Gerilya politik di era Presiden Jokowi, luarbiasa. Dimulai sejak Jokowi-JK dinyatakan memenangkan pilpres 2014. Wujudnya antara lain hanya masalah kecil, yaitu penolakan Presiden SBY menaikkan harga BBM sebelum Pak Jokowi dilantik jadi presiden.
Sesungguhnya menaikkan harga BBM adalah masalah kecil buat pemerintah waktu itu. Tetapi mengatur ketersediaan BBM di mana saja adalah memang masalah besar di semua negara.
Selanjutnya. Seluruh dunia tahu bahwa semua parpol di Indonesia sibuk menggalang kekuatan di DPR untuk melakukan gerpol dan anti-gerpol. Yang disebut KMP dan KIH.
Memang ada juga yang terkesan tidak mau ikut-ikutan menggalang kekuatan. Maunya cuma terlihat duduk menyendiri di kursi suci sebagai penyeimbang. Mungkin dengan harapan masih ada yang mau mengikuti jejaknya. Itupun gerpol. Karena bersikap netral pun demi kepentingan sendiri.
Pada awal-awal pemerintahan Presiden Jokowi mengalami berbagai tekanan dari semua pihak yang bergerilya politik. Karena banyak pihak yang terkesan tidak rela Pak Jokowi jadi presiden.
Ajakan kerjasama Presiden Jokowi kepada semua partai seperti disambut dengan tawaran bernegosiasi yang tersamar. “Kalo Gue mau ikut. Emangnye dapet ape?”
Hak prerogatif presiden pun ada tanda-tanda digerpol untuk bisa diikutkan menyetel dan mempengaruhi penyusunan kabinet.
“KPK” menjadi lembaga yang sangat perlu diamankan dengan kuat dari gerpol pihak manapun, agar tetap menjadi lembaga andalan rakyat dan pemerintah.
Resafel kabinet pun terus dicoba digali dan digedor untuk menjadi lorong gerilya mereka yang lapar dan haus dengan kekuasaan. Keseharian presiden pun diplototi. Kalau sekiranya agak bisa dinyelenehkan—dipolitisir, ramailah jadi bahan ejekan di medsos.
Sepak terjang Pak Ahok membangun Jakarta yang sulit dihambat. Digerpol dengan “dicengengkan” Rizal Ramli karena mengadu kepada Presiden Jokowi.
Dan banyak fitnah dilontarkan kelompok-kelompok yang mau berdekatan dengan Amien Rais. Dan semua fitnah kepada pejabat negara adalah gerilya politik.