Memang kejahatan korupsi sangat membahayan kehidupan bernegara. Negara bisa saja menggunakan suatu sistem untuk mempersulit atau mencegah seseorang melakukan tindak kejahatan korupsi.
Tetapi manusia mahluk yang “maha kreatif.” Lebih-lebih bagi mereka yang memiliki kewenangan, tidak akan kekurangan akal hanya untuk berbuat korupsi.
Pasti ada saja di antara mereka yang punya kepentingan tertentu, menjalin kerjasama “khusus” untuk saling menguntungkan. Maka pencucian uang secara terang benderang bisa tetap berlangsung. Hanya mereka yang bodoh dan sedang apes yang kena otete kapeka.
Tetapi tidak berarti bahwa korupsi tidak bisa dihilangkan.
Korupsi akan hilang dengan sendirinya jika seluruh lapisan masyarakat sudah sampai pada kesadaran bahwa korupsi tidak pantas dilakukan siapapun walaupun ada peluang untuk melakukan. Seperti halnya orang tidak mau berjudi meskipun dijanjikan pasti menang dan negara tidak melarang perjudian.
Kalau seorang terpidana adalah pejabat negara yang melakukan korupsi, maka tindakan pertama yang wajar dilakukan negara adalah merampas seluruh kekayaan hasil korupsi. Termasuk harta-harta yang sudah diberikan si koruptor kepada orang-orang lain.
Tindakan kedua. Memenjarakan si terpidana karena tidak bekerja sebagaimana mestinya pada hal yang bersangkutan dibayar oleh negara atas kewenangan yang diterima dari negara. Dan diberhentikan—dipecat, sebagai petugas negara.
Dari dua tindakan hukuman tersebut, kiranya akan cukup memberikan efek jera kepada siapapun yang akan melakukan tindakan korupsi.
Jika si terpidana sudah selesai menjalani hukuman yang ditetapkan oleh negara maka yang bersangkutan akan kembali sebagai warga negara yang “suci.”
Akhir-akhir ini ada permasalahan. Rancangan revisi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 kini hampir mencapai tahap akhir. Berkaitan dengan masalah remisi untuk para koruptor.
Sebagian besar masyarakat yang trauma dengan perbuatan para koruptor, berpandangan bahwa revisi PP ini menguntungkan para pelaku korupsi.