"Gimana Pelangi, enak supnya?" tanyaku
"Enak banget, Yah" sambil mengangkat keatas jempol mungilnya, tanpa Pelangi tahu, jika yang dia makan adalah sup bola mata dari bola mata kawannya, si Mentari yang juga anak tetangga kami.
Si Pelangi sudah selesai makan dan merasa kenyang, kemudian pergi meninggalkan meja makan, sedangkan aku dan istri masih di meja makan.
"Mas tahu kenapa bola mata anak-anak itu harus kucongkel sebelum mereka beranjak dewasa?" Tanya istriku
"Tak tahu"
"Selain karena aku takut mereka akan melihat dan kemudian meniru keberingasan orang dewasa seperti kita di masa depan. Namun, juga karena aku kasihan kepada mereka yang nantinya akan frustasi karena tak dapat melihat Tuhan"
"Maksudnya bagaimana?"
"Saat mengaji di surau, mereka mengucapkan syahadat, bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Nah, aku takut jika dewasa nanti mereka akan frustasi karena tak kunjung bisa membuktikan kesyahadatannya, kesaksiannya. Saksi itu melihat, mendengar dan merasakan sendiri secara langsung, jika mereka bersaksi hanya melalui ucapan, hanya melalui bibir tanpa bisa membuktikan kesaksiannya, bukankah itu kesaksian palsu? Mereka akan frustasi dan stress jika mengetahui hal ini. Jadi, lebih baik aku congkel kedua bola mata mereka, karena konon hati nurani lebih dapat merasakan dan mendengar suara Tuhan apabila mata tak bisa melihat dunia seisinya lagi."
"Itu ketakutanmu sendiri Istriku, biarkanlah mereka mencari tahu sendiri dan tentang frustasi itu bukan urusan kita"
"Ah, kau memang tak pernah paham, tak mau mengerti"
Hari beranjak malam, aku, istriku dan Pelangi pergi tidur.