Mohon tunggu...
Moh. Ashari Mardjoeki
Moh. Ashari Mardjoeki Mohon Tunggu... Freelancer - Senang baca dan tulis

Memelajari tentang berketuhanan yang nyata. Berfikir pada ruang hakiki dan realitas kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Remisi Koruptor Tidak Perlu Diskriminasi

8 September 2016   05:42 Diperbarui: 8 September 2016   06:11 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

REVOLUSI SPIRITUAL

Korupsi adalah salah satu bentuk kejahatan yang bisa dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang terhadap kehidupan bernegara.

Maka negara wajib harus menghukum dengan berperikemanusiaan yang adil dan beradab—sila kedua Pancasila, kepada setiap pelaku kejahatan dalam bentuk apapun. Termasuk korupsi.

Berperikemanusiaan. Artinya, hakim—negara, dalam menetapkan sebagai terpidana—manusia, mutlak harus dengan martabat—kemuliaan, manusia.

Adil. Artinya, hakim—negara, mutlak harus berbuat dan bersikap yang menunjukkan mengakui, menghargai, melindungi dan menjaga hak azasi terpidana sebagai manusia yang pasti juga memiliki kelebihan, keterbatasan, kelemahan dan ketergantungan terhadap yang lain.

Beradab. Artinya, hakim—negara, dalam menetapkan sebagai terpidana, mutlak harus sesuai dengan aturan—ketentuan, negara yang memuliakan warga negara—manusia.

Korupsi dilakukan seseorang pasti dengan menyalahgunakan kewenangan yang diberikan negara. Atau dengan melanggar ketentuan—undang-undang, negara yang harus ditaati.

Secara luas dan sudah diketahui umum bahwa yang tergolong kejahatan korupsi itu bisa tampil dalam modus penyuapan kepada oknum pejabat negara, pencucian uang, penggelembungan anggaran, penggelapan pajak dan sebagainya.

Menghukum seorang terpidana sama sekali bukan bisa diartikan bahwa negara boleh melakukan balas dendam, menyakiti, menyengsarakan dan memiskinkan apa lagi sampai harus menjatuhkan hukuman mati kepada seorang koruptor.

Memenjarakan seorang terpidana harus bisa membina seseorang menjadi lebih baik, tidak akan mau mengulang kejahatan lagi. Dan tidak akan mendorong atau membujuk orang lain untuk berbuat korupsi.

Menghukum seorang terpidana harus diketahui oleh seluruh warga negara bahwa siapapun yang melakukan tindak kejahatan korupsi, pasti seluruh harta hasil korupsi disita oleh negara dan pelakunya pasti dijebloskan dalam penjara.

Memang kejahatan korupsi sangat membahayan kehidupan bernegara. Negara bisa saja menggunakan suatu sistem untuk mempersulit atau mencegah seseorang melakukan tindak kejahatan korupsi.

Tetapi manusia mahluk yang “maha kreatif.” Lebih-lebih bagi mereka yang memiliki kewenangan, tidak akan kekurangan akal hanya untuk berbuat korupsi. 

Pasti ada saja di antara mereka yang punya kepentingan tertentu, menjalin kerjasama “khusus”  untuk saling menguntungkan.  Maka pencucian uang secara terang benderang bisa tetap berlangsung.  Hanya mereka yang bodoh dan sedang apes yang kena otete kapeka.

Tetapi tidak berarti bahwa korupsi tidak bisa dihilangkan. 

Korupsi akan hilang dengan sendirinya jika seluruh lapisan masyarakat sudah sampai pada kesadaran bahwa korupsi tidak pantas dilakukan siapapun walaupun ada peluang untuk melakukan.  Seperti halnya orang tidak mau berjudi meskipun dijanjikan pasti menang dan negara tidak melarang perjudian.

Kalau seorang terpidana adalah pejabat negara yang melakukan korupsi, maka tindakan pertama yang wajar dilakukan negara adalah merampas seluruh kekayaan hasil korupsi. Termasuk harta-harta yang sudah diberikan si koruptor kepada orang-orang lain.

Tindakan kedua. Memenjarakan si terpidana karena tidak bekerja sebagaimana  mestinya pada hal yang bersangkutan dibayar oleh negara atas kewenangan yang diterima dari negara. Dan diberhentikan—dipecat, sebagai petugas negara.

Dari dua tindakan hukuman tersebut, kiranya akan cukup memberikan efek jera kepada siapapun yang akan melakukan tindakan korupsi.

Jika si terpidana sudah selesai menjalani hukuman yang ditetapkan oleh negara maka yang bersangkutan akan kembali sebagai warga negara yang “suci.”

Akhir-akhir ini ada permasalahan. Rancangan revisi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 kini hampir mencapai tahap akhir. Berkaitan dengan masalah remisi untuk para koruptor.

Sebagian besar masyarakat yang trauma dengan perbuatan para koruptor, berpandangan bahwa revisi PP ini menguntungkan para pelaku korupsi.

Pada peraturan sebelumnya salah satu syarat bagi koruptor yang ingin mendapat remisi adalah dengan ikut membantu penegak hukum membongkar perkara tindak pidana yang dilakukan.

Namun dalam revisi, hal ini ditiadakan dan disebutkan pada pasal 32 ayat 1 bahwa syarat untuk mendapat remisi hanya mewajibkan terpidana untuk berkelakuan baik dan telah melewati sepertiga masa tahanan.

Penulis berpendapat. Berkelakuan baik memang lebih baik dari pada mau bekerjasama ikut membantu penegak hukum membongkar perkara tindak pidana yang dilakukan karena ingin dapat remisi. 

Sebagai manusia, seorang terpidana wajar bisa berbuat baik dan menerima remisi. Dan juga seorang terpidana wajar bisa berbuat buruk—jahat, yang bisa menambah hukumannya  menjadi lebih lama atau bahkan kemungkinan bisa ditetapkan kehilangan hak menerima remisi oleh yang berwenang menetapkan.

Sehingga sangat wajar  setiap terpidana yang berkelakuan baik menerima remisi tanpa diskriminasi.

Bahwasanya seorang terpidana karena kasus korupsi bisa menerima remisi dengan ada syarat ikut membantu penegak hukum membongkar perkara tindak pidana yang dilakukan. Seharusnya memang tidak perlu dijadikan syarat.

Alasannya. Setiap warganegara yang benar—baik, diminta atau tidak diminta, kalau memang “mampu dan memungkinkan” wajib ikut membantu penegak hukum membongkar perkara tindak pidana apapun. Tanpa mengajukan syarat apapun kepada negara.

Dan negara wajib memberi penghargaan yang pantas kepada seorang narapidana yang berjasa kepada negara. Kalau perlu bisa saja negara memberi penghargaan sekelas bintang penghargaan atau tanda jasa. Bukan penghargaan yang sekadar memberi remisi.

Mari sedikit direnungkan lagu-lagu Nasaruddin, bendahara Partai Demokrat.  Nyanyiannya sumbang di kuping ternyata merdu merayu di kalbu yang rindu tegaknya keadilan. 

Nasaruddin  bernyanyi tidak asal nyanyi. Nyanyiannya seperti mantra bertuah yang mampu merobohkan proyek Hambalang dan yang lain-lain.

Remisi diadakan untuk menghormati dan menghargai hak seorang terpidana. Tanpa diskriminasi.

Demikian dan terimakasih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun