar yang berebut mempengaruhinya.

Sedang Presiden Jokowi ingin dijatuhkan oleh sisa-sisa orba yang tidak mau disingkirkan begitu saja. Juga oleh para mafia dan para pengkhianat negara yang terdiri dari para pengemplang pajak dan para penjual aset negara yang tidak mau kehilangan "lahan" tempat mendulang harta rakyat Indonesia yang sangat berharga dan melimpah.

Presiden Jokowi juga ingin dijatuhkan oleh kaum---barisan, sakit hati yang frustrasi. Yaitu oleh mereka yang merasa jadi tokoh pejuang reformasi 1998, tetapi sama sekali tidak "dilirik" oleh Presiden Jokowi. 

Orba dan bahaya laten nekolim  

Bisa jadi mereka yang masih bermental orba, para mafia, para pengkhianat negara, para pengemplang pajak dan para penjual aset negara itulah yang dulu mungkin disebut sebagai "nekolim" oleh Bung Karno.

Nekolim itulah yang paling layak disebut sebagai bahaya laten negara yang sesungguhnya.  Umat beragama di Indonesia mutlak harus menempatkan nekolim identik dengan  dajal yang akan selalu menggerogoti NKRI dari dalam dan dari luar.

Pada zaman Now, nekolim dan dajal tidak perlu dimusuhi atau dilawan oleh Bangsa Indonesia. Melainkan harus dikenali gerak-geriknya dan  kemudian cukup hanya dilumpuhkan.

Negara-negara saling bergantung.

Di zaman Now. Bangsa Indonesia sungguh patut sangat bahagia dan bersyukur.  Meskipun  banyak kapal pencuri ikan dari negara tetangga dan negara sahabat ditenggelamkan.  Ternyata semua negara tetap bergairah meningkatkan wujud persahabatan dengan RI.

Semua negara seperti maklum dan harus menerima bahwa berbagai krisis yang melanda banyak negara termasuk Indonesia adalah hal yang biasa dan alami.  Karena semua negara sesungguhnya tidak bisa hidup mandiri terpisah sendirian dengan negara lain. 

Dalam realita semua negara mutlak harus hidup saling mempengaruhi dan saling bergantung. Sengketa dua negara atau dalam satu negeri pun seringkali butuh melibatkan negara tetangga yang lain untuk menyelesaikannya.

Kesadaran bernegara ada di kampus

Masih sangat mungkin seorang presiden RI ingin dijatuhkan pihak tertentu. Karena para akademisi yang luar biasa cerdas di negeri ini ternyata masih belum juga mengerti cara memakai Pancasila sebagai dasar penyelenggaraan negara.

Harus disadari, diakui, diterima dan dijaga bahwa seorang presiden NKRI yang berdasarnegara Pancasila tidak boleh diganti atau dijatuhkan dengan presiden lain atau oleh Capres yang lain.

Gaduh riuh #2019GantiPresiden menunjukkan ada semangat bernegara yang rusak dan rendah di negeri ini. Golongan faham sesat bernegara di NKRI seolah-olah menyampaikan pesan bahwa Presiden boleh diganti dan kalau perlu mungkin harus dijatuhkan. Sungguh pandangan sesat dan memprihatinkan.

Hal memprihatinkan diperlihatkan pula oleh ulah beberapa parpol dan elit politik yang terkesan bahwa dalam bernegara mereka hanya sibuk membuat siasat  untuk mendapatkan porsi kekuasaan yang besar.

Yang menyedihkan, para pakar dan ahli tata negara, hukum, politik dan juga para negarawan di negeri ini tampak hanya sibuk berdebat dan pamer pendapat pribadi yang tidak teruji dengan kebenaran-kebenaran yang ada dalam Pancasila.

Sedang para ulama yang selayaknya menjadi panutan seluruh rakyat ternyata bisa dibilang lebih banyak punya andil dalam memecah persatuan umat-umat dalam kesatuan bangsa. 

Penulis berpandangan. Para ulama pun berselisih pandang tentang agama. Bahkan mungkin ada yang berpandangan bahwa manusia hidup untuk kepentingan agama. Pada hal agama tidak punya kepentingan apa-apa.  Dan sungguh sangat benar pendapat yang mengatakan bahwa manusia adalah yang sangat berkepentingan dengan keberadaan agama.

Namun demikian. Realita sejarah mencatat bahwa kemurnian semangat bernegara agaknya tidak pernah beranjak dari lingkungan kampus. Tetap seperti pada awal-awal dasawarsa jauh sebelum proklamasi  kemerdekaan.   

Dari kampus-kampus itu kemudian lahirlah berbagai gerakan politik yang melahirkan partai politik yang mengakar kepada rakyat. Dan semangat bernegara yang sungguh-sungguh diperlihatkan oleh suatu bangsa dengan adanya partai politik.

Gerilya politik, makar, dan demokrasi kuno di NKRI

Menurut penulis. "Usaha menjatuhkan presiden" adalah yang pantas disebut sebagai gerilya politik.  Gerilya politik  sudah barang tentu belum berbuat yang disebut makar.  Silakan saja para pakar soal makar menjelaskan panjang lebar tentang perbuatan bodoh yang bisa dilakukan siapa saja yang berminat.

Di NKRI, baik makar maupun gerpol tidak layak dilakukan oleh pihak mana pun. Makar dan gerilya politik adalah haram dilakukan di NKRI. NKRI tidak punya musuh. Yang bisa dianggap musuh negara hanyalah "kebodohan." Terutama kebodohan bernegara.

Di NKRI yang berdasar Pancasila seorang Presiden tidak selayaknya harus diganti. Melainkan mutlak harus diangkat dengan kepastian yang berkelanjutan. Karena masa bakti seorang Presiden masih perlu harus dibatasi dengan waktu---lima tahun.

Selama ini NKRI seperti  harus diselenggarakan dengan mengikuti tradisi negara-negara yang sudah tua dan sudah berkarat menggunakan sistem demokrasi yang sudah usang.

Di NKRI,  sampai hari ini.  Demokrasi usang tetap dipuja oleh mereka para penganut faham demokrasi kebablasan.  Mereka mengaku sebagai orang yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, tetapi tidak faham hakikat demokrasi yang diamanahkan Pancasila. Maka tidak terlalu mengherankan bila orang-orang Indonesia yang demokrat sudah ngotot dengan pendiriannya meski belum teruji kebenarannya.

Gerpol zaman Bung Karno

 Dahulu. Menjelang kejatuhannya, Bung Karno pernah mengisyaratkan adanya gerilya politik untuk menjatuhkannya.

Waktu itu bentuk nyata yang dikatakan sebagai gerpol atau gerilya poitik adalah Sukarnoisme menumpas Soekarnoisme. Yaitu ada pihak yang ingin menghilangkan Soekarnoisme dengan pura-pura tampil lebih Soekarno dari pada Soekarno sendiri.

Hampir seluruh surat kabar di negeri ini setiap hari menyertakan ajaran Soekarnoisme yang diambil dari buku Dibawah Bendera Revolusi, kumpulan tulisan Bung Karno semasa perjuangan sebelum Indonesia merdeka.  Tetapi berita yang dimuat dalam surat kabar harian hanya menyampaikan polemik yang luar biasa tajam yang semakin runcing dan tampak disengaja untuk memperlihatkan kegagalan kepemimpinan Bung Karno. Dan untuk sengaja menjebloskan Bung Karno dalam ruang kekuasaan yang lumpuh.

Pada zaman Bung Karno. beberapa surat kabar yang dibredel Pemerintah melalui lembaga-lembaga yang berwenang. Mungkin karena tulisan-tulisan yang dimuat dipandang bisa membahayakan jalannya revolusi.  

Sedang terhadap teman-teman seperjuangan Bung Karno. Mereka ada yang ditahan bertahun-tahun tanpa proses di pengadilan. Entah atas perintah langsung Bung Karno? Atau atas inisiatif orang-orang berwenang yang mungkin juga sudah merasa kawatir dengan pemikiran-pemikiran cerdas yang mampu mengacaukan kebijakan-kebijakan Bung Karno?

Pemberedelan surat kabar dan penangkapan tokoh-tokoh pejuang tersebut sangat mungkin adalah bentuk-bentuk dari gerilya politik yang juga dilakukan oleh teman atau orang dekat sendiri yang berbeda pendapat dengan sepak terjang Bung Karno. Agar Bung Karno semakin terpojok dengan gaya otoriternya yang semakin tak diaggap?

Gerpol membuat Bung Karno tak berdaya berjuang sendirian

Bung Karno sangat sadar bahwa dirinya sesungguhnya tidak punya kekuatan apa-apa selain kekuatan rakyat yang tanpa disadarinya sudah terikat kuat oleh semua parpol yang ada.

