Mohon tunggu...
Moh. Ashari Mardjoeki
Moh. Ashari Mardjoeki Mohon Tunggu... Freelancer - Senang baca dan tulis

Memelajari tentang berketuhanan yang nyata. Berfikir pada ruang hakiki dan realitas kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pilkada 2017 DKI Jakarta Darurat? Anies dan Agus Harus Maju?

1 Oktober 2016   09:54 Diperbarui: 1 Oktober 2016   10:09 730
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kekuatan orde baru masih sangat kuat dan dominan. Instansi-instansi pemerintah dan Golkar masih sangat ingin melanjutkan tradisi bernegara ala orde baru.  Amien Rais yang bersemangat sebagai tokoh yang ikut menunggang reformasi tampak sibuk dibakar ambisinya. Tak letih mondar-mandir dan bicara kasak-kusuk di sana-sini. Dan terhembuslah isu yang nyaris hanya terdengar sebagai bisik-bisik yang tendensius “kalau Mega berkuasa pasti akan balas dendam.”    Pak SBY bisa “naik” karena ada kekuatan yang mendukung pihak yang memilih “Asal Bukan Mega,” di mana-mana. Terutama di institusi-institusi tertentu. Apa lagi nama Pak SBY tiada cacat sedikitpun di catatan mereka yang memecahkan reformasi ’98.

Sukses luar biasa Bu Mega yang menyelenggarakan pemilu 2004 yang benar-benar murni pemilu demokratis, dan diakui yang tersulit yang pernah ada oleh dunia internasional. Hendaknya bisa dihargai dan diteladani oleh Bangsa Indonesia untuk penyelenggaraan segala macam pemungutan suara di negara ini.  Pemilu 2004 mengantar Pak SBY yang mendadak berminat berjuang untuk menjadi presiden yang ke enam. Walaupun mungkin tanpa konsep untuk apa jadi presiden. Tetapi realita tampaknya memang menghendaki.  Pak SBY yang menerima hak harus menyelesaikan kepemimpinan politik masa transisi pasca reformasi.

 Jabatan presiden bisa menjadi tidak terlalu berarti jika ada pihak yang menganggap hanya sebagai jabatan yang perlu digilir ataupun diwariskan.   Jabatan presiden RI harus “diserahterimakan” oleh MPR. Bukan diturunkan atau diwariskan.   Jabatan presiden adalah jabatan yang harus selalu dihormati, dijaga dengan kokoh, baik dan benar oleh Bangsa Indonesia, parpol-parpol dan juga oleh negara.

Pilpres, pilkada dan pemilu bukan sekadar untuk menentukan kemenangan para kandidat. Melainkan untuk mengawali babak baru atau pergantian zaman setiap lima tahun dalam mengamalkan demokrasi yang sejati. Yaitu demokrasi yang menyejahterakan rakyat. Demokrasi ala Indonesia.

Menjelang Pilkada serentak 2017. Negara dalam keadaan aman damai. Tidak dalam keadaan darurat.   Entah kalau di DKI Jakarta memang dianggap dalam darurat oleh sementara pihak?  Karena Jakarta di bawah Gubernur Ahok. Memang bukan lagi tempat yang aman dan menyenangkan bagi para mafia, preman dan koruptor.   Sehingga banyak partai terkesan seperti terpaksa mendadak mencalonkan Anis Baswedan dan Agus Harimurti Yudhoyono sebagai calon-calon gubernur yang akan menyempurnakan dengan sempurna perjuangan Ahok sebagai petahana Pilkada DKI Jakarta 2017 mendatang. Selamatlah Jakarta. Terhindar dari pilkada yang cuma punya calon tunggal untuk cagubnya.

Sementara ini realita politik di Indonesia hanya menghadirkan empat tokoh menonjol dalam kepartaian yang terlihat sibuk menyambut dan peduli dengan ikut berperan mempersiapkan jajaran pemimpin nasional.  Parpol selebihnya agaknya hanya berusaha bisa menempatkan diri secara arif dan bijaksana menyimak apa yang dilakukan oleh keempat tokoh tersebut.

Empat tokoh parpol tersebut adalah Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, Prabowo Subianto, sebagai tokoh-tokoh utama partai politik dan Ahok—Basuki Tjahaja Purnama, tokoh yang tidak berpartai.   Bagaimana sikap dan perilaku masing-masing dalam kepartaian? Dunia menyimak, mencermati dan memperhatikan dari sudut-sudut pandang yang pasti berbeda.  

Dari sudut pandang yang sempit dan terbatas. Tulisan ini menyampaikan kesan masing-masing tokoh yang tampak memang memiliki idealisme pribadi yang jelas sangat berbeda satu terhadap yang lain bahkan mungkin bertentangan kalau diurai.

Megawati Soekarnoputri, punya idealisme mendasar, bahwa semua pejabat negara yang dari parpol adalah petugas partai.  Pejabat-pejabat negara yang “brengsek” membawa konsekwensi bahwa partainya bisa disebut identik dengan markas atau sarang mafia politisi.   Sebaliknya. Bagi pejabat negara yang baik dan benar berdampak pada citra partainya sebagai partai yang  bertanggungjawab kepada bangsa, negara dan dunia.  Kesabaran Megawati terukur pada sikapnya yang tidak menyerah kepada kecurangan.

Prabowo Subianto. Sementara ini. Mungkin yang terlihat hanya punya gagasan untuk membebaskan bangsa Indonesia yang dianggap masih dalam kekangan dan pengaruh asing. Prabowo mungkin punya idealisme yang fanatik anti asing.  Tokoh yang satu ini mungkin juga sibuk menyusun strategi perjuangan agar dirinya sempat menjadi presiden.

Supaya dinasti Pak Harto tidak hilang dari sejarah masa depan bangsa Indonesia.   Demi semaraknya Pilkada 2017. Gerindra tak perlu jaga gengsi menggandeg PKS dan menempatkan Anis Baswedan yang lembut sebagai cagub untuk mengimbangi Basuki Tjahaja Purnama yang berani lebih “selebor” kepada mereka yang benar-benar selebor beneran.  Kesabaran Prabowo terukur pada sikapnya yang tampak mengikuti nasib.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun