REVOLUSI SPIRITUAL
Dunia sedang menyimak suguhan demonstrasi—tontonan, peristiwa hukum di NKRI. Satu tontonan adegan-adegan dari satu babak pertama politik sebuah negara hukum zaman Jokowi yang menghormati demokrasi.
Atau sebaliknya. Negara demokrasi yang menghormati hukum, sedang memdemons-trasikan hukum demi penegakan hukum.
Tergantung dari sudut pandang mana mata hati masing-masing melihat. Karena dalam kasus tuduhan penistaan agama oleh Ahok, tidak hanya akan dilihat dari sudut pandang hukum semata.
Tidak usahlah meniru pihak-pihak frustasi berasumsi dengan hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah.
Hukum itu bukan senjata. Dan juga bukan alat untuk menikam.
Negara adalah kekuasaan tertinggi yang menghadirkan kekuasaan dalam setiap lembaga negara.
Hukum adalah kekuasaan tertinggi yang memberi dan membatasi setiap kekuasaan. Agar tidak ada lembaga apa pun yang bisa dipakai sewenang-wenang dalam bernegara.
Hukum adalah panglima, kata Ruhut Sitompul dari Timses Ba-Dja untuk pemenangan Pilkada DKI 2017. “Panglima” yang memastikan keselamatan negara dari segala bentuk gejala—ancaman, yang bisa mencederai kehidupan bernegara.
Gejala untuk “mengakhiri” Ahok
Yang berkepentingan “Ahok segera diakhiri.” bukan cuma MUI, ormas-ormas, sebagian parpol, tokoh-tokoh terkenal Amien Rais, Dien Syamsudin, Permadi, para mafia, koruptor, kaum munafik dan kaum oportunis yaitu orang-orang asli Indonesia turunan jawa, batak, bugis, cina, arab, belanda, jerman, pakistan dan lainnya.
Tetapi juga para malaikat, para dewa, para jin, para setan, para iblis yang jadi ikut-ikutan terbius oleh bahasa para provokator yang mampu menggelitik telinga hati.
Jadi ribut-ribut menuntut ucapan Ahok yang sering menyebut Al Maidah 51, memang bisa membuat siapa saja yang tidak beriman sekali pun bisa kelojotan seperti lubang telinganya kemasukan anak kelabang. Semua ingin segera “diselesaikan” menurut adab, adat, tradisi dan budaya negara hukum.
Tetapi apakah Ahok bisa diakhiri?
Malaikat pun pasti tidak tahu. Malaikat tahu bahwa hanya manusia mahluk yang serba tahu segalanya. Termasuk tahu yang seharusnya mengaku tidak tahu.
Penegakan hukum tidak perlu demokrasi
Bahwa sehebat apa pun demokrasi demonstrasikan jaminan konstitusi yang katanya melindungi demonstran. Aparat negara penegak hukum sama sakali tidak bisa tunduk pada demokrasi. Sebab demokrasi bukan hukum.
Demonstrasi hanya salah satu bentuk hak publik—warga negara, menyampaikan aspirasi yang benar dan bermanfaat bagi orang banyak, langsung kepada publik yang terpaksa harus dilakukan.
Menyampaikan aspirasi—politik, kepada pemerintah atau institusi apa pun kalau tidak terpaksa, memang tak perlu harus demo. Demo yang dilakukan pasti untuk memaksakan kehendak.
Melaporkan Ahok ke polisi dengan tuduhan telah menista agama, sudah benar.
Tetapi demonstrasi menuntut Ahok ditahan atau dihukum karena menista agama. Sungguh sangat menista seluruh ajaran agama kehidupan. Agama tidak mengajarkan siapapun untuk sembarangan menghukum orang yang belum tentu berdosa.
Menurut penulis. Tuhan tidak pernah menghukum umatNYA, karena Maha Pengampun Maha Kasih dan Maha Penyayang.
Hukum Tuhan memang sangat kejam karena pilih kasih. Dan tidak mengenal belas kasihan. Tetapi maha Adil. Dan tidak sembarang menghukum.