Gerpol membuat semua parpol adalah lembaga-lembaga kekuatan yang nyata dan langsung berinteraksi dan mengakar di jiwa seluruh rakyat. Rakyat pada kenyataannya sudah terbagi-bagi dalam partai politik. 

Waktu itu. Dari yang banyak tertulis di surat kabar Bung Karno agaknya sangat sadar bahwa ada kekuatan-kekuatan politik yang sedang bertarung ingin menjatuhkannya. Dan juga ada yang bertarung ingin mempertahankan kepemimpinannya.

Gagasan Nasakom (Nasionalis agama dan komunis) disuarakan oleh Bung Karno untuk menyatukan rakyat bisa dikatakan mubazir.  Karena setiap parpol, kaum nekolim dan kelompok ekstrim kanan maupun kiri sudah punya kepentingan dan agenda masing-masing atas kekuasaan---NKRI.

Gerpol menjadikan Panglima Tertinggi Angkatan Perang tak berfungsi

Kedudukan sebagai Panglima tertinggi Angkatan Perang Republik Indonesia tidak ada artinya. Karena yang dihadapi Bung Karno bukan musuh dari luar. Yang memusuhi adalah bangsanya sendiri yang belum juga faham bernegara yang berdasar Pancasila. 

Bahkan Bung Karno terkesan sangat berusaha keras agar militer tidak terlibat dengan pertikaian berbahaya apa pun dengan siapa pun.  Karena Bung Karno segera melihat sosok Pak Harto dengan super-semar, tiba-tiba menjadi sosok tempat pusat kekuatan yang luar biasa dahsyat yang ditakuti oleh seluruh lembaga kekuasaan yang ada di negeri ini.

Gerpol dan usaha makar pada zaman Pak Harto.   Pak Harto menjadi satu-satunya sosok yang pernah ditakuti negara---NKRI.  Maka zaman Pak Harto tidak ada pihak yang berani melakukan gerpol.

Tindakan tegas segera menumpas sampai tidak berbekas kepada pihak manapun yang sekiranya akan melakukan gerpol benar-benar dilakukan agar tidak berdampak buruk dan cepat meluas.

Meskipun demikian pernah ada usaha makar gagal yang terjadi. Setidaknya oleh RM Sawito dengan melibatkan beberapa tokoh besar negeri ini. Antara lain melibatkan Bung Hatta, Jenderal Simatupang, Buya Hamka dan masih ada beberapa lagi yang lain.

Mungkin perbuatan makar yang dilakukan hanya bersifat coba-coba ingin membuktikan kebenaran sebuah wangsit---ilham, yang diterima RM. Sawito. Maka hanya Sawito sendiri yang dipenjara.  

Gerpol zaman Pak Habibie.   Zaman Pak Habibie agaknya tidak ada parpol yang mau melakukan gerilya politik. Karena tanpa dijatuhkan pun Presiden pasti akan segera berakhir masa baktinya.

Setiap parpol hanya berjuang menghimpun kekuatan untuk secara sah dapat ikut menerima kekuasaan yang dipegang Pak Habibie.

Gerpol zaman Gus Dur.   Zaman Gus Dur, gerpol terhadap pemerintah mulai dilakukan para elit politik yang tampak memposisikan diri sebagai "tokoh reformasi."   Gerpol dilakukan untuk "mengarahkan" MPR.  Agar bisa mengangkat dan menjatuhkan Gus Dur pada saat yang tepat.

Seperti diketahui. Pasca Presiden Habibie seluruh elit politik di negeri ini kebingungan.  Mereka seperti sangat malu, mungkin tak nyaman atau mungkin juga tak rela kalau sesudah Pak Habibie, dilanjutkan oleh Megawati putri Bung Karno yang tampil sebagai presiden.  Kelebihan Megawati dinilai mereka hanya  sebatas sebagai anak proklamator. Mereka takut Megawati akan melakukan politik balas dendam terhadap Orba dan kroni-kroninya.

Maka saat itu sempat berembus bisikan dari hati-hati yang ketakutan. "Siapa pun boleh jadi presiden, asal bukan Mega."

Maka Gus Dur tampak seperti dipaksa harus bicara akan membubarkan MPR yang seperti taman kanak-kanak.  Gus Dur terpaksa dikorbankan untuk menutupi "kehebatan" tokoh-tokoh reformasi yang tidak mau kehilangan pamor dalam memikirkan negara.

Gerpol zaman Bu Mega.   Gerpol zaman Bu Mega jelas-jelas nyata dipertontonkan kepada dunia. Setiap hari, sampai hari terakhir masa baktinya masih ada demo turunkan Mega-Hamzah hari ini juga.

Kemudian dipertontonkan pula ada gerpol dalam bentuk surat mengundurkan diri dari kabinet Megawati dengan memberi kesan telah diperlakukan sebagai menteri yang dizalimi.

Gerpol zaman Pak EsBeYe.   Zaman Pak Beye gerpol yang dilakukan partai-partai politik sama sekali tidak ada yang berniat ingin menjatuhkan Presiden. Melainkan hanya berusaha untuk bisa lebih dekat dan ikut ambil bagian sebanyak-banyaknya dalam mengelola kekuasaan yang ada ditangan Partai Demokrat---pemerintah.

PDI-P melakukan "gerpol" dengan terang-terangan memposisikan diri sebagai partai oposisi.

Partai yang lain cenderung melakukan gerpol mungkin dengan tawar menawar dengan kebijakan pemerintah. Sri Mulyani dicopot dari kabinet EsBeYe mungkin sebagai korban gerilya politik.

Dan patut diduga, Pemerintah juga melakukan "geilya politik" khusus untuk menghadapi lawan-lawan politiknya. Maka tak mengherankan jika saat ini Demokrat seperti terus melakukan gerilya politik terhadap pemerintahan Presiden Jokowi.

Presiden Jokowi harus dipaksa dua periode.

Bangsa ini sungguh beruntung. Sosok-sosok yang patut diteladani secara nyata hadir dengan sendirinya di negeri ini tanpa diminta.  Sosok-sosok itu hadir dengan ngotot habis-habisan memperlihatkan perilaku dan ucapan-ucapan yang didasari nalar sehat dalam menyampaikan alasan mengapa Presiden Jokowi harus "dipaksa" untuk menerima masa bakti dua periode.

Ya. Presiden Jokowi harus "dipaksa" untuk menerima masa bakti dua periode karena beliau tampaknya tidak terlalu ngoyo untuk menikmati dua periode. Beliau ngoyo hanya untuk menyelesaikan masa tugasnya dengan sempurna. Tidak mengecewakan rakyat dan tidak akan menyulitkan pemerintahan berikutnya.

Barangkali Presiden Jokowi berpikir dan berpendapat. Jika bayak parpol dan elit politik yang menginginkannya menjabat dua periode. Maka mereka lah yang harus berjuang memenangkan Jokowi-Ma'ruf Amin dalam Pilpres 2019.

Dari sosok-sosok yang bernalar sehat kesadaran rakyat terjaga untuk tidak mudah dirusak gerilya politik. 

Saat ini gerpol yang ada bisa berbentuk hoax, tagar, hastag, pandangan menyesatkan maupun perang ujaran kebencian dan penghinaan. Berbagai bentuk komunikasi dan informasi di dunia maya sudah menyatu di medsos meramaikan tahun politik dengan  segala macam dagelan politik yang sama sekali tidak ada lucunya.

Dan warna lawakan itu semua seperti terlihat diwarnai kecerdasan menyesatkan dari Rocky Gerung, Fadly Zon, Fahry Hamzah, Ratna Sarumpaet, Zulkifli Hasan dan dikuti para pengguna medsos yang gemar mencaci maki dengan cuitannya. 

NKRI 2045 sudah terbayangkan hari ini.

Hari ini. Atau di zaman Now ini. Dunia dan akhirat sudah terlihat transparan menjadi satu kesatuan dengan masa depan. Setidaknya siapa Presiden yang akan selesai masa baktinya pada 2024 sudah terbayangkan.

Yang dikerjakan Pemerintah hari ini tidak ada yang mangkrag di 2019. Dan sudah pasti akan diakui sangat sempurna pada 2045.

Dan jangan pernah mimpi #2019GantiPresiden akan menjadi realita politik. Sebab di NKRI presiden yang mundur tidak pernah digantikan.

Bung Karno, Pak Harto dan Gus Dur tidak pernah digantikan oleh penggantinya. Melainkan pasti dilanjutkan oleh yang "berhak."  Yaitu oleh sosok yang sinisihan wahyu---ditulis Ronggowarsito.

Serangan gerilya politik

Tragisnya. Di NKRI. Pada setiap awal rezim yang menang dalam Pemilu mulai menerima dan mewujudkan mandat yang diterima dari rakyat. Maka mulai pula gerilya politik dilancarkan untuk merongrong, mengganggu, menjegal dan menjatuhkan Presiden. Yang sudah-sudah gerilya politik terjadi selama suatu rezim berkuasa.

