Adakah Pak Harto yang terkesan otoriter di zaman orde baru, bisa berbuat semaunya? Barangkali begitulah adanya. Pak Harto tidak perlu bertele-tele terhadap mereka yang dianggap lawan politik.
Mereka masih beruntung jika pernah dipenjarakan atau dibuang ke Pulau Buru. Lebih parah lagi kalau ada mereka yang terkena fitnah dianggap termasuk sebagai golongan bahaya laten komunis yang harus dihabisi sampai kini. Walau Peka’i pada kenyataannya sudah tidak ada karena dilarang ada di N.K.R.I..
Seiring perubahan zaman. Di mana ajaran komunis seperti hanya berlaku sementara untuk membuat perubahan. Sudah itu terkesan "komunis harus ditinggalkan." Contohnya Republik Rakyat Tiongkok, Sovyet Russia, Korea Utara dan Vietnam yang semuanya masih dianggap negara komunis tetapi dalam praktiknya mereka sangat berbeda satu dengan yang lain. Praktiknya mereka cenderung seperti negara sekuler, kapitalis atau negara demokrasi. Kecuali Korea Utara yang cenderung sebagai negara dinasti yang tidak lazim.
Gaya otoriter “sepektakuler” Presiden Jokowi
Sekarang. Apakah Presiden Jokowi yang mulai terkesan otoriter itu bisa berbuat semaunya? Penulis pribadi berpendapat “begitulah adanya.”
Memang beliau terkesan sebagai seorang presiden yang berbuat semaunya. Seperti seorang seniman agung yang tampil apa adanya. Bebas berekspresi yang sangat kreatif dengan karya-karyanya yang monumental yang membuat banyak orang sangat mengagumi dan selalu merindukan. Karena penampilannya yang “spektakuler.” Dan unik.
Beliau sangat tegas dan sangat mengerti harus bersikap kepada semua pejabat negara.
Pesaing Presiden Jokowi hampir tidak ada. Yang memusuhi hanya mereka yang iri, cemburu, dendam dan sakit hati dengan gaya “blusukan” wong ndeso yang terpilih rakyat sebagai presiden.
Gaya blusukan Pak Jokowi pernah dicoba diimbangi dengan gaya “blasakan” di sawah oleh tokoh tertentu. Tetapi ternyata jauh dari pesona.
Naluri tidak mau diperlakukan semena-mena
Bahwa manusia juga punya naluri tidak mau memperlakukan dirinya semaunya. Kecuali bagi mereka yang punya masalah “kelainan jiwa” sehubungan dengan ritual suatu paham—ajaran, sesat yang sedang ditempuh. Atau mengalami kelainan jiwa karena depresi atau frustasi berat karena kegagalan berpolitik yang terlalu berlebihan.