Bandingkan kasus Ahok dengan kasus Ariswendho, Lia Eden dan Musadeq. Tidak bisa disamakan. Karena zamannya tidak sama.
Tetapi mereka dijatuhi hukuman berdasar KUHP. KUHP bukan berisi hukum Tuhan.
Betul. Tetapi semua hukum yang disusun manusia tidak boleh bertentangan dengan hukum hehidupan yang tersurat dan tersirat dari semua kitab suci agama yang dimiliki seluruh umat manusia.
Seorang terpidana menghukum dirinya berdasar vonis hakim. Dibantu dilaksanakan oleh semua yang ada di lingkungannya. Baik yang di lapas maupun yang di luar lapas.
Pengadilan hanya digelar kalau negara harus mengadili siapa pun yang dituduh dengan disertai bukti melanggar aturan negara, apa pun bentuknya.
Menurut penulis. Sekali ini pengadilan terkesan terpaksa digelar untuk “mengendalikan” demonstrasi-demonstrasi yang menuntut dengan keras “Ahok segera diakhiri.”
Aparat penegak hukum sangat bijak dan kompak saling mendukung menghadapi masalah yang sama. Tidak tepat jika penegak hukum terkesan buru-buru melempar bola panas. Yang pasti semua pihak yang berperkara bisa segera diarahkan pada jalur hukum yang semestinya.
Orasi penyesatan publik
Para provokator mengobarkan demonstrasi besar-besaran dengan menyatakan bahwa di negara demokrasi boleh—tidak melarang, demonstrasi. Demonstrasi adalah hak omong dan berorganisasi yang dijamin oleh konstitusi. Siapa pun boleh menyampaikan pendapat di muka umum.
Orasi yang demikian adalah penyesatan aturan negara kepada publik. Yang dicoba disesatkan adalah mereka yang mengerti tetapi pura-pura tidak mengerti. Sangat berbahaya.
Di negara demokrasi tidak boleh demonstrasi sembarangan. Meski dijamin konstitusi, menyampaikan pendapat di muka umum sangat riskan dikroyok massa.
Apa lagi jika demo beresiko membahayakan kepentingan masyarakat bahkan negara.
Apapun alasannya demonstrasi yang memaksa negara harus melanggar aturan—hukum, barang kali sudah bisa digolongkan demo yang berbau makar.
Negara demokrasi menghormati dan mejaga hukum. Dan negara hukum menghormati, menghargai serta menjaga demokrasi.
Sidang pertama secara langsung, terbuka luas tak berbatas
Sidang pertama kasus penistaan agama digelar secara langsung, terbuka luas tak berbatas. Bisa ditonton dari segala sudut pandang dunia. “Dikawal” demonstrasi ormas-ormas yang berjejalan di sepanjang pinggir jalan di muka gedung pengadilan, yang minta Ahok ditahan. Dengan penjagaan ektra ketat polri.
JPU membacakan tuduhannya atas penistaan agama yang dilakukan dengan sengaja oleh Ahok btp.
Ahok langsung mengajukan nota keberatannya atas tuduhan tersebut. Sedang penasihat hukum pun mengajukan eksepsi agar hakim menolak tuduhan JPU dengan beberapa alasan hukum yang disampaikan.
Hakim mempersilahkan JPU menanggapi nota keberatan terdakwa atas tuduhan tersebut serta eksepsi penasihat hukum terdakwa.
Singkat kata hakim menutup sidang pertama kasus Ahok dituduh menista agama akan dilanjutkan dengan sidang kedua untuk mendengar tanggapan JPU atas nota keberatan terdakwa dan eksepsi penasihat hukum.
Singkat kata. Sidang kedua kasus penistaan agama digelar secara langsung, terbuka luas tak berbatas. Agar bisa ditonton dari segala sudut pandang dunia. Dengan tetap “dikawal” jejalan demonstrasi ormas-ormas yang berjejalan di sepanjang pinggir jalan di muka gedung pengadilan, yang minta Ahok ditahan. Tetapi tetap dengan penjagaan ektra ketat polri.
Persidangan kedua tidak berlangsung lama. Pasti akan dilanjutkan dengan sidang ketiga yang menetapkan meneruskan proses persidangan-persidangan berikutnya. Pasti juga akan berlanjut sampai harus lewat pengadilan tingkat tinggi dan juga kasasi ke Mahkamah Agung.
Sampai ada keputusan pengadilan yang ditetapkan Mahkamah Agung yang berkekuatan tetap dan mengikat. Memutuskan Ahok tetap tidak bersalah berdasar atas keyakinan hakim yang berwenang memutuskan perkara.
Semua hakim di tingkat peradilan manapun mungkin sangat tahu bahwa apa pun putusan dalam perkara ini. Ahok dipidana atau dibebaskan sama saja dampaknya. NKRI akan agak dirusuhkan sementara. Beruntung NKRI sudah terlatih menghadapi berbagai kesulitan dahsyat dalam bernegara. Maklum dunia katanya masuk pada episode “akhir zaman.”
Penulis berani menulis bahwa sampai lembaga Mahkamah Agung pun akan memutuskan Ahok tidak bersalah. Karena penulis memastikan bahwa dalam kasus ini pengadilan MA tidak akan pernah memutuskan perkara berdasar tulisan siapa pun. Keputusan hakim minimal pasti berdasar atas “keyakinan” bersama.
Penistaan agama tidak butuh keadilan
Persidangan pengadilan tuduhan penistaan agama oleh Ahok pasti akan terasa membosankan, meletihkan dan seperti bertele-tele.
Karena yang di perdebatkan seakan-akan adalah persepsi si terdakwa dengan persepsi penuntut.
Keterangan saksi-saksi ahli. Saksi ahli tasir dan ahli bahasa bermanfaat bagi masyarakat dunia. Tetapi tidak bermafaat bagi persidangan itu sendiri.
Harapan demonstran, hasil yang ingin didapat pasti bukan keadilan. Rasa keadilan tidak diperlukan, yang diperlukan adalah keputusan persepsi siapa yang dibenarkan. Yang penting tuntutan “Ahok diakhiri” seperti tidak boleh diabaikan.
Berbagai macam kasus yang menistakan agama agaknya akan terus berlanjut dilakukan oleh banyak pihak di muka bumi. Terkait dengan berbagai kepentingan yang sengaja dimunculkan dengan macam-macam modus penghinaan agama.
Hal ini menunjukkan betapa penting nilai-nilai kebenaran—agama, bagi kehidupan yang berperadaban.
Menurut penulis. Pergolakan di negara-negara Timur Tengah tidak lebih adalah bentuk-bentuk penistaan agama.
Suatu saat di kemudian hari. Mungkin manusia tidak lagi perlu persoalkan penistaan agama. Yang dibicarakan adalah “wujud” bukti kebenaran agama yang pasti akan terjadi pada saatnya. Misalnya tentang hari kiamat, hari pembalasan, wujud dajjal dan kehadiran Iman Mahdi.
Sedang kebenaran saat hari ini adalah kebenaran yang disampaikan agama. Baik-buruk hari ini tak perlu dipersoalkan, yang penting disikapi dengan bijak. Tidak membiarkan persoalan kecil melebar ke mana-mana.
Hari ini harus menjadikan hidup dalam kenikmatan yang hakiki.
Keberadaan manusia, negara dengan Tuhan
Orang jawa mempunyai” ketuhanan atau mungkin fasafah hidup manunggaling kawulo gusti yang sering diucap manunggale kawulo marang gustine.
Arti harafiah dalam bahasa ndonesia “kesatuan mutlak hamba dengan Tuhan yang dipuja—Gusti.” Mengandung satu pengertian dan pengakuan bahwa “hamba dan yang dipuja satu perasaan, satu kehendak, satu tekad satu perjuangan.”
Kedua kalimat bahasa jawa tersebut, bagi yang bisa berbahasa jawa, sepintas seperti punya pengertian yang sama.
Pada hal menggunakan kalimat tersebut sangat tergantung pada kontek ranah pembicaraan.
Maksudnya, bila bicara di ranah kenegaraan, berarti “rakyat menyatu tidak terpisahkan dengan pemimpinnya.”
Bila bicara di ranah ketuhanan (kesempurnaan hidup). Bisa berarti “setiap pribadi menjadi satu dengan Gusti Yang disembah.” Antara yang menyembah dan yang disembah tidak berjarak.
Pertanyaannya. Kenapa manusia harus dalam satu kesatuan dengan Tuhan? Jawabnya pasti macam-macam tergantung pada pengalaman masing-masing pribadi dalam hidup bertuhan dan beragama.
Di kalangan umat beragama terutama Islam, sangat disadari bahwa manusia adalah satu-satunya mahluk yang Dimuliakan Allah. Disujudi seluruh mahluk halus (jin, setan, iblis, malaikat , dewa, bidadari). Disenangkan oleh seluruh mahluk hidup (hewan, tetumbuhan, bakteri, virus, jamur dan sebagainya) yang ada di alam kehidupan. Manusia dinikmatkan oleh “tempat” manusia berada.
Bumi, laut, udara, alam kehidupan, alam nyata, alam pikiran, alam angan-angan, alam rasa, alam maya, alam mimpi cyber merupakan satu kesatuan yang dimaksud dengan sebutan “alam ghaib.”
Alam ghaib adalah tempat manusia berada. Tempat yang nyata-nyata menggelar realita yang harus disikapi secara “benar” oleh manusia. Mau tidak mau manusia harus tunduk kepada dua hukum yang saling menyempurnakan menjadi hukum kesempurnaan. Yaitu menjadi hukum ketuhanan.
Hukum ketuhanan atau hukum kesempurnaan—taukhit, berisi “hukum kehidupan”—perbuatan, dan “hukum alam”—ilmu pengetahuan, sains atau science.
Maka manusia DititahkanNYA jadi “Penguasa di bumi dan langit.” Pertanyaannya adalah siapa yang harus dikuasai manusia?
Dalam kisah Adam as, jelas bahwa jin, setan dan iblis yang tidak mau sujud kepada Adam. Jadi jin, setan dan iblis adalah yang harus dikuasai atau ditundukkan.
Hubungan antar sesama manusia saling menghormati, menghargai, mengakui, saling menjaga dan saling bergatung. Karena manusia mahluk yang sempurna dengan segala kelemahan dan kekurangannya.
Tuhan Yang Menghendaki Kasus Ahok Digelar?
Kembali pada kasus hukum yang dihadapi Ahok BTP.
Secara sederhana yang dipentaskan dalam sidang pengadilan adalah JPU bertarung menuntut—melawan, Ahok. Majelis hakim sebagai wasit yang menentukan siapa yang salah.
Pertanyaan selanjutnya. Siapa yang membuat skenario pentas pengadilan penistaan agama oleh Ahok? Lalu siapa pula yang jadi sutradara?
Menurut penulis. Yang menghendaki ada skenario pentas pengadilan penistaan agama oleh Ahok adalah Tuhan Yang Maha Sempurna KehendakNYA. Allah memiliki hak tunggal yang mutlak yang disebut “Kun fayakun.”
Sedang yang bertindak sebagai sutradara adalah mereka yang berkepentingan dengan perkara tersebut.
Pertanyaan lagi. Untuk apa perkara pengadilan penistaan agama oleh Ahok, dipentaskan?
Jawabnya, agar di NKRI tidak ada lagi pihak-pihak yang mencoba “bermain” demokrasi dan hukum dengan demosnstrasi.
Dan tidak ada lagi yang memaksa kedudukan agama, ulama dan Quran seolah-olah dipandang bisa berbahaya bagi kehidupan bernegara.
Agama itu menyampaikan perdamaian di muka bumi. Sedang negara melanggengkan kehidupan beragama.
Demikian. Terima kasih. Salam damai sejahtera kepada yang sempat membaca tulisan ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H