Mohon tunggu...
Ashari Setya
Ashari Setya Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Lelaki, manusia, terbuat dari tanah, bernafas dengan paru-paru, memakan nasi, meminum air.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sorot Mata yang Menyelamatkan Dunia

19 Juli 2018   10:14 Diperbarui: 19 Juli 2018   10:13 394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seperti biasa, saat istriku sedang sibuk memasak, ku memeluknya dari belakang dengan mesra, tak ku pedulikan bau dan basah keringatnya, bagiku aroma keringat perempuan sangat seksi, apalagi melihat perempuan secantik dia sedang berkeringat dengan mimik wajah sangat serius. Seksi kuadrat!! Seakan mengingatkanku pada ritual malam pertama saat kami menjadi pengantin baru.

Dengan memegang pisau yang diadu dengan telenan kayu ditambah suasana dapur yang memang cukup panas dan lembab. maka wajar jika istriku sering bercucuran keringat ketika memasak, barangkali tetesan keringat yang masuk kedalam panci masakan inilah yang membuat masakannya menjadi nikmat.

"Apa yang sedang kau potong sayang?"
" Bola mata" Jawabnya singkat.
"Bola mata siapa lagi yang kau congkel hari ini?"
"Anak tetangga sebelah, Mentari namanya"

Di desa ini, belakangan memang sering terjadi kasus anak-anak yang kehilangan sepasang bola matanya ketika bermain di sore hari, terutama bagi anak-anak yang sedang bermain sendirian di tempat yang sepi.

Siapa pelakunya? ya, siapa lagi kalau bukan istriku sendiri.

Ya, wanita kadang bisa sangat berbahaya dibalik keindahan dan kelembutannya. Kadang perempuan membuat lelaki begitu iba dan tak tega terhadapnya. Padahal, dibalik itu, perempuan lah yang terkekeh-kekeh mengasihani para lelaki. Maka, berhati-hatilah.

"Mengapa kau suka sekali mencongkel bola mata anak-anak kecil itu? Bukankah mereka tak bersalah apa-apa?" Tanyaku kepada istriku yang masih saja sibuk memotong-motong bola mata tersebut menjadi bagian kecil-kecil untuk selanjunya siap dimasukkan ke dalam air yang mendidih yang telah ditambahkan irisan bawang putih , daun seledri, wortel dan irisan kacang panjang.

"Ya, memang anak-anak itu tak bersalah. Namun, justru aku congkel bola mata anak-anak kecil itu untuk menyelamatkan mereka"

"Maksudmu?"

"Karena bola mata ini yang akan menyengsarakan mereka dan dunia nantinya. Lihatlah dunia saat ini, begitu kejam. Banyak orang memamerkan kebencian dengan bangga,  permusuhan dimana-mana, saling pukul, saling serang, saling hina, saling bunuh. Mata melotot, hembusan nafas yang penuh angkara murka, mimik wajah membara bagai bara api nan menakutkan serta menyeramkan. Wajah-wajah beringas manusia di muka bumi sudah tak lagi bersahabat dengan anak-anak ini"

"Tapi, Itukan orang -- orang yang melakukan, terutama orang dewasa. Apakah adil jika harus anak-anak itu yang harus menanggungnya dengan kehilangan sepasang bola matanya?  Bukankah masih banyak hal-hal yang indah di dunia ini?"

"Kalau anak-anak ini masih mempunyai mata dan masih bisa melihat. Maka, dendam akan bergelora di hati mereka, anak-anak ini akan meniru apa yang dilakukan orang dewasa itu dan rantai keberingasan manusia di muka bumi tak akan berakhir"

"Tapi...."

"Sudah, diam kau, kau tak tahu apa-apa."

Ku kembali ke meja makan, istriku datang dengan membawa sepanci sup panas dengan aroma menggoda selera, diletakkannya sepanci sup itu di meja makan. Diambilkannya juga piring, sendok dan sebakul nasi hangat dengan asap yang mengebul di atasnya, ditambah sepiring tahu, tempe, dadar jagung, telur dadar, sambal serta sebungkus krupuk yang baru dibeli tadi pagi.

"Pelangi, ayo sini, makan dulu" panggi istriku kepada anak perempuanku, Pelangi  Anggraini.

"Iya ma" saut anakku

Diambilkannya nasi dari bakul nasi ke piring anakku, kemudian berlanjut ke piringku.

"Nasi segini cukup?"

"Ya, cukup"

Kemudian ditambahkan juga lauk pauk di atas piring Pelangi dan piring ku, Tahu, tempe, sup, telur dan krupuk.

Kami makan dengan begitu lahap.
Sup bola mata adalah sup favorit Pelangi, meskipun ia tak tahu jika itu sup bola mata.

"Gimana Pelangi, enak supnya?" tanyaku

"Enak banget, Yah" sambil mengangkat keatas jempol mungilnya, tanpa Pelangi tahu, jika yang dia makan adalah sup bola mata dari bola mata kawannya, si Mentari yang juga anak tetangga kami.

Si Pelangi sudah selesai makan dan merasa kenyang, kemudian pergi meninggalkan meja makan, sedangkan aku dan istri masih di meja makan.