Hasil sebuah komunikasi antar pentholan partai politik. Terlihat dari pernyataan-pernyataan dan sikap yang  mengikutinya. Meskipun semua yang terlihat pun masih bisa "disesuaikan sesuai" dengan dinamika politik yang biasa dikatakan "dinamis."

Di tahun politik ini komuikasi apa pun yang dilakukan antar tokoh parpol bisa dipastikan berbau gerpol

Saat ini. Hoax pun bisa jadi senjata ampuh untuk gerpol.  Hoax pun sangat mungkin adalah salah satu bentuk komunikasi yang merusak fungsi komunikasi itu sendiri yang berdampak luar biasa berbahaya dan sangat berpotensi merusak kehidupan bermasyarakat dan bernegara di segala segi. Terlebih yang berbau SARA tentu.

Harga telur yang naik, ada masalah aturan di BPJS yang ribet, Dolar amerika yang menguat, sukses Asian Games 2018 pun bisa diolah jadi serangan gerpol kepada Pemerintah.   Dan tidak bisa disalahkan bila ada yang berpandangan bahwa gaya dan nada bicara Prabowo, EsBeYe, Zulkifli Hasan, AHaYe, Sandiaga Uno, Anies Baswedan, Rocky Gerung dan Ratna Sarumpaet dan juga yang lain-lain. Tidak lain adalah bentuk-betuk serangan gerilya politik juga.

Yang luar biasa hebat adalah deklarasi "Jokowi-Ma'ruf Amien pun dimanfaatkan oleh para pemain politik untuk bergerilya.

Bung Karno, Pak Harto,  Bu Mega dan Presiden Jokowi membawa perubahan

Bung Karno sejak proklamasi kemerdekaan 1945 hingga 1967 bisa bertahan memerintah negeri ini karena berhasil membawa perubahan nasib bangsanya dari sebagai bangsa jajahan menjadi bangsa yang merdeka.

Pak Harto membawa perubahan dengan membubarkan MPRS dan menjadikan negara seperti dalam keadaan semu. Karena MPR yang menjadi lembaga tertinggi di negara ini seperti "dikuasai Pak Harto. 

NKRI negara merdeka. Tetapi faktanya seluruh elemen bangsa dihantui rasa takut luar biasa. Seperti lebih menakutkan dari zaman penjajahan. Yaitu takut dicap sebagai orang peka'i. Atau takut dicap sebagai kelompok anti Soeharto.

Bu Mega menjadikan negara harus menggunakan UUD'45 yang diamandemen "kebablasan" tanpa peduli dengan Pancasila. Dan mengawali tradisi baru dengan ada Pilpres.

Presiden Jokowi sejak memimpin negara ini secara nyata dan pasti mulai membuat perubahan dengan menyingkirkan kaki tangan nekolim---mafia, yang ikut ongkang-ongkang kaki di kursi birokrasi NKRI.

Presiden Jokowi tampak hati-hati dan agak terlalu menahan diri menghadapi serangan kritis, keras, pedas yang semena-mena melecehkan dan menghina, dari tokoh-tokoh sekelas Fahry Hanzah, Prabowo, EsBeYe, Rizal Ramli, Rocky Gerung sampai yang sekelas Yusril Ihza Mahendra.

Presiden Jokowi segera dapat tempat di hati rakyat karena menghadirkan perubahan yang merobah pandangan rakyat yang memancarkan optimisme sebagai suatu bangsa yang besar.

Musuh-musuh Jokowi 

Barangkali musuh utama Presiden Jokowi hanyalah kerusakan birokrasi peninggalan masa lalu.

Sedang yang memusuhi Presiden Jokowi cukup banyak dan ada di mana-mana. Baik di pusat maupun daerah.  Mereka adalah kelompok-kelompok yang sangat berkepentingan menjatuhkan dan menghancurkan Jokowi  dan pendukungnya. 

Bisa dipastikan yang berambisi mengakhiri pemerintahan Presiden Jokowi adalah sisa-sisa kaum mafia yang ditinggalkan orba.

Bisa dipastikan pula bahwa yang benar-benar sangat berkeinginan kuat menggantikan Presiden Jokowi adalah para anak bawang petualang politik yang nggak punya konsep kenegaraan, yang penting dapat kekuasaan. Meraih kekuasaan dianggapnya sebagai puncak kepuasan dan kebanggaan sebagai trah darah penguasa Indonesia.

Demikian. Terimakasih dan salam sejahtera kepada yang telah membaca tulisan ini. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun