REVOLUSI SPIRITUAL
Jakarta tiba-tiba seperti terasa sepi dan malas. Mungkin karena Imam besar FPI sedang itikab. Walau dia bukan pengecut, mungkin sedang mencari jalan bisa bebas keluar-masuk kantor POLDA Jabar yang sepi demo, tak terekam awak media. Seperti layaknya orang yang sedang tidak diperkarakan.
Mana bisa sekarang? Habib Rizieq termasuk orang top di dunia, mana bisa “bebas?” Semua malaikat, jin, setan, iblis dan tuyul-tuyul pun selalu mengikuti dia. Semua sudah ikut-ikutan para demonstran, awak medsos dan wartawan yang meliput berita pakai hape dan corong megaphone “toa”—tunggu order atasan, menyuarakan tuduhan, tuntutan dengan ancaman senada-sewarna dengan orasi Fahri Hamzah, Fadly Zon, Amien Rais maupun Habib Rizieq yang sedang ngumpet atau ngilang; sinkron pula dengan pernyataan Din Syamsudien plus Permadi yang spesialis ilmu kebatinan menerawang.
Yang juga riuh terdengar hanya kicauan-kicauan yang berseberangan mulai bingung dan salah tingkah menghadapi pemerintah.
Semua tekanan dilayani dengan keramahan yang melemahkan. Semua benturan ditahan dengan kesabaran. Semua hujatan diterima dengan senyuman. Semua keluhan direspon dengan kecepatan bertindak. Semua tuntutan diarahkan ke penegakan hukum. Semua kritik dibebaskan dengan resiko. Kalau menteri ya segera dicopot.
Ada kicauan ahli tatanegara yang mengingatkan, kalau nggak hati-hati pemerintah bisa kalah sama HTI. Sebuah kicauan burung ngelindur, dikiranya HTI masih ada. Profesor itu tidak sadar bahwa HTI sudah dibubarkan. Alias sudah tidak ada.
Maaf. Menurut penulis, mungkin kalau Gus Dur dan Pak Harto masih ada di antara kita, pasti beliaupun tahu bahwa HTI itu sudah tidak ada. Lalu siapa mereka yang berkepentingan “menggugat pemerintah?”
Bisa jadi yang menggugat pemerintah adalah simpatisan para pemimpi negara fiktif negara islam Indonesia, gafatar, Dimas Kanjeng dan sponsornya, umat ustadz Ba’asyir, serta pengikut fanatik kaum Darul Islam, PRRI, Permesta dan turunan sisa-sisa laskar yang dulu pernah mengaku sebagai tentara islam Indonesia.
Entah benar atau sekadar isu. Kabarnya negara islam indonesia sudah sejak lama punya bupati, camat sampai lurah. Untuk jelasnya boleh tanya sama Panji Gumilang yang sudah sejak lama tidak pernah kedengaran namanya disebut di media.
Terdengar juga dari sana para ulama yang sama. Minta Habib Rizieq Sihab segera ditangkap.
Aneh sekali permintaan itu. Polisi pasti tahu peranannya. Tak usah diminta kalau seseorang dipanggil polisi wajib hukumnya untuk datang. Kalau sudah tiga kali dipanggil tetap tidak datang. Berarti tanda harus dijemput paksa oleh polisi. Begitu aturan main hidup bernegara. Tidak peduli yang dipanggil agamanya apa dan siapa Tuhan disembah.
Mungkn ada yang coba mau ngeyel tidak mau HTI dibubarkan. Dan menyatakan bahwa pemerintah tidak boleh sewenang-wenang membubarkan HTI.
Siapa bilang pemerintah tidak boleh sewenang-wenang kepada HTI?
HTI ada di Indonesia diberi dan dibatasi wewenangnya oleh negara demi kepentingan N.K.R.I..
Kalau keberadaan HTI dipandang membahayakan N.K.R.I., sangat wajar dibubarkan pemeritah setiap saat. Tidak perlu ada peringatan dan teguran. Yang perlu hanya ada pernyataan pemerintah membubarkan atau melarang HTI.
Jangankan hanya membubarkan HTI. Bahkan pemerintah pun mutlak berwenang mengsahkan pernikahan suami istri yang berbeda agama. Mengsahkan pernikahan orang kafir dengan pasangannya yang non kafir.
Tanpa ada katepe negara berwenang menolak mengsahkan suatu pernikahan. Pemerintah bertanggung jawab memberi perlindungan kepastian hukum atas pernikahan yang disahkan negara. Tetapi tidak untuk kawin-sirih.
Pemerintah mengakui, menghormati dan melindungi setiap orang beriman pasti beragama dan bertuhan sesuai dengan bukti kebenaran yang disampaikan agamanya. Meski demikian pemerintah tidak melarang orang beragama hanya berdasar kepercayaan dan keyakinan.; karena tidak faham hakikat yang disebut dengan istilah "iman."
Pemerintah tak peduli dengan iman seseorang. Yang pasti diakui negara adalah ada nama agama dianut setiap warga negara yang tertera dalam katepenya.
Di N.K.R.I. pemerintahan harus otoriter dalam menegakkan hukum untuk melayani kepentingan rakyat dalam bernegara dan beragama. Tanpa otoriter mafia dan pengkhianat bangsa akan leluasa beroperasi merepotkan kehidupan rakyat.
Pak Jokowi harus didukung seluruh rakyat untuk berani otoriter. Syukur-syukur seperti melebihi Bung Karno dan Pak Harto yang bergaya seolah ditaktor kepada siapa pun yang melawan atau menentang kebijakan negara.
Tetapi sungguh sangat berbahaya kalau otoriter ditujukan kepada rakyat—pemilik N.K.R.I. yang sah, yang dihormati seluruh rakyat negara yang ada di jagad raya ini.
Presiden Jokowi memang seperti hadir terlambat di pangkuan ibu pertiwi.
N.K.R.I. pasti berbeda jika dulu Bu Mega “selesai,” langsung digantikan Pak Jokowi.
Tetapi sangat mungkin akan terjadi. Amien Rais akan sangat lebih murka. Karena dia dulu kabarnya termasuk tokoh reformasi yang menurunkan Pak Harto dan Gus Dur. Kenapa Jokowi yang harus jadi er’i satu?
Dan sekarang ... ? Mungkin, sudah pasti Pak EsBeYe tidak perlu mumet mikirin kader Partai Demokrat yang kebingungan melihat proyek Hambalang yang tidak kunjung diurus.
Demikian. Terimakasih kepada yang telah sempat membaca tulisan ini. Diiringi salam bahagia sejahtera bagi kita semua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H