"Mas tahu kenapa bola mata anak-anak itu harus kucongkel sebelum mereka beranjak dewasa?" Tanya istriku

"Tak tahu"

"Selain karena aku takut mereka akan melihat dan kemudian meniru keberingasan orang dewasa seperti kita di masa depan. Namun, juga karena aku kasihan kepada mereka yang nantinya akan frustasi karena tak dapat melihat Tuhan"

"Maksudnya bagaimana?"

"Saat mengaji di surau, mereka mengucapkan syahadat, bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Nah, aku takut jika dewasa nanti mereka akan frustasi karena tak kunjung bisa membuktikan kesyahadatannya, kesaksiannya. Saksi itu melihat, mendengar dan merasakan sendiri secara langsung, jika mereka bersaksi hanya melalui ucapan, hanya melalui bibir tanpa bisa membuktikan kesaksiannya, bukankah itu kesaksian palsu? Mereka akan frustasi dan stress jika mengetahui hal ini. Jadi, lebih baik aku congkel kedua bola mata mereka, karena konon hati nurani lebih dapat merasakan dan mendengar suara Tuhan apabila mata tak bisa melihat dunia seisinya lagi."

"Itu ketakutanmu sendiri Istriku, biarkanlah mereka mencari tahu sendiri dan tentang frustasi itu bukan urusan kita"

"Ah, kau memang tak pernah paham, tak mau mengerti"

Hari beranjak malam, aku, istriku dan Pelangi pergi tidur.

Esoknnya, Pelangi teriak dari dalam kamarnya.

"Ayaaah" Teriak Pelangi
"Ada apa nak?"
"Apakah ini sudah pagi?"
"Ini sudah pagi nak"
"Lalu kenapa masih hari masih gelap dan lampu kamar tetap dimatikan?"

Tak kusangka, kedua bola mata Pelangi pun telah lenyap dari ditempatnya. Jangan-jangan bola mata si Pelangi sudah dijadikan tumis bola mata untuk sarapan pagi ini oleh ibunya sendiri?

Kudatangi istriku,
"Bola Mata anakmu lenyap, apa kau yang mencongkelnya?"
"Iya, dan sudah ku siapkan tumis bola mata anakmu sendiri di atas meja makan untuk sarapanmu"
"Brengsek kau!!"

Hari-hari berlalu, tiba-tiba sepulang dari pasar, istriku mengurung diri di dalam kamar, menyendiri, duduk meringkuk memojok di ujung kamar tidur sambil menangis tersedu-sedu.

"Ada apa?" tanyaku pelan sambil kudekati dan ku elus rambut panjangnya yang indah dan wangi itu.

"Aku salah, aku berdosa, aku manusia bejat. Segera congkel mataku ini dan sumbangkan kepada anak-akak yang dulu telah ku congkel bola matanya. Kasihan para anak-anak yang sudah kucongkel kedua bola matanya. Tak semestinya anak-anak itu kehilangan penglihatannya" Jawab istriku dengan tetap suara sesunggukan karena tangisnya.

"Aku salah, tak semua orang di dunia ini beringas dan berengsek. Aku baru saja bertemu dan melihat seseorang yang mempunyai sepasang bola mata yang sangat indah, bulat, lebar dan berseri-seri. Sorot mata yang menentramkan, meneduhkan dan membawa kedamaian. Kalau semua orang mempunyai bola mata dan sorot mata seperti itu pasti dunia ini akan aman dan jauh mengasyikkan, seharusnya anak-anak yang telah aku kucongkel bola matanya bisa melihat sosok pemilik bola mata yang indah itu"

"Semua orang harus bertemu si pemilik Bola Mata yang indah itu untuk melihat bola mata serta sorot matanya. Tak akan ada bosan-bosannya seseorang melihat matanya yang indah itu. Sorot mata inilah yang nantinya akan mendamaikan dunia, yang akan menyelamatkan dunia"

"Kau tahu suamiku, sorot mata tak bisa berbohong, termasuk sorot mata politisi yang paling bajingan sekalipun dan kau tahu kenapa aku memilihmu menjadi suamiku? Karena sorot mata mu yang begitu jujur"

"Dan soal melihat Tuhan, bukan mata yang harus disalahkan, bukan mata yang harus dicongkel jika tak dapat melihat Tuhan. Mata hanya bisa melihat apabila ada cahaya, jika belum bisa melihat Tuhan mungkin cahaya itulah yang belum ada. Seperti halnya kau yang tak akan mampu melihat benda yang ada di dalam ruangan yang gelap gulita meskipun kau tidak buta. Benda itu hanya bisa kau lihat jika ada cahaya yang menyinari ruangan itu."

"Lalu, Bola mata siapa yang kau ceritakan itu? Siapa si Pemilik Bola Mata itu?" Tanyaku
"Bola matanya....Sorot matanya"
"Iya, bola matanya siapa, sorot matanya siapa?"
"Bola mata dia dan sorot mata dia"
"Dia siapa?"
"Dia......"
"Iya, dia siapa maksudmu?"
"Dia yang sedang membaca cerita ini"

S E L E S A I

sempat dimuat di asharisetya.wordpress.com 